gone
Sulit.
Dua minggu berlalu setelah tiga kejadian menggemparkan terjadi tempo hari. Terbongkarnya Pasukan Dumbledore yang dipimpin Harry, penggunaan kutukan tak termaafkan oleh seorang murid, lalu perginya sang kepala sekolah bersamaan dengan Dolores Umbride yang naik tahta.
Setelah percakapan singkat dengan Harry di ruang kepala sekolah sore itu, [name] tak pernah menunjukan batang hidungnya lagi. Bahkan sampai saat orang tua Aurora mendatangi Kastil Hogwarts, tak ada yang tahu dimana rimbanya keberadaan gadis itu.
"Perempuan itu berusaha memisahkanku dengan Profesor Diggory!" Teriak Aurora di depan Kepala Sekolah Umbridge, serta kedua orang tuanya yang tampak tak kalah kesal. "Sebelumnya kami saling mencintai."
"Itu—"
"Ah." Umbridge memotong penjelasan Cedric, "Sudah kuduga. Kasus ini sudah semestinya ditangani kementrian."
Cedric maunya diam saja. Ingin masa bodoh karena pendapatnya tak akan berdampak apa-apa. Maksudnya, lihatlah manusia-manusia ini. Sudah salah, nyolot pula.
Namun, bayangan kejadian beberapa hari yang lalu kembali memasuki kepala si pemuda. Hari dimana gadis itu menangis untuk kali pertama, Cedric menjadi saksi [name] yang menunjukan segala lemah gegara satu perkara.
"Baiklah, kalau begitu. Kau bisa melanjutkan hubunganmu dengan Profesor Diggory."
"Maaf, Kepala Sekolah. Akusejakawalmenyukai[name]bukan Aurora." Kalimat itu dikatakan dalam satu tarikan nafas.
Tangan kanan cowok itu bergerak mengusap muka berulang kali. Pipinya memerah, tak nyaman. Salah tingkah karena harus mengakui perasaannya sendiri. Terlebih pengakuan ini diucapkan pada lain orang— bayangkan kalau [name] sungguhan ada di tempt yang sama.
Masa sih Umbridge tidak menyadari?
Padahal tindak-tanduk si pemuda sudah sangat jelas, terlampau jelas sampai orang-orang tak pernah ada yang mempertanyakan.
"Lihat?" Aurora menatap nyalang. "Bahkan setelah menggunakan mantra imperius padaku, gadis itu memantrai Profesor Diggory dengan Love Potion juga!"
Jalang.
Cedric mendesah pasrah saat Dolores Umbridge berdeham kecil, "Uhm. Pelanggaran yang cukup berat."
Pintu rapat diketuk pelan, tak berselang lama sura tarikan kenop memenuhi ruangan. Masuklah seorang laki-laki paruh baya, berpostur tinggi, tampan, lengkap dengan tatapan tajam seakan tak berperasaan.
"Kepala Sekolah, aku menyampaikan surat undangan."
Cedric sedikit menghela nafas lega saat dilihatnya Daniel menginterupsi percakapan bodoh tadi. Dua pasang mata itu sempat bertubrukan, mengirimkan sinyal-sinyal kesulitan dari si pemuda yang duduk di kursi pesakitan.
"Tuan Daniel, atas kehormatan apa aku menerima—"
"Putriku akan menjalani persidangan di kementrian, minggu depan. Atas tuntutan penggunaan kutukan tak termaafkan. Datang kalau sempat, tapi lebih baik tak usah."
Daniel memotong basa-basi Umbridge dengan sangat elit.
Saat berada di depan pintu, laki-laki itu tetiba berbalik. Menatap Aurora dengan sorot dingin, pancaran aura tak suka sangat terlihat kentara.
"Cedric Diggory adalah tunangan [name] Brookheimer. Jangan mengkhayal terlalu tinggi, laki-laki ini sudah menjadi milik putriku sejak dulu."
Woah.
Si pemuda yang sempat kesulitan kini mengulum senyum malu-malu. Yah, perkataan Daniel sedikit dibumbui majas hiperbola. Perihal pertunangan, namun selebihnya sudah benar. Cedric sudah milik [name] sejak pertama mereka bertemu, hari dimana gadis itu ketahuan memotret pemuda itu.
"Uhm, Profesor Diggory." Suara Umbridge kembali memecah lamunan Cedric.
Sekarang apa lagi?
Perempuan paruh baya itu mengeluarkan tongkat sihirnya, namun tak serta-merta ditodongkan secara eksplisit. Umbridge hanya menaruh tongkat sihir itu di atas meja, dan ujungnya tepat mengarah pada Cedric seorang.
"Apa kau tahu keberadaan dimana [name] saat ini?"
Entah sudah berapa kali pemuda itu menghela nafas dongkol hari ini, setiap percakapan yang dimulai Umbridge rasanya selalu diawali dengan praduga-praduga tak berdasar.
Cedric lelah.
"Tak tahu, Profesor."
"Hm?" Tongkat itu kini teracung sedikit tinggi, disertai tatapan menelisik dari Dolores Umbridge. "Apa kau yakin?"
"Ya." Cedric menjawab datar. "Terakhir kali bertemu, kami—"
Yang benar saja, kau mau menceritakan kejadian panas itu kepada Kepala sekolah?
"Kalian?"
Cedric mengerjap, "Kami sedikit bertengkar, lalu setelahnya langsung bermaafan."
Pemuda itu berusaha menghindari tatapan menusuk yang dilayangkan sang kepala sekolah— jangan lupakan kehadiran Aurora sekeluarga di ruangan yang sama.
"Weasley dan Granger tetiba datang memberitahu [name] bahwa Profesor Dumbledore mencarinya." Lanjut Cedric dengan nada gusar.
"Lalu?"
"Lalu? Selepas itu kami sudah tak bertemu kembali."
"Tak ada satupun informasi yang bisa kau berikan padaku, Profesor Diggory?"
"Kalau Tuan Daniel sudah datang sendiri," Cedric menatap dongkol. "Berarti [name] tak berada jauh darinya. Mereka 'kan ayah dan anak, kau tahulah."
Sial, gegara Umbridge bertanya jauh-jauh Cedric jadi teringat lagi kejadian di hari itu.
Seakan setiap sentuhan yang [name] tinggalkan masih berbekas, segala suara yang keluar dari mulut gadis itu masih terdengar jelas.
Pemuda itu merindukan [name].
Sangat rindu.
Dan, jangan katakan ini pada siapapun! Cedric Diggory, sembilan belas tahun, Profesor muda nan tampan, belakangan mulai bermimpi yang aneh-aneh. Berakhir hampir menyentuh dirinya sendiri gegara terlalu lama ditinggal pergi.
Padahal baru dua minggu.
Namun perkataannya barusan bukan bualan semata. Cedric memang tak tahu [name] ada di mana, meskipun Harry sempat menyampaikan bahwa gadis itu baik-baik saja. Ia hanya akan bersembunyi di suatu tempat untuk beberapa saat. Mau ditanyakan lebih jauh juga Harry hanya tahu segitu, mana cowok berkacamata itu juga kebingungan dengan hilangnya kepala sekolah yang asli.
"Profesor? Kau mencariku?"
Suara seorang pemuda kembali memasuki ruangan, Cedric kali ini tak terganggu. Ia lanjut melamun, memikirkan apa-apa yang terjadi belakangan. Sejak datangnya Harry Potter, banyak kejadian aneh mulai terjadi di kastil itu. Terbukanya Chamber of Secrets, kasus Sirius Black, peristiwa di Triwizard Tournament, lalu—
"Ya, Tuan Malfoy. Aku mau kau melakukan sesuatu untukku." Suara Umbridge seakan menjadi backing-vocal dalam lamunan Cedric, namun pemuda itu buru-buru mengabaikannya.
Ia merasa, lebih enak mendengarkan siulan burung Mockingjay ketimbang terngiang suara Umbridge seharian.
"Apa itu?"
Lalu setelah [name] datang di kehidupannya— semua menjadi lebih runyam. Tentu jangan libatkan perasaan karena hal-hal tragis itu akan langsung termaafkan, mungkin Cedric memang terlalu jatuh pada pesona gadis itu. Sampai banyak petaka yang mengikuti pun perasaannya masih tetap sama.
Masih tetap sama.
Masih?
Yakin?
"Aku akan menugaskanmu untuk memimpin sebuah tim investigasi, dengan tujuan mencaritahu keberadaan Nona Brookheimer."
Umbridge tersenyum simpul.
Draco menatap datar.
Cedric? Masih melamun.
Harry dan [name], seakan-akan keduanya adalah potongan teka-teki. Satu persatu bagiannya mulai bergerak, berusaha memperlihatkan sebuah gambar yang utuh.
"Apa kau sanggup, Tuan Malfoy?"
Baru pada saat pertanyaan itu diajukan, Cedric melirik dari ujung mata. Tak disangka-sangka, laki-laki bersurai perak itu ternyata sedang menatapnya juga.
Draco menunduk sekilas, kemudian balik menatap yakin. "Tolong cari orang lain saja."
Pengecut.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro