Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

fiveteen: shut up umbridge

"Pspsps."

[name] menghentikan langkah, rasanya sepasang telinga mendengar suara aneh. Tapi setelahnya dihiraukan, melanjutkan perjalanan dengan kepala yang sibuk dengan pikiran.

"Pssssss."

Gadis itu menengok, kosong. Tak ada apa-apa. Perasannya mulai kesal, menduga-duga siapa orang iseng yang memanggilnya dari tadi.

"Sksksksksksk."

Mendecak dongkol, [name] memutar kepala dengan cepat. Mendapati sebuah figur tinggi bertudung hitam berdiri tepat di belakangnya.

"AAH—"

"Pssssst!"

"Kau—"

"Diaaaaammm," Suara seorang pemuda berbisik seraya menutupi mulut [name] yang hampir beteriak. "Kaget ya?"

Gadis itu memukul bahunya agak keras, "Kaget lah!"

Cedric Diggory tersenyum geli, "Hehe."

"Ngapain sih?"

"Ngapain?"

"Iya, ngapain?" [name] melihat sekilas ke sekeliling, takut-takut ada orang yang menguping.

Cedric menjawab kalem, "Nggak ngapa-ngapain. Kangen aja."

Gadis itu menaikan alis, dibalas tatapan jahil dari si pemuda manis.

"Kenapa? Tak boleh?"

[name] tetiba mendengus geli, "Maksudnya ngapain kamu pake jubah item sampai ke tudung-tudungnya item juga? Nutupin seluruh muka pula."

"Oh? Jadi boleh kangen nih?"

"Boleh lah."

Senyum dikulum, Cedric mengacak rambut yang mulai lebat. Menghabiskan banyak waktu bersama lumayan membuat gadis itu sedikit kebal dengan segala godaan yang sering ia lontarkan. Meskipun sering kali masih tersipu malu sih, tergantung keadaan saja.

"Kau tak apa?"

[name] mengangguk pelan, "Baik kok. Kenapa memangnya?"

Gadis itu berjalan mendekat, tangannya mengisyaratkan kepala Cedric agar sedikit menunduk. Netra coklatnya menangkap rambut berantakan si pemuda yang mengundang perhatian. Gemas, anehnya Cedric malah kelihatan lebih tampan dengan penampilan seperti itu.

"Kudengar banyak murid yang dihukum sampai berdarah-darah oleh Profesor Umbridge." Seru Cedric, seraya maju satu langkah.

Cowok itu menurut, kepalanya ditundukkan sedikit sampai pada jangkauan tangan [name].

Putri Brookheimer menyisir pelan rambut lebat Cedric Diggory, merapikannya kembali seperti seharusnya. Kegiatan kecil itu dilakukan tanpa memutus pembicaraan, hal-hal yang sudah menjadi kebiasan. [name] beberapa kali mengingatkan cowok itu untuk memangkas rambutnya sedikit, supaya tidak terlalu berantakan.

"Harry salah satunya."

"Loh? Iya? Memang dia melakukan apa?" Cedric kembali menegakan badan setelah [name] selesai merapikan rambutnya.

Gadis itu mengendikan bahu, "Emang dasarnya Profesor Umbridge aja yang gak jelas."

Pemuda itu tertawa geli, "Kau tak salah."

Sunyi di tengah ramai. Senyap di antara banyak tapak jejak. Suasana Kastil mendekati sore hari memang banyak memunculkan sumber bunyi. Tapi kali ini rasanya ada yang aneh, kenapa para murid terlihat sangat buru-buru?

"Ced?"

Si pemuda tak menjawab, [name] menanggah mendapati atensi Cedric mengarah ke lain tempat. Dilihat-lihat para murid juga berkumpul di titik tertentu, anehnya gadis itu tak mendengar pengumuman apapun.

"Luna!"

Perempuan yang lebih muda menengok, "[name], Profesor Diggory."

"Ada apa?" Kali ini Cedric yang bertanya, kerumunan di dekat mereka kini terlihat lebih ramai.

Luna Lovegood menatap khawatir, "Profesor Umbridge memecat—"

"Trelawney." Draco menyela, melintas seraya berkata tanpa berhenti maupun menatap.

Cedric dan [name] ikut datang menghampiri kerumunan, tepat saat Sybill Trelawney terlihat menangis sesenggukan. Beberapa koper serta barang-barangnya sudah ada di satu tempat, terima kasih pada Argus Filch yang selalu bergerak cepat.

"Kau tahu soal ini?" Netra coklat menatap tajam.

Cedric bergidik, "Kami tak berbicara banyak, ia lebih suka bekerja sendiri."

"Profesor Kodok meminta ramalan, Profesor Trelawney memberikan ramalan buruk. Makannya ia dipecat." Sahut Neville, salah satu orang yang masih sering berbicara dengan [name].

"Hah? Gitu doang?"

"Iya, kejadiannya juga belum lama."

"Bajingan."

Senyum miris tampak pada mayoritas murid yang menyaksikan. McGonagall datang tepat waktu, memeluk Sybill yang masih memohon-mohon untuk dibiarkan tinggal di Kastil ini.

"Kau mau mengatakan sesuatu?" Suara kecil Umbridge masih terdengar sampai jarak yang cukup jauh, para murid benar-benar menaruh atensi besar pada perempuan itu.

McGonagall menjawab dengan suara parau. "Oh, ada banyak hal yang ingin kukatakan."

Suara pintu yang dibuka paksa terdengar menggema, tampak Albus Dumbledore yang belakangan figurnya menghilang entah kemana. [name] menengok pada arah Harry, pemuda yang sama-sama diacuhkan si Kakek belakangan ini.

Iya, Harry Potter sendiri kaget dengan Albus Dumbledore yang tiba-tiba muncul begitu saja.

"Profesor McGonagall, bisakah kau antar Sybill kembali ke dalam?"

Perempuan berkacamata itu dituntun kembali ke dalam kastil, mengucap terima kasih dengan sungguh-sungguh atas kebaikan sang Kepala Sekolah.

"Dumbledore, perlu kuingatkan bahwa menurut pasal dalam Peraturan Pendidikan No. 23 yang disahkan oleh Menteri—"

"Kau bisa memecat pengajar di sini." Albus memotong pembicaraan dengan suara berat serta raut yang kesal.

Dolores Umbridge tetap diam, tersenyum meremehkan seakan yang ia lakukan adalah sepenuhnya benar.

"Namun kau tak punya wewenang untuk mengusir seorangpun dari Hogwarts, keputusan itu tetap milik Kepala Sekolah."

Umbridge tersenyum tipis kemudian menjawab, "Untuk sement—"

"Yeu malu!"

Cedric terkejut perempuan di sampingnya berteriak begitu kencang, mengundang perhatian seantero murid ditambah Albus dan Umbridge. [name] adem-adem saja, wajahnya justru memperlihatkan seutas senyum miring.

"Siapa itu?"

"Tak usah mengalihkan topik." [name] berteriak tak kalah kencang dari sebelumnya.

Beberapa murid yang semula berdiri di hadapan gadis itu kini satu persatu mulai menyingkir, "Makannya jangan sok! Bikin peraturan seenaknya, menghukum anak sembarangan sampai luka-luka. Sekarang main usir orang lama tanpa bilang-bilang Kepala Sekolah. Kau pikir kau siapa hah?"

Bisikan-bisikan mulai terdengar dari semua murid yang berkumpul di sekitar kejadian. Sementara Umbridge mengelilingkan pandangan, diam-diam Albus mengacungkan jempol pada arah [name] berdiri.

Mantep!

Ron reflek menggenggam tangan Hermione yang berdiri di sampingnya. Ia berbisik memberi komentar singkat, "Brookheimer itu mengerikan."

"Siapa itu?"

"Siapa coba?" [name] malah nyepik lebih jauh.

Umbridge berjalan mendekati sumber suara, langkahnya dipercepat saat [name] kembali berteriak.

"Pokoknya Ayahku akan mendengar soal ini!"

Dèjà Vu.

Saat semua murid menyingkir, terlihat dari pusat suara seorang Profesor muda yang baru saja mulai bekerja. Cedric Diggory berdiri tepat di depan [name], memblokir pandangan Umbridge sepenuhnya. Kalau dipikir-pikir, pemuda itu memang cukup tinggi dan berisi, makannya badan [name] sepenuhnya tertutupi. 

Albus buru-buru bersuara, "Apa kalian tidak belajar?"

Semua murid langsung menghambur menuju tujuan masing-masing, menyisakan Umbridge yang gagal menemukan si tukang kompor. Dengan demikian, [name] selamat. Untuk sementara. Sekali lagi, terima kasih Albus.

Cedric menggenggam tangan gadis itu seraya membawanya berlari mencari tempat sepi, [name] melangkahkan kaki secepat mungkin. Sadar bahwa dirinya memang tengah dikejar bahaya. Namun seutas senyum malah terlihat dari wajah keduanya.

Cedric dan [name] saling tatap, menahan tawa seraya lanjut berlari. 

✿ೃ

Hog's Head Inn. Tempat The Golden Trio mulai melancarkan rencana mereka untuk merekrut beberapa kenalan, niatnya supaya mau bergabung dengan Dumbledore's Army. Hari itu, cukup banyak teman yang datang. Si kembar Weasley, Neville, Seamus, Cho, Luna, Ginny, dan beberapa kenalan Harry yang lain.

Mereka berkumpul, dengan Harry yang diam di depan. Ron duduk di dekat perapian, membantu meyakinkan orang-orang. Hermione berdiri, paling banyak berbicara. Kelihatannya cukup sulit, bahkan Seamus beberapa kali bertanya terlalu jauh.

"Harry, benarkah kau bisa menggunakan mantra patronus?"

Luna Lovegood memang penyelamat. Sebuah pertanyaan darinya berhasil memancing rasa penasaran dari teman-teman, percakapan mereka berlanjut dengan banyaknya pendaftar Dumbledore's Army.

Di tangga belakang, [name] duduk sendirian. Menyibukan diri dengan pikiran sendiri, entah stereotip saja atau memang Slytherin itu memang manusia-manusia overthinker?

"Brookheimer, mau ikut?" Neville bersuara diikuti tatapan banyak manusia yang terarah pada [name].

Gadis itu menggeleng cepat, "Nggak dulu deh. Mager."

"Oke."

Setelah semuanya direncanakan, kini tempat itu hanya diisi enam orang. Harry tampak masih ragu, sementara Hermione dan Ron memikirkan rencana selanjutnya. Ginny dan Neville saling tatap, tak tahu bagaimana mau membuka pembicaraan.

"Sekarang apa?"

"Cari tempat latihan." Seru Hermione.

Mereka berjalan ke luar, meninggalkan Hog's Head Inn dan menuju Kastil Hogwarts. Di tengah salju yang memenuhi pandangan, [name] berjalan paling belakang. Gadis itu kemudian ditarik Hermione agar bersisian dengannya di baris paling depan.

Mione melempar senyum, [name] menatap bingung.

"Harry, bagaimana kalau Umbridge mengetahui semua ini?"

"Tak masalah 'kan?" Hermione yang masih menggenggam telapak [name] melirik ke arah Ginny yang ada di belakangnya. "Lagian sepertinya seru. Melanggar beberapa aturan."

Dalam hati [name] berbatin, 'Welcome to the club sist.'

"Siapa kau? Apa yang kau perbuat pada Hermione?" Celetuk Ron, menyadari keanehan pada diri sahabatnya.

Sesuatu dalam diri [name] menghangat. Ia merasakan perasaan positif selama berjalan dengan Hermione dan teman-teman Gryffindor yang lain, seakan ada ikatan tak kasat mata yang melindungi mereka semua.

Sejak awal Harry memberitahunya tentang membangun pasukan di Hogwarts, [name] sudah skeptis. Sebenarnya gadis itu mau-mau saja bergabung, [name] masih ingin melihat wajah kesal Dolores Umbridge karena banyak murid mulai menentangnya.

Namun ia sadar, resiko rencana ini terlalu tinggi.

Pertama, Dumbledore tak tahu sama sekali tentang rencana Harry. Dan cowok itu berani menamai pasukan ini Dumbledore's Army, atas nama Kepala Sekolah yang bahkan tak tahu apa-apa. Dari sini saja sudah salah.

Kedua, Harry tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Memang Sirius memberi tahu satu-dua dugaannya tentang orang-orang di kementrian. Bagaimana Fudge mengira Dumbledore punya pasukan sendiri untuk melawan konflik dengan Kau-Tahu-Siapa. Tapi selebihnya pemuda itu masih banyak menduga-duga.

Kalaupun benar Voldemort tengah merencanakan sesuatu, apa yang bisa dilakukan sekumpulan remaja baru puber yang belajar berbagai mantra baru secara dadakan?

Uhm, bukan maksud degredasi. [name] berpikir usaha yang dilakukan Harry dan kawan-kawan sudah cukup bagus. Namun kalau mau dikomparasi dengan pasukan Raja Kegelapan pasti sangat jauh perbedaan kekuatannya.

Lagipula sang Ayah selalu mengabari apa-apa yang terjadi di Kementrian kok. Makannya [name] lebih khawatir dengan pengaruh Umbridge di Hogwarts ketimbang pasukan yang dibangun Harry.

Dengan segala kurang dan jauh dari kata matang dalam rencana membangun sebuah pasukan, [name] menaruh kagum dengan sikap Mione dan Ron. Mereka sungguhan menyangga seorang Harry baik dalam pikiran maupun perasaan. Meyakinkan teman-teman, membantu dalam segala perencanaan.

Padahal di masa lalu ketiga orang itu sudah menemui banyak masalah, beberapa kali hampir menemui kematian. Namun sekarang, dan sepertinya sampai kapanpun, Mione dan Ron akan terus berada di samping Harry mau sesulit apapun masalah yang menimpa pemuda itu.

Untuk urusan ini [name] menolak berpikir lebih jauh. Netra coklatnya menutup rapat serta nafasnya dihembus singkat, [name] membiarkan jemari dingin digenggam Mione lebih lama bahkan saat mereka sampai di ruang kebutuhan yang baru saja ditemukan Neville. Mendengar percakapan serta candaan-candaan yang terlontar, kehangatan sekujur tubuh mulai sepenuhnya menjalar.

Tanpa sadar, [name] Brookheimer tersenyum tipis.

'Potter, Granger, Weasley. Kalian beruntung memiliki satu sama lain.'

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro