four; the unsent letter
'Aku tahu kamu itu pekerja keras. Aku selalu suka manusia yang punya keinginan dan jiwa-raganya menyangga dengan berusaha sekuat tenaga. Tidak hanya asal mau saja.
Mungkin aku menyukaimu juga karena itu.
Semangat untuk besok.'
Coret. Coret. Coret.
Remas. Remas. Remas.
Buang.
"Alay."
[name] malu sendiri. Kemudian disobek lagi selembar kertas dari buku catatannya, menggunakan penggaris. Gadis itu sangat tak suka dengan ketidaksimetrisan, pokoknya harus rapi.
'Hai, aku suka kamu.
Semangat untuk besok.'
Putri Brookheimer menggeram kembali, kali ini kalimat pertamanya saja yang dicoret. Bagian menyemangati dibiarkan begitu saja, kertas dilipat beberapa kali dan diselipkan ke dalam buku.
"Kalau ketemu, kayaknya aku kasih."
Kaki jenjangnya melangkah melalui koridor, dengan niat mencari Draco untuk sekedar mengobrol. Setelah bertanya kepada satu-dua murid yang ada, [name] akhirnya pergi ke taman.
Tepat saat dirinya berdiri di tengah-tengah, menengok kesana-kemari mencari putra Malfoy, suara familiar tetiba memasuki telinga.
"Ced, bisa bicara sebentar?"
Uh-oh. Yang barusan itu Harry.
"Tentu. Ada apa?"
Dan itu....
[name] pura-pura menengok ke sembarang arah, niatnya ingin memastikan. Malang, kepalanya berbalik tepat ke arah Cedric berdiri. Pemuda yang merasa ditatap menatap balik, tersenyum singkat seraya menggumamkan sapaan pendek.
"Hai."
Harry yang merasa atensi Cedric tak berpusat padanya ikut menengok, mendapati tatapan dingin yang keluar dari netra [name].
"Kenapa? Mau berbicara dengan Cedric juga?"
"Gak."
Cowok seusia Draco itu merengut, perasaannya sudah cukup buruk mendengar segala cacian tentang dirinya yang disangka curang. Kini ia dihadapkan dengan Draco versi perempuan, huft.
[name] melangkah pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Cedric mendengarkan Harry, namun atensinya tetap pada perempuan yang berjalan pergi.
Ia hanya berdeham singkat, mengucapkan terima kasih. Meminta maaf soal badge yang menjadi perbincangan seisi asrama. Berjalan cepat, menyadari telapak [name] menggenggam sebuah kertas.
"Accio."
"Eh?"
Surat yang niatnya akan [name] buang pada tempat sampah dekat taman itu berakhir di tangan Cedric.
Panik. Gadis itu berniat merebutnya kembali, sayangnya jarak Cedric terlalu jauh dari jangkauannya.
Ancang-ancang melarikan diri sudah dipersiapkan, malang pertanyaan dari Cedric butuh jawaban.
"Ini... untukku?"
Helaan nafas ditarik pelan, tak ingin ketahuan bahwa dada [name] tengah berdegup kencang.
"Bukan, untuk Harry."
Buru-buru badan kurusnya menghampiri Cedric Diggory, mengambil selembar kertas yang telah dibuka, kemudian berjalan cepat mendekati Harry.
Cowok itu baru selesai bertengkar singkat dengan Ron, [name] menarik tangannya dari belakang. Memberikan surat tadi dengan senyuman yang dipaksakan.
Setelahnya [name] berlari dengan niat ingin sembunyi, malu. Tapi belum berapa langkah ia pergi, suara pertengkaran yang ia kenal betul pemiliknya kembali terdengar.
"Aku tak peduli dengan perkataan Ayahmu, Draco. Kau juga, sangat menyedihkan."
Menyedihkan.
Karena perkataan itu bukan keluar dari mulut [name], terlebih Harry Potter lah yang mengatakannya, si putra Malfoy marah. Ia mengeluarkan tongkat sihir, mengancam akan melakukan macam-macam.
Sudah siap diarahkan pada Harry, tetiba Alastor Moody menghampiri seraya memarahi.
"Kau!"
Lalu diubahnya Draco menjadi seekor tikus putih. Berlari kesana kemari dan tertawa.
Iya, yang tertawa orang di sekitarnya. Alias, posisi Draco disini menjadi bahan tertawaan.
[name] mendecak, mau tak mau kembali berjalan mendekat, "Hey!"
"Profesor Moody!"
Minerva McGonagall datang melerai. Anak-anak yang lain malah melingkari, serasa diberi hiburan gratis. Poor Draco.
Bahkan cowok itu (dalam bentuk tikusnya) dibuat masuk ke celana salah satu temannya. Alastor Moody terlihat asik sendiri, [name] menatap tak suka.
"Alastor."
"Profesor!"
Manusia mirip Dajjal itu berhenti, diubahnya kembali Draco kembali menjadi manusia sempurna.
"Penggunaan mantra transfigurasi itu sangat dilarang, Alastor. Terlebih digunakan sebagai hukuman pada murid. Bukannya Dumbledore sudah mengatakannya?"
Minerva McGonagall cukup marah, meskipun korbannya seorang Draco Malfoy, salah satu murid yang paling malesin di mata para pengajar.
"Ya. Albus mengatakannya."
"Aku yakin kau akan mengingatnya dengan benar setelah kejadian ini."
Saat McGonagall melangkah pergi, [name] mulai menunjukan taringnya. "Kau memang tak punya pribadi seorang pengajar. Cari pekerjaan baru sana."
"Payah."
Diikuti Draco, yang tentu saja hanya ikut-ikutan. Cowok itu sebenarnya agak terperangah mendengar [name] mengatakan hal sedemikian rupa. Tapi, nanggung. Sekalian panasin aja.
Alastor Moody menengok, hendak memberi pelajaran pada siapa yang mengatakan. Namun ada yang berbeda, hal yang tidak bisa dilihat oleh penyihir biasa. [name] mengeluarkan aura kuat yang bahkan Alastor sendiri memilih tak mau mengurusnya untuk saat ini.
Tatapan [name] terlampau tajam.
Satu hal yang tak mereka tahu, meskipun sering bertengkar hebat, adu bacot, siapa yang sabarnya habis duluan berarti kalah, [name] sangat tak suka melihat Draco dipermalukan seperti tadi.
Meskipun seringnya cowok itu sendiri sih yang memulai perkara, tetap saja [name] tak suka.
Harga diri seorang Slytherin itu sangat tinggi.
Setelah semuanya kembali seperti semula, Draco melirik wajah [name] yang mulai tenang.
"Heh, kok surat itu kau berikan pada si Harry sialan itu sih? Bukannya untuk Cedric?"
Dada [name] mencelos, suara Draco barusan cukup keras. Saat menengok ke belakang, dua orang itu masih berdiri bersampingan. Menatap [name] dengan sorot terkejut.
"DRACO!!!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro