[34] Panggilan Darurat
Ini kalau Tio menginjak gasnya jauh lebih kuat dari biasanya, seharusnya enggak masalah sih. Dirinya piawai kok memainkan setir mobilnya. Zaman ia belum memegang Faldom, dirinya jiwa yang bebas. Offroad, balap liar, atau sekadar bersenang-senang mencoba mobil sport baru di jalan Jakarta, sudah sering ia lakukan. dan kemampuannya itu enggak berkurang sama sekali meski sudah lama enggak seenaknya memotong laju kendaraan lain.
Andai saja di sampingnya, Leony bertampang biasa saja, tenang, datar, dan enggak sesekali mengusap pipinya yang lembab. Pasti Tio juga berkendara dalam kondiri baik-baik saja.
"Sabar, ya," kata Tio berusaha menenangkan.
"Sebenarnya aku takut kalau kamu enggak bisa mengendalikan laju mobil, sih," kata Leony sembari menggigit bibir bawahnya. "Ibuku hanya ngamuk aja, kok."
"Ngamuk tapi bikin kamu nangis, Anna?" Tio mendelik kesal pada gadis yang tampak gusar dengan caranya berkendara. Dia, lho, berusaha untuk mempercepat waktu agar Leony segera sampai di rumahnya. Kenapa harus diprotes, sih? dirinya juga penasaran, kan, kenapa bisa sampai Leony menangis? Biasanya juga kalau ada telepon, apa pun itu, dirinya hanya berekspresi biasa. ditanya sedetail bagaimana juga, enggak ada jawaban yang pasti dari Leony.
Kadang Tio ingin sekali mengguncang isi kepala Leony. Mengumpulkan yang terserak, untuk dijadikan satu biar dirinya paham mengenai sekelumit keluarga gadis berponi itu. yang Tio tau, Leony tinggal bersama ibu dan dua adik laki-lakinya. Ayahnya sudah meninggal lama.
Itu saja.
Enggak seperti dirinya yang tanpa disadari, terlalu banyak Leony tau mengenai siapa dirinya.
"Aku khawatir sama Haikal, Tio." Inginnya, sih, banyak bicara. Tapi kepalanya pusing mendadak. Telepon yang baru ia terima sekitar setengah jam lalu pemicunya. Padahal ia tengah asyik menikmati tontonan yang banyak digandrungi serta dibicarakan. Enggak sedikit staf di kantornya membicarakan film berdurasi tiga jam ini. Malah banyak juga yang memasang status demi untuk memperlihatkan kalau mereka enggak ketinggalan trend yang ada.
Kalau Leony ingin mengikuti gaya mereka, bisa saja sih. tapi Leony belum ingin banyak bersuara karena pasti Tio enggak kalah dalam hal update status. Bisa-bisa satu kantor Faldom gempar karena tingkah Tio.
Bicara mengenai telepon yang membuat ia enggak melanjutkan kencan bersama Tio, berasal dari Hari. katanya, Haikal kena pukul sang ibu karena enggak menuruti apa yang ibunya inginkan. Kepalanya berdarah. Hari bukan enggak mau menolong Haikal dengan cepat, tapi ia harus memastikan ibunya enggak berulah. Makanya ia meminta bantuan tetangganya membawa adik bungsunya ke klinik terdekat.
Hati kakak mana yang enggak mencelos mendengar kabar barusan? padahal sebelum ia benar-benar pergi bersama Tio, di depan sang pria juga, ia memberi kabar kedua adiknya. enggak ada yang membantah, bertanya ini dan itu, justru yang ada meminta Leony untuk bisa menjaga dirinya dengan baik. Jangan lupa makan dan minum vitamin. Mereka berdua paham, sang kakak bekerja seringnya ekstra demi mereka.
Hanya tadi Haikal bilang, ada dua soal pekerjaan rumahnya yang enggak bisa Hari beritahu. Katanya, "Abang enggak paham soal nomor lima, Kak. Aku fotoin soalnya, ya."
Setelahnya, enggak ada yang aneh. Sampai telepon itu datang yang membuat Leony berjengit kaget. Hampir saja ia tersandung salah satu anak tangga saking buru-burunya ingin segera keluar dari area bioskop. Untuk mendengarkan lebih jelas maksud telepon Hari yang putus-putus itu.
"Iya, tenang ya. Sebentar lagi kita sampai." Tio memberanikan diri akhirnya. Mengusap lembut bahu Leony. "Jangan nangis lagi."
Leony mengangguk pelan. pikirannya mendadak penuh. Apalagi mengingat mengenai ibunya. yang mana banyak yang sudah memberi peringatan agar ia membawanya ke spesialis yang bisa menangani trauma serta emosi sang ibu. Sayangnya, Leony terlalu sibuk bekerja. Bukan enggak mau. Ia juga enggak ingin kondisi sang ibu terlalu berlarut di mana dirinya juga merasakan tekanan. Namun sebagian hatinya juga masih belum terima, sang ibu butuh perawatan lebih dari sekadar makan dan minum.
Ada kalanya Abigail bicara dengan nada yang lembut. Tapi seringnya enggak pernah bisa membuat senyum Leony kembali hadir seperti dulu. Kalau saat ia kecil, Leony ingat kok Abigail sering menenangkannya. Meski ada sang ayah yang jauh lebih memperhatikan Leony, tapi kasih sayang ibunya ia rasakan. Yang kasihan adalah Haikal. Adiknya sering sekali menjadi bulan-bulanan sang ibu.
Makanya Leony sayang sekali dengan Haikal dan berjuang dengan kerasnya pekerjaan yang ia hadapi demi untuk memastikan Haikal mendapatkan pendidikan yang layak. Hari sendiri juga menjadi penyemangatnya mencari lembar demi lembar uang yang masuk ke rekening.
Sepertinya ini memang sudah batasnya Leony bersabar.
"Terima kasih, Tio," Leony menghela pelan. "Maaf jadi rusak kencannya."
Tio tertawa jadinya. "Bisa diulangi besok. Ada Naina. Aku janji."
Senyum Leony, meski tipis, di tengah gundah serta banyak pikiran mengenai keadaan Haikal, pada akhirnya tersungging sudah. Padahal ucapan itu sederhana. Toh ... mengulang kebersamaan mereka juga pastinya bisa Tio lakukan kapan pun ia mau. Tapi menuruti apa yang Leony inginkan yaitu bersama Naina, buat gadis yang melepas kacamatanya sejenak, cukup berarti.
Leony mana tega kalau ingat Naina meringkuk sendirian di kamar dengan muka cemberut. Lantas saat mereka bertemu nanti, muka itu enggak ada senyumnya menyambut Leony. Aduh ... mahalnya harga senyum Naina kalau sudah seperti ini. kalang kabut lah Leony berusaha sebisa mungkin mengembalikan Naina yang akrab dengannya.
Bagi Leony, Naina sama dekatnya dengan sang adik. Ketiganya memiliki porsi sayang yang sama besarnya.
"Kalau aku boleh tau, ada apa memangnya?" tanya Tio dengan nada penuh hati-hati. Ia juga bertaruh pada tiap kata yang terucap, takut kalau Leony merasa tersinggung. Atau enggak nyaman ditanya mengenai apa yang terjadi.
"Mama ... berulah," katanya pelan. wWjahnya yang semula sesekali menatap Tio, kini tertunduk. Tangannya saling meremas ujung kemeja. Matanya kembali memanas siap tumpah lagi cairan bening yang sejak tadi membasahi pipinya.
"Aku temani kamu, ya." Tio kembali mengusap bahu Leony. Memberinya semangat lebih meski enggak tau maksud berulah di sini apa. Rasanya enggak tepat kalau dirinya banyak bertanya di saat Leony diterpa kalut seperti ini. sedan yang ia kendarai mulai memasuki area komplek perumahan Leony yang sangat Tio hapal di luar kepala.
Agak jauh memang dari gerbang utama komplek. Juga masuk menyusuri banyak jalan serta pos keamanan yang jarang sekali ada penjaganya. Saat mobilnya menepi tepat di tempat biasa Tio menurunkan Leony, memang agak ramai rumahnya. Biasanya sepi dan penerangan yang temaram.
Leony buru-buru keluar dari mobil yang mana Tio segera mengikuti. Persis di depan gerbang, Leony bisa dengar teriakan sang wanita memanggil namanya.
"ANNA!!! ANAK BERENGSEK! SIALAN! ENGGAK TAU DIUNTUNG!"
"Ma!" Hari berteriak keras. Menyentak tangan wanita yang melahirkannya itu dibantu dua tetangganya. Sang ibu terus meronta dengan kuatnya. Hari sendiri kebingungan tenaga dari mana sang ibu dapatkan karena besar sekali tenaganya ini.
"MANA ANAK ITU?! HAH?! ANAK SIALAN! PEREMPUAN GILA!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro