eightteen; later
Malam itu suasana terasa tenang. Penerangan temaram, ada dua nafas yang terdengar memenuhi ruangan.
Tirai jendela sedikit tersingkap angin, menyebabkan sinar rembulan masuk melewati iris hijau yang menatap dalam.
[name] tak henti-hentinya menggigit bibir bawah, niat hati menahan suara memalukan yang sebenarnya tak tahan ingin dikeluarkan.
"Jangan ditahan, sayang."
"Ahn."
Cedric tersenyum puas, melanjutkan aktivitas yang tak direncanakan sama sekali sebelumnya.
[name] terbangun tengah malam, pukul satu. Berkeringat dan jantungnya berdebar kencang, perempuan itu tak bisa kembali ke dunia mimpi.
"M–hhh. Ced–"
"Hm? Mau apa?"
"Mau ke–ahn. Sialan! Berhenti dulu!"
"Tidak dengar."
Cedric awalnya berniat menenangkan perempuan itu saja, merengkuh [name] seraya mengusap belakang leher berdoa supaya rasa takut itu segera hilang.
"[name], sayang. Lihat aku."
Mau tak mau perempuan itu terpaksa membuka mata. Netra coklatnya beradu dengan iris hijau, tatapan penuh kasih yang selama ini melindunginya dari segala perasaan buruk, melemparkan sorot kagum untuk kesekian kali.
"Merlin, kau cantik sekali."
Cedric sedikit menggerakan pinggulnya setelah berkata demikian, menggoda si perempuan agar kembali mengeluarkan lenguhan.
"Mmh. Tutup mulutmu sialan."
"Kenapa memangnya? Makin terangsang ya?"
[name] tak menjawab. Ia hanya memutar bola mata sambil meremas gemas rambut laki-laki diatasnya. Satu tangan diam-diam memeluk punggung tegap, menyembunyikan wajah diantara leher yang diselimuti peluh.
"Cedric."
"[name]."
"Cedric."
"Mhm, [name]."
Saat keduanya sama-sama dekat, laki-laki itu kembali merenggut nafas [name] dengan ciuman dalam. Dada sama-sama menderu, tubuh menyatu berbagi peluh. Lalu tetiba–
suara ketukan pintu menambah adrenalin pada dua manusia itu. [name] melepaskan ciuman, memeluk leher Cedric sampai laki-laki itu menjatuhkan dirinya diatas badan si perempuan. Keduanya menahan teriakan yang hampir menggema– karena mencapai pelepasan secara bersamaan.
Cedric masih merengkuh badan [name] ketika sepasang telapak menutupi telinga dari badan yang kelelahan.
"Sebentar!" Teriak laki-laki itu setelah memastikan [name] tak akan terkejut dengan suara kerasnya.
Nafas dua manusia itu masih belum stabil, momen hening dihabiskan dengan tatapan yang saling bertaut. Cedric mendekat, menyeka pelan kepala yang berkeringat banyak. Kening itu ia kecup kesekian kalinya hari ini, sebagai bukti bahwa afeksi yang ia rasa bagi perempuan ini adalah tiada henti.
[name] sedikit menjauh, mata sedikit berair dengan rona merah yang masih terlihat jelas. "Kau ini."
Cedric malah tertawa lepas, "Kita sudah melakukannya siang dan malam, tapi kau masih se-sensitif itu itu."
"Kau saja yang memang besar, bodoh."
Sang suami tersenyum geli, menjatuhkan badan diatas dada –yang masih diselimuti piyama– sang istri. "Tapi suka kan?"
"Cih."
Sepersekian sekon dilewati dengan mendengarkan detik-detik jam yang menusuk telinga, menebak-nebak dalam hati, siapa yang bertamu selarut ini?
"Bisa tolong bukakan pintunya?"
[name] merapikan penampilan sebentar, berusaha berdiri seraya melepas milik Cedric yang masih tertanam dalam. Keduanya mengerang, si laki-laki mendaratkan kecupan singkat sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi dengan keadaan telanjang bulat.
"Ya." Sapa perempuan itu cuek, tiga orang yang berdiri di depan pintu tak disangka-sangka bukanlah orang asing.
"Malam, Nyonya Diggory."
"Basi."
Harry tersenyum tipis, "Bagaimana malammu?"
"Berisik!"
Harry dan Ron menatap geli, sementara Mione mengalihkan pandangan. Malu sendiri.
"Masuk."
Pernikahan [name] dan Cedric sudah menginjak tahun kedua. Kota Oxford menjadi tempat yang cocok untuk ditinggali sepasang suami istri baru ini, lingkungannya terbilang aman dan tak banyak mengalami gangguan.
Profesi yang ditekuni keduanya pun terbilang normal. [name] menjadi konsultan hukum dan Cedric mengajar salah satu mata kuliah di Universitas Oxford. Perlu adaptasi yang lumayan memakan waktu bagi laki-laki itu untuk terbiasa hidup di tengah-tengah Muggle, namun akhirnya berhasil juga.
"Ada apa?"
"Suamimu di mana?"
"Sedang ganti baju."
"Tengah malam begini?"
[name] memicing, "Katakan apa yang kalian mau atau kuusir sekarang juga."
"I–iya maaf." Harry tersenyum geli. "Kau tetap saja galak ya meskipun sudah menikah."
Hermione ikut tersenyum.
"Jadi?"
Cedric datang dari arah kamar, "Oh! Harry! Ada apa malam-malam kemari?"
"Halo, Cedric." Harry basa-basi balik menyapa. "Err... kami tak seharusnya melakukan hal ini sih. Tapi..."
Cowok berkacamata itu menatap teman sebayanya, Ron berdeham pelan. "Banyak hal terjadi semenjak kelulusan kalian."
Cedric duduk di samping [name], membawa sang istri ke dalam rangkulan erat diikuti kepala yang bersandar pada pundak tegap. Sofa yang seharusnya ditempati satu manusia itu kini diduduki berdua, saling berbagi hangat adalah hal yang sudah biasa.
"Begitu?" Sang suami kembali membuka suara. "Apa saja?"
"Profesor Dumbledore meninggal, Draco menjadi Death Eater, Snape menjadi Kepala Sekolah, ...."
"Ha."
Perempuan dibalik piyama tipis itu menatap lurus, sudah hampir dua tahun telinganya tak mendengar hal-hal berat untuk kemudian diteruskan pada pikiran tengah malam. Kecuali mungkin perkataan menyebalkan yang keluar dari mulut sang Ayah– dan juga Ayah mertua. Kerap mengganggu, ikut nongki-nongki sambil ngopi di rumah pasutri baru ini setiap pagi.
Tuan Diggory mengeratkan rangkulan, "Mhm. Masa-masa yang berat ya untuk para murid Hogwarts."
"Begitulah." Hermione ikut menyahut, canggungnya gadis itu hilang rekata tatapan [name] mulai terlihat kosong. "Lalu... kami kemari...."
"Katakan saja," [name] memaksakan senyum. Sudah lama juga ia tak bertatap mata dengan si putri Granger. "Semuanya. Jangan setengah-setengah."
"Profesor Dumbledore menugaskanku– kami bertiga– untuk menghancurkan semua Hocrux yang dimiliki Voldemort."
"Ada tujuh ya."
"Iya."
Ron dan Hermione sedikit kaget, namun kemudian ingat kejadian yang diceritakan singkat oleh Harry dua tahun yang lalu. Intinya memang Nyonya Diggory ini memiliki hubungan darah dengan Voldemort langsung.
"Uhm, Kak [n–name]–"
"Apa sih jadi manggil Kakak?" Perempuan itu terkekeh mengejek. Ditatapnya Ron dengan sorot geli, "Tak biasanya kau kaku seperti itu, Weasley."
"Err– ya itu." Ron tersenyum canggung, bukan takut sih. Pemuda itu hanya tidak enak saja mengganggu orang lain yang jelas-jelas pindah rumah agar tidak diganggu, untuk menanyakan sebuah masalah pula. "Apa kau tahu kira-kira di mana lokasi semua Hocrux itu?"
Cedric menggosok pelan hidung mancungnya pada puncak kepala sang istri, "Kau tahu?"
[name] menanggah, saling tatap sepersekian detik kemudian mengerang pelan. "Tidak lah."
"Aku bingung harus mencari dari mana dulu."
Harry menggaruk rambutnya yang baru kemarin dikeramasi. Maklum, untuk menghadiri pernikahan Kakaknya Ron. Harus tampil ganteng, apalagi ia banyak melakukan kontak dengan Ginny. Ehm.
"Beberapa sudah dekat denganmu, Harry. Lokasinya, aku tak tahu. Mungkin di Hogwarts, atau ada juga yang mengikutimu kemana-mana. Pokoknya dekat." [name] berbicara dengan nada lurus, kedua netra coklatnya terpejam lemas.
"Perasaanku saja sih. Tapi mending cari ke tempat yang jauh dulu, yang itu silahkan cari petunjuk sendiri. Aku lelah."
Perempuan itu berdiri, "Menginap saja dulu, sudah terlalu larut. Kalian tetap butuh istirahat."
Tanpa mengatakan sepatah katapun lagi, [name] berjalan meninggalkan keempat manusia yang masih saling diam. Sebelumnya ia sempat bergumam ingin tidur duluan, mengecup pipi sang suami singkat sebelum akhirnya bergerak menuju kamar tidur.
Belum dua puluh empat jam mimpi buruk itu datang, sudah diikuti petaka yang dari selama ini dihindari.
[]
[name] dan Cedric terduduk diatas ranjang.
"Sudah hampir jam tiga," Cedric memulai percakapan. "Masih belum ngantuk?"
Perempuan itu menghela nafas singkat, "Belum."
"Mhm. Kemari." Laki-laki itu mengeluarkan gestur agar sang istri bergerak mendekat, [name] menurut. Kepalanya beristirahat diatas dada bidang yang selalu berhasil menghantarkan hangat.
Keduanya memikirkan banyak hal, mengkhawatirkan hidup mereka kedepannya akan seperti apa. Karena– jelas akan ada yang berbeda rekata matahari menampakan diri pagi nanti.
"Aku akan membantu di bagian pertahanan," Cedric menatap sang istri dalam-dalam. "Kau... yakin tak mau di rumah saja?"
"Diam dan tersiksa menunggu kabar darimu? Begitu?"
Laki-laki itu tersenyum hangat, "Bukan begitu, sayang."
Harry, Ron, dan Hermione sempat memproyeksikan ketakutan mereka pada Tuan Diggory. Dalam waktu dekat, mungkin sekali akan terjadi peperangan. Konfrontasinya sebesar apa masih belum tahu, yang pasti sang Raja Kegelapan sudah lama mengumpulkan pasukan.
The Golden Trio pun tak akan tinggal diam, yang pasti mereka akan mencari bantuan sebanyak mungkin. Sekarang, dengan Snape sebagai Kepala Sekolah, teman-teman serta staf pengajar pasti kesulitan memberikan bantuan.
Untuk hal itu mereka meminta bantuan Cedric.
Menyusup, membantu mempertahankan Hogwarts kalau-kalau para Death Eaters itu berhasil dikalahkan. Supaya mereka tak kembali menguasai, rencananya Cedric dan beberapa anggota Orde akan menyusun strategi.
Sementara itu, [name] akan membantu ketiga remaja tadi mencari barang yang harus mereka musnahkan. Mungkin beberapa ada di sudut lain Planet ini, tugas yang tak kalah berat dari sang suami.
Rencana brilian– sekaligus beresiko ini dicetuskan Ron. Cedric tak bisa melupakan tatapan kagum Hermione saat pemuda itu baru selesai ia puji. Ron bahkan meyakinkan Harry untuk tetap pergi bertiga, berempat ditambah [name], saat cowok itu bersikeras ingin sendiri saja.
"Nggak mau." [name] memutar bola mata. Desahan kecewa kembali meninggalkan mulutnya. "Ced, daripada mendengar berita kematianmu aku lebih baik–"
"Lebih baik apa?"
[name] tak mampu meneruskan perkataannya.
"Istriku khawatir sekali ya." Cedric tersenyum lebar, lagi-lagi mempererat badan lemas si perempuan ke dalam pelukan hangat. "Kita akan baik-baik saja, kalau terus berpikir seperti itu malah sepertinya kau yang ingin aku mati."
"Iya, mati saja. Nanti aku kembali bersama Draco."
"Hmmm? Apaaa?"
Nama itu sukses mencuri perhatian si laki-laki, ia sedikit menjauhkan badan dan menatap [name] lurus-lurus. "Katalan lagi."
Sang istri menyemburkan tawa, reaksi langka yang masih sukses membuat Cedric terpesona. Kedua tangan yang asalnya memeluk erat kini mulai melonggar, menggelitik badan si perempuan sampai ia bergerak tak nyaman.
"Iih, sudah!" [name] menyeka air mata yang hendak keluar dari ujung mata, "Geliiii!"
Cedric ikut terkekeh, tangan besarnya kemudian mengusap puncak kepala [name]. "Istriku sayang."
Sang istri malah memicing, "Ced."
"Mhm?"
"... mau lagi?" Tanya perempuan itu tanpa tahu malu.
Cedric mengembuskan nafas, menyela senyum ringkas. "Kau yang minta ya."
"Iya, sayang." [name] tersenyum miring.
Kepalanya bergerak menyusuri lekukan leher, mengigit kecil kulit mulus sang suami, "Tapi pelan-pelan."
Cedric mulai mengerang, kedua tangan menari-nari diatas piyama tipis sang istri. Kali ini ia mencopoti kancing itu satu persatu, ingin sama-sama dipersatukan dalam wujud sebagaimana mereka diciptakan.
"Ahn, Ced. Sebentar." [name] tetiba menghentikan aktivitasnya tepat saat sang suami mengusap paha bagian dalam.
"Kenapa?"
Untuk pertama kalinya, netra coklat itu menatap ragu.
"Katakan saja." Tukas Cedric seraya menciumi rambut perempuan di hadapan.
"Aku..." [name] mengembuskan nafas, "Mau diatas."
Cedric terdiam sebentar, disusul senyum simpul yang kian detik kian lebar. "Boleh."
Badan kecil itu diangkat dengan mudah, menempatkan kedua netra saling bertatapan. Dengan lengan yang memeluk leher, kaki yang diliukan sampai melingkari pinggang. Serta aktivitas yang masih terus berlanjut– entah sampai kapan.
Masa-masa seperti ini mirip dengan suasana saat kencan pertama mereka dulu, penuh ketidakpastian. Namun keduanya memutuskan untuk tak terlalu peduli, menikmati momen selagi satu sama lain masih menemani.
tbc.
[]
Trivia:
— [name] dan Cedric tidak terlalu sibuk dalam bekerja. Toh kedua keluarga asalnya sudah tajir melintir, makannya bekerja hanya untuk mengisi kekosongan waktu saja. Pokoknya pasutri baru ini tipe-tipe keluarga bahagia lahir-bathin.
— [name] suka binatang. Apapun itu. Cedric suka menata taman kecil di belakang rumah. Liburan suami istri ini tak akan jauh dari mengurus tanaman atau main ke peternakan milik kakek [name] di desa. Salah satu foto diatas adalah Domba gunung milik Kakek [name]. Namanya miaw, Cedric membuat flower-crown dari bunga yang tumbuh di sekitar gunung untuk dipakai [name]. Namun sang istri malah memberikannyaa kepada Miaw.
— Pernah suatu malam, Amos dan Daniel menghabiskan waktu di Pub pinggiran kota sampai mabuk berat. Cedric dan [name] akhirnya menjemput mereka. Tak disangka-sangka keduanya sangat bocor ketika mabuk, bahkan Daniel sampai menangis. Ia bilang sangat bersyukur anak gadisnya dipertemukan dengan laki-laki sesempurna Cedric. Tak lama Amos ikut menangis, berterima kasih karena [name] tak pernah menyerah dan berakhir menikahi anaknya. Keduanya menangis tanpa henti dari perjalanan pulang bahkan keluar-masuk mobil saja sampai harus dibopong.
[]
a/n
kalau buku ini udah tamat
niatnya mau kurevisi
jadi format charaxoc gapapa kan???
kagok aja baca [name] terus hehehhe
thankies!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro