[26] Pengakuan Tio
Ini kalau ada lomba nyengir sepanjang hari, sepanjang masa, dan setiap detik yang berlalu diadakan di Jakarta, Tio harus mendaftar sebagai peserta utama. paling awal, juga pastinya memenangkan juara umum dari segala macam jenis kontes yang ada. gelar senyum enggak mau luntur karena hal yang menggembirakan patut disabet olehnya.
Gimana enggak?
Sejak semalam, tepat setelah ia pastikan asistennya itu masuk ke dalam rumahnya dengan aman. Juga menunggunya sampai ia benar-benar ada di kamarnya; ini macam drama korea enggak, sih? Pacarnya nunggu sampai dibukakan jendela dari lantai dua. Melambai mesra serta mengucapkan selamat malam, semoga mimpi indah, jangan lupa mimpikan pasangannya dengan mesra. Nah ... hal itu juga yang Tio lakukan pada Leony.
Sumpah!
Belum pernah sepanjang usia tiga puluh lima tahunnya, ia melakukan hal seperti ini. tapi karena Leony, enggak jadi soal dan ia enggak keberatan sama sekali. Malah rasanya, manik matanya enggak mau pergi dari jendela yang sudah menampilkan sosok gadis yang waktunya hampir kebanyakan dihabiskan di sisinya.
Dan kegembiraan itu ia bawa sampai pulang. Ditanya ibunya juga ia hanya jawab, "Enggak apa-apa, Ma."
Dibiarkan juga Yesy berseloroh mengenai kegembiraan yang menghampirinya. Sampai Tio rasa enggak ada lagi curiga lantaran kedua wanita paruh baya itu belum pergi tidur. Malah asik bergosip ria sepertinya di depan TV yang menyetel serial yang tengah digandrungi; Wednesday. Tapi sepertinya juga, dua wanita ini enggak terlalu ingin menonton. Buktinya, sekelebatan saja.
Dibawanya senyum itu sampai di ranjang. Ia tutup tubuhnya dengan selimut tebal juga enggak hilang begitu saja keceriaan di wajahnya. rasanya ia harus meminta Leony, esok harinya, untuk membawa rekomendasi dokter kejiwaan. Tepat sasaran sekali gadis itu berucap. Padahal yang membuat Tio begini siapa?
Leony, lah!
Mari diurutkan dari pertanyaan Tio yang membuat Leony justru segera melepas seat belt-nya. Padahal niat Tio itu enggak mesti ditanggapi dengan keinginan Leony yang mempercepat waktunya bersama Tio. Lagian mereka jarang, kan, membahas masalah yang terlalu privasi berdua? Selebihnya, diskusi di antara mereka hanya terjadi mengenai pekerjaan saja. jadwal yang padat. Laporan yang bikin kepala mumet. Belum lagi banyak hal yang harus mereka lakukan di tengah kesibukan yang menjerat.
"Saya niat beritahu kamu, Abrianna." Tio menahan gerak Leony membuka pintu mobilnya. kunci otomatis selalu ada di tangan Tio. seringainya muncul begitu Leony menoleh ke arahnya. Meski merengut, tapi Tio senang sekali ada ekspresi yang dikeluarkan sang gadis.
"Ini sudah malam, Pak. Bapak enggak lelah memangnya?" Leony berusaha sabar.
"Capek, sih, tapi kalau ada kamu, saya yakin bisa hadapi apa pun masalah yang menghadang."
"Macam lagu, Pak. walau badai menghadang ... ingatlah ku 'kan," Leony terdiam. "Enggak jadi, deh, Pak. tolong bukakan, saya sudah mau pulang. Mau tidur. Ngantuk."
"Kenapa enggak diteruskan? Padahal bagus, lho, itu liriknya."
Leony berdecak pelan. "Ayolah, Raptor. Besok masih banyak yang harus kita kerjakan."
"Panggilan sayangnya ganti dulu, Abrianna."
Leony menghela pelan. "Enggak."
"Enggak lucu, Anna, kalau kamu sebut nama aku seperti itu terus." Tio belagak merajuk. Ia melirik sinis pada Leony yang malah menampilkan senyum tipisnya.
"Terus apa? Mas? Aa'? Honey? Sayang? Bebs?" Leony jadi tertawa dengan ucapannya sendiri. "Itu sebutan dari wanita yang kamu kencani, Tio."
Tio mencebik. "Sebenarnya aku itu tipe pria setia, Anna."
"Setiap tikungan ada."
Pria itu terperangah. "Kamu ngawur sekali makin lama, ya?"
"Lho?" Leony ngakak. "Saya benar, kan, Tio? Enggak sekali dua kali, lho, saya harus urus pacar kamu itu. Yang enggak tau juga namanya siapa. Bella, Nisa, Rara, Maureen, Septi, Laura, Monika, Desi, Diana, Ima, Clara, Ella, siapa tau coba astaga Tuhan. Kamu enggak salah sebut nama, kan?"
Tio jadinya ngakak. "Makanya sebutan mereka universal aja." Ia pun enggak menyangka, mereka bicara seenteng ini? "Sayang untuk mereka."
"Pintarnya Raptor memburu buruannya."
"Sudah lah. Saya kalah terus dalam hal ini." Tio sedikit membenahi duduknya. "Listen," Kali ini, Tio lebih tegas bicaranya. Matanya juga enggak melepaskan Leony dengan mudah. Sedikit banyak, membuat gadis itu harusnya salah tingkah. Tapi sayang, ia berhadapan dengan Leony yang tau seluk beluk dirinya seperti apa. Herannya, ia enggak pernah ingin menutupi apa yang terjadi padanya.
Meski mungkin enggak keseluruhan tapi banyak yang ia bagi pada gadis berkacamata ini.
"Saya pernah bilang, kan, mereka sekelebatan aja? Enggak ada yang nyangkut sama hati saya, Anna. Saya pastikan itu."
"Biarpun cantik?"
Tio terkekeh. "Saya butuh enggak hanya sekadar cantik, Anna. Saya ingin, wanita yang mendampingi saya secara kualitas enggak payah untuk dipamerkan. Isi kepalanya brilliant. Semangat kerjanya tinggi. Ia punya value yang oke di mata saya. Dan yang paling utama, dia sayang sama Naina."
Tio masih belum ingin melepaskan matanya dari Leony. "Janji saya jelas pada kedua orang tua Naina. Saya bukan sebatas Om yang harus menjaganya sampai kelak, dirinya bertemu pria yang tepat. Tapi saya juga mau, istri saya kelak menganggap Naina bukan sebatas keponakan belaka. Dan itu saya akui, Anna, sulit sekali."
"Spek yang Bapak inginkan bidadari, tapi Bapak sendiri kelakukan benar-benar pemburu sejati."
Tio ngakak sejadi-jadinya. Enggak sangka kalau Leony bisa mengutarakan hal itu sedemikian gamblang. Apa katanya? spek bidadari? Ah ... mungkin seperti itu. Tapi enggak ada yang salah dengan pilihannya, kan? Ia lelaki. Yang mana ingin istri yang memenuhi ekspektasinya. Saat ia dapatkan, ia sudahi pengelanaannya.
Lagi juga apa yang Tio lakukan di ranjangnya, sama-sama suka. Enggak ada rasa terpaksa. Ia juga enggak butuh banyak rayuan agar pakaian teman kencannya tanggal begitu saja, kok. Lantas kenapa dirinya yang dipersalahkan? Bukankan wanitanya juga yang enggak bisa menjaga harga dirinya? Atau sepertinya, Tio harus meluruskan sesuatu. Pacaran orang dewasa mungkin memang berakhirnya di ranjang? Entah lah. Tio enggak terlalu pahami konsep di mana dirinya bergumul bersama banyak wanita. Yang ia mengerti, mereka sama-sama puas.
Itu saja.
"Pria disodori tubuh wanita yang molek dan seksi enggak mudah untuk menolaknya. Saya juga butuh pelepasan, Anna."
Leony mencibir.
"Mereka juga enggak keberatan, kan?" Tio tersenyum tipis.
Leony terdiam.
"Saya hanya berdua dengan Naina, Anna. Kamu tau, kan? enggak mungkin saya harapkan Mama dan Papa selalu ada di samping saya. Mereka juga punya kesibukan. Kamu tau, kan, betapa dekat sama dengan Naina meski yah ... saya akui, sekarang berjarak. Saya yang salah."
"Enggak coba perbaiki?"
Tio menarik napasnya panjang. "Setelah rapat komisaris sepertinya saya ubah banyak kebiasaan. Termasuk kencan dengan banyak wanita."
"Saya dukung kalau begitu. Biar banyak waktu juga untuk Naina."
"Kan, kencannya berganti sama kamu."
Bola mata Leony terputar sebal. "Mana ada konsepnya seperti itu."
"Lho? Wanita yang ada di dekat saya itu cuma kamu, Anna. Yang paling tau segala hal mengenai hidup saya, Cuma kamu. seharusnya kamu sadari itu."
"Apa yang mesti saya sadari kalau kamu terus menerus buat saya kecewa?"
Tio memejam sejenak. "Iya. Saya akui itu. saya salah. Seharusnya saya sudahi semuanya begitu kamu muncul di depan saya beberapa tahun silam. Sayangnya ... seperti yang tadi saya bilang, itu enggak mudah. Malah kamu tambah, mengabaikan saya terus. Kamu pikir saya enggak pusing jadinya? Padahal saya berniat serius, lho. Saya coba berkali-kali narik perhatian kamu dengan banyak wanita, malah kamu dukung. Enggak ada kecemburuan pula di wajah kamu. Apa enggak tambah keki aku kamu buat, Anna? "
Leony mengerutkan kening.
"Enggak usah buat saya seperti pendosa besar, Anna. Berapa kali saya bilang, ayo kita menikah. Berapa kali juga saya katakan, kalau kamu belum siap, kita kencan dulu."
"Siapa juga yang mau kencan sama Raptor macam kamu? Yang tau-tau diburu dan dimangsa hidup-hidup?"
Senyum Tio tipis sekali tercipta. "Perlu kamu tau, Anna. Kalau memang aku berniat seburuk itu ke kamu, mudah buat kamu ada di ranjang aku, kok. Tapi enggak. Aku enggak mau melakukan sebuah pemaksaan sama orang yang memenuhi kepala aku sejak lama. Apalagi ditambah, semua yang aku inginkan ada di kamu."
Sayangnya ... Leony terlalu lama berdekatan dengan Tio. Jadinya, dipandangi dengan intesnnya oleh sang pria, enggak ada efek apa-apa. Yang ada, enteng sekali tangan Leony mengusap wajah Tio. "Prove it."
"Oke." Tio cepat sekali jawabnya. Ditambah tangan yang tadi mengusap wajahnya, ia tahan begitu saja. digenggam erat enggak akan dilepaskan. Kalau Tio pikir, ini pertama kalinya mereka saling bersentuhan. Astaga, Tuhan! Demi apa pun yang ada di muka bumi ini, kalau berurusn dengan Leony, Tio enggak pernah mau gegabah.
Bukan apa. Takutnya semakin ia ditendang menjauh dari hidup sang gadis.
"Bukan aku enggak percaya, Tio." Leony yang enggak bisa menarik tangannya dengan bebas. "Kalau kamu mengajak aku berhubungan hanya karena janji yang harus kamu tepati, lebih baik enggak usah. Sudah lama aku lupakan permintaan itu, kok."
Tio memilih diam karena sepertinya Leony masih mau bicara.
"Dan diperparah sekarang. Mama dan Bu Yesy serius menjodohkan kamu dengan wanita di luar sana. Kalau kamu beranggapan, aku ini bisa kamu jadikan pelampiasan, lebih baik mundur. Jangan perlakukan aku seperti itu, Tio."
"Enggak," tukas Tio dengan cepatnya. "Enggak ada kaitannya dengan perjodohan aneh yang Mama buat." Tio juga menggeleng dengan cepatnya. "Aku yang tentukan hidupku bagaimana dengan gadis yang aku inginkan."
Leony mulai mengalihkan matanya pada genggaman tangan yang masih saling tertaut ini.
"Beri aku kesempatan untuk buktikan kalau semua yang berkaitan dengan wanita yang ada di hidup aku, hanya sekelebatan."
"Raptor menang banyak, ya. Mencicipi banyak wanita di luar sana, pengin istri yang enggak ngerti apa-apa."
"Astaga, Tuhan!!!" Tio benar-benar enggak menyangka mendengar hal ini dari Leony. "Kamu cemburu banget, ya, Anna?"
"Dari mana cemburunya, Tio? Itu kalimat tersarkas yang aku punya, lho! sindiran telak karena memang terjadi, kan? Maunya kamu dapat spek wanita yang sempurna di mata kamu. Tapi kamu main-main di luar sana. Tuhan! Aku ngeri banget kamu kena hukuman dari Tuhan. Serius."
"Eh, kamu enggak tau hukuman Tuhan buat aku apa?"
Leony sudah pasang kuda-kuda karena omongan Tio yang sering melantur.
"Ditolak sama Abrianna Leony Jacob. Kurang menggenaskan apalagi hidup aku, Anna?"
Gadis berkacamata itu terpingkal dibuatnya.
"Ditambah sekarang ditertawakan pula." Tio mengusap wajahnya pelan. Namun demi mendengar, menatapi bagaimana wajah itu melukis senyuman, serta suara tawanya yang renyah sekali, Tio enggak masalah.
"Jadi ... mau, kan, beri aku kesempatan untuk buktikan. Aku bisa berubah untuk kamu. Hanya kamu, enggak ada embel-embel lagi di dalam tiap tindakan aku nantinya. Yang mana bisa kamu yakinkan di hati, aku memang cinta."
***
"Meeting di Le Meridien, coret. Ganti di Sahid. Jam dua dengan Greenland. Tapi minta mundur hari kamis, waktu dan tempatnya sama." Leony membaca sekali lagi jadwalnya. "Dua hari lagi, bertemun dengan Nadia di Amaris, pertemuan tertutup." Ia juga kembali mencatat bagian yang terpenting.
Agendanya enggak pernah luput dari sisinya. Tangannya bergerak terampil menginput banyak perubahan yang ada. kalau ia ragu, kembali rekaman informasi dari Tio ia dengarkan.
"Ony," panggil Tio yang mana membuat dirinya mendongak.
"Ya, Pak?"
"Bisa bertemu Nadia sekarang enggak, ya?"
Astaga. Kenapa, sih, Tio ini hobi sekali gonta ganti jadwalnya. Padahal bertemu dengan Nadia memang dijadwalkan siang ini tapi karena Tio ada urusan mendadak, ia buat mundur. Enggak ada yang mendadak, sih, tapi Tio enggak persiapkan diri saat divisi marketing memintanya membahas sesuatu. Ada yang jauh lebih urgent tapi ternyata enggak sampai memakan waktu lama.
"Saya harus konfirmasi dulu dengan beliau, Pak." Pasal satu saat ia menjadi asistennya Tio; enggak boleh bertampang kesal saat Tio seenak jidat mengubah perencanaannya. Tapi Leony kadang lakukan itu. Ah ... sering. Saking kesalnya Tio enggak pernah benar-benar berpikir, menyesuaikan jadwal sang bos itu susahnya minta ampun.
"Saya tunggu." Tio menarik kursinya. Bersandar nyaman sembari mengangkat salah satu kakinya. Ponselnya ia keluarkan dengan segera dan berselancar melepas penat. Jam makan siangnya sebentar lagi tiba. Niatnya Tio, mengajak bertemu Nadia di Amaris juga makan siang bersama gadis itu.
Sementara Leony dengan cepat menghubungi pihak terkait yang bisa dengan segera menyampaikan perubahan jadwal yang ada. Dalam hati, ia sudah menggerutu menghadapi Raptor yang enggak berubah tingkahnya sebagai seorang bos. Tapi sat melirik ke arah lain di mana satu kotak cokelat yang dibawa Tio pagi tadi, membuat senyumnya mulai tampak.
Belum ia lupa perkataan Tio pagi ini.
"Buat kamu biar semangat kerja. Jangan dimakan semuanya. eh ... tapi enggak jadi masalah, sih, kamu makan semuanya. biar lemak dari cokelat nempel di tubuh kamu."
"Naina suka banget cokelat ini, Pak."
"Memang."
"Sudah diberikan juga untuk Nai."
"Belum, sih." Tio meringis pelan. "Ingatnya kamuy doang saat beli tadi. soalnya Naina minta beli yang lain."
"Berangkat bersama?"
"Iya. tadi dia bilang PR-nya oke punya. Dia percaya diri banget mau pamer sama gurunya."
"Syukurlah." Leony tersenyum lebar.
"Kalau ada PR, dia maunya kamu yang bantu. Kamu enggak keberatan?"
Leony jadinya tertawa. "Selama ini? Memangnya bantuan saya enggak pernah terlihat, ya?"
Bukan. Leony enggak menggilai cokelat yang baru saja ia terima. tapi moment dibelinya cokelat itu, ada keakraban yang terjadi. Bayangnya penuh dengan senyum Naina dan Tio di mobil saling berebut bicara.
"Sudah?" tanya Tio yang membuat lamun Leony buyar begitu saja. Sang gadis mengerjap pelan sebelum akhirnya memfokuskan diri kembali pada gadgetnya.
"Bisa, Pak." Leony mendesah lega jadinya. "Saya siapkan dulu berkasnya."
"jangan lama-lama."
Leony langsung menatap Tio dengan tatapan enggak percaya. "Baru juga terima kabar bisa. Enggak langsung siap-siap dan jalan, kan, Pak?" Enggak tahan juga yang mana membuatnya menggerutu. Yang mana ditanggapi Tio dengan kekehan.
"Jangan lambat, Siput. Urusan kita banyak."
"Iya, Raptor. Sudah tau banyak, harusnya bantuin bukan malah nyusahin!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro