Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[24] Judulnya makan malam. Titik


Leony yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah yang akhir-akhir ini dikunjungi, mengerutkan kening. Biasanya rumah besar ini sepi, hanya Naina yang menyambutnya dengan teriakan juga berlarian tak keruan. Tapi sekarang? Ada Bu Suny serta ... Siapa, ya? Salah satu wanita berambut merah?

Leony mana ingat muka profil wanita yang disodorkan Suny padanya. Selain banyak dan ia butuh seleksi ketat karena katanya harus sesuai dengan Tio juga Naina, wajah wanita-wanita itu agak mirip. Terutama pada bagian seksi. Sama seperti yang ada di depannya sekarang. Kulitnya putih, wajahnya glowing, alisnya cetar membahana badai, rambutnya merah mencolok, serta senyumnya itu ... Kelihatannya tulus.

Naina berdiri di samping wanita itu yang kalau boleh Leony berkata jujur; bocah itu terpaksa ada di samping sang wanita.

"Malam Kak Ony," sapa Naina dengan rengutan kesal.

"Malam, Nai." Leony tersenyum tipis. "Selamat malam, Bu Suny. Bu Yesy." Ia pun menunduk sopan lantaran dua wanita paruh baya ada di rumah ini. Jarang sekali moment ini terjadi. Ataukah ... Ya Tuhan, kenapa Leony lupa kalau wanita berambut merah ini pasti teman kencannya Tio yang disiapkan spesial dari mereka berdua?

Jadi ... Makan malam ini spesial, ya, kan? Kenapa Leony diminta untuk datang?

"Malam, Ony. Mana Tio?"

"Bapak masih terima telepon dari Pak Leo." Leony masih mempertahankan senyumnya. "Maaf, saya enggak tahu kalau acara makan malamnya seramai ini."

Suny tertawa. "Enggak, lah." Ia pun menggamit lengan Leony dengan cepatnya. "Ayo. Kamu perlu coba masakan Muji malam ini." Namun belum juga langkah Leony mengimitasi Suny, sang wanita paruh baya itu menahannya. Padahal ia sendiri yang menarik Leony agar mengikutinya. "Oiya, Ony kenalan sama Mirah dulu, ya."

Leony tak bisa menghilangkan senyumnya. Termasuk menerima uluran tangan wanita yang menurutnya cukup heboh dalam penampilan malam ini. Berbeda dengan Leony yang hanya mengenakan blouse soft pink dengan celana baggy warna gelap, dipadu blazer pink satu tone lebih cerah.

Sementara wanita di depannya ini mengenakan dress dengan potongan dada cukup rendah. Mata Leony jadi membuat perhitungan; cup berapa yang dikenakan wanita bernama Mirah ini? Besar soalnya. Beda dengan miliknya juga ... Ya Tuhan. Dress itu memeluk tubuh Mirah dengan sempurna sekali. Lekuk tubuhnya tak main-main memberi godaan mata lawan jenis untuk menikmati. Leony sendiri saja tak ingin berpaling dengan cepat. Sosok Mirah mengingatkan dirinya akan wanita yang memang sering disebut Naina kala itu.

Mami Farah.

Bedanya, Farah jarang tersenyum. Wajahnya tegas menantang siapa pun yang memberinya tatapan. Bicaranya singkat tapi penuh ketegasan. Memang ... Pakaian yang membalut tubuh wanita bernama Farah itu tergolong seksi tapi elegan di saat bersamaan. Kalau Leony boleh beri pertimbangan, levelnya jauh dengan wanita yang bernama Mirah ini.

Namun atas nama kesopanan, Leony tetap mengulurkan tangannya. Menyebut namanya lengkap dengan senyuman lebar. Seperti berminat dan menyetujui apa pun yang Suny rencanakan; menjodohkan sang bos. Kalau melihat perangai bosnya yang menyukai perempuan seksi, Mirah masuk dalam kategori untuk dibawa ke ranjang. Lalu ... Apa iya akan ditinggalkan begitu saja?

Mengingat perkenalan ini di depan orang tua Tio kali ini, apa akan berakhir seperti yang sudah-sudah?

"Kak Ony," panggil Naina yang membuat Leony memberikan perhatian penuh pada gadis yang kini ada di sampingnya.

"Kenapa?"

"Aku belum kerjakan PR." Naina makin cemberut. "Sekarang tambah ribut saja karena makan malam."

Leony menghela pelan. "Makan dulu, ya. Nanti Kak Ony temani buat PR."

"Tapi banyak." Naina masih menatap Leony dengan ragu.

Ia tak berbohong mengenai pekerjaan sekolahnya. Kali ini ia diminta buat prakarya yang menurutnya sukar. Sudah ia coba sejak siang tadi, dibantu kedua neneknya juga tetap tak bisa memenuhi ekspektasinya mengenai sebuah karya. Entah apa yang salah, baik Suny juga Yesy sampai kebingungan sendiri. Mereka juga tak bisa menghubungi Leony seenaknya demi membantu sang cucu mengerjakan tugas sekolah, kan?

"Iya, nanti Kak Ony bantu."

"Tapi nanti Kak Ony pulang?" Naina kembali melipat tangannya di dada. Bibirnya maju lima centi.

"Selesai temani kamu buat PR, Kak Ony baru pulang." Ia pun mengulurkan tangannya pada sang bocah. "Kita makan dulu, ya. Bu Muji buat apa malam ini?"

"Enggak tahu." Naina mengedikkan bahu tapi sejurus kemudian, ia terima uluran tangan ini. "Tapi Oma Yesy bawa jeruk mandarin. Aku mau makan itu sebenarnya tapi Om bilang aku harus makan nasi dulu."

"Siang enggak makan?" tanya Leony yang meninggalkan mereka semua begitu saja. Entah kenapa kalau ada di dekat Naina, bagi Leony yang lainnya tak terlihat. Malah yang ada, dirinya sibuk tenggelam dalam celotehan sang bocah.

"Makan tapi sedikit. Lagian aku sibuk ngerjain tugas, kan?"

"Tugas yang enggak selesai?" Leony terkikik geli tapi Naina tak marah. Kalau bukan Leony, bisa dipastikan tawa itu langsung hilang karena kemarahan Naina.

Interaksi itu diamati dengan mata Mirah. Tak ada yang terlewat sama sekali. Sejak awal kedatangannya, bocah itu sama sekali tak ingin didekati, bicara saja ketus sekali. Belum lagi sinis sekali mata itu menatapnya. Seolah Mirah musuh yang siap diajak berperang. Walau terkadang nada bicara Naina sedikit turun, tapi Mirah paham, itu hanya sebatas di depan kedua neneknya.

Ya ... Mirah akui, dirinya baru sebentar mengenal Badriya Naina. Namanya memang bagus, tapi sepertinya Naina ini anak yang sangat keras kepala dan tak bisa tunduk begitu saja. Pulang dari rumah ini beberapa waktu lalu, sudah Mirah pikirkan cara untuk mengambil hati Naina. Sayangnya, tak ada satu pun tanggapan yang enak dari Naina. Tidak. Mirah tak akan mudah menyerah begitu saja karena sepertinya ia ...

Jatuh hati. Pada sosok yang masuk ke dalam rumah. Menenteng jas dengan asalnya di tangan. Rambutnya agak berantakan. Tak ada senyum di wajahnya yang tampan. Langkahnya tak ada keraguan di dalamnya. Sampai sosok itu berhenti tepat di depan sang ibu; wanita paruh baya yang berdiri tak jauh darinya.

"Malam, Mama. Malam, Tante," sapanya sembari tersenyum tipis. Saat matanya berserobok dengan wanita yang pernah ia kenali beberapa waktu lalu, Tio akhirnya menyadari makan malam seperti apa yang harus ia dilakoni. "Di mana Naina?" Ah ... untuk apa ia pikirkan?

"Sama Ony tadi." Suny memberitahu. "Ada PR, kami berdua enggak bisa bantuin. Mirah juga sudah berusaha bantu, tapi enggak ada yang cocok."

Tio menarik sudut bibirnya tipis. "Ony paling tahu apa yang Naina butuh." Ia pun melenggang begitu saja setelah melempar senyum setipis mungkin pada wanita bernama Mirah ini.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Suny dengan herannya.

"Ketemu Naina dulu, Ma. Tujuanku pulang ke sini, bertemu Naina, makan bersama dia. Enggak ada yang lain."

Suny mengerjap pelan tapi kemudian berusaha menormalkan diri dari ucapan yang cukup membuatnya terkejut. Lantas menggamit Mirah. "Tio memang seperti itu kalau belum akrab. Ya ... Maklum. Daddy sibuk."

Mirah tersenyum maklum. "Iya, Tante."

"Ayo, Mbak, kita ke ruang makan. Pasti Naina sudah di sana enggak sabar menyantap sup buatan neneknya."

Yesy ikut tertawa jadinya. Namun mata yang saling memandang antara dirinya dan Suny, sudah penuh dengan banyak makna. Sepertinya pancingan mereka cukup memberi isyarat kalau Tio dan Leony sebenarnya memang memiliki sesuatu yang orang lain tak pahami.

Buktinya ... Di meja makan yang mana sudah tersaji menu makan malam mereka, sudah duduk Leony menemani Naina. Di depannya ada Tio yang tak bisa diam minta perhatian Leony. Sementara yang dirusuhi mereka berdua, hanya bisa menghela panjang tapi senyumnya tak ada rasa terpaksa. Telaten sekali menyajikan apa pun yang diminta.

"Kak Ony, ih, enggak mau ada seledrinya. Dikit saja."

"Kalau di sup susah, Nai." Leony menyingkirkan irisan tipis seledri yang menurutnya menyegarkan aroma sup kali ini. "Padahal enak, lho, Nai. Biar enggak bau daging banget."

"Iya tapi ini kebanyakan, Kak." Naina berdecak sebal. "Aku enggak mau makan banyak malam ini. Nanti aku ngantuk."

"Berarti bukan salah seledri, Nai." Leony tertawa. "Tapi nasinya. Iya, kan?"

Naina hanya merengut tapi kemudian menatap penuh minat pada piring Leony yang didekatkan pada piring sajinya. Perlahan nasi yang ada di piring Naina mulai berkurang dan itu semua karena ulah Leony memindahkan bagian miliknya. "Yeay! Nah, segitu saja. Aku sudah kenyang, nanti juga mau jeruk mandarinnya."

"Iya."

"Ony, kamu kalau dendam sama saya enggak gini caranya dong." Tio mana mau kalah. "Ini kebanyakan."

"Kebanyakan dari mana, Pak?" Leony memusatkan perhatian pada Tio yang menatapnya tak suka. "Itu porsi makan Bapak, kan? Saya enggak salah takar, kok."

"Tapi nanti kalau pakai sup dagingnya ini tetap terlalu banyak."

"Piring saya sudah penuh, Pak." Leony tersenyum. "Pelan-pelan saja dihabiskan, ya, Pak. Sayang, lho. Makanannya malam ini enak."

"Enak, sih, enak. Tapi enggak buat saya gendut seperti ini, kan?"

"Yang bilang Bapak gendut siapa?" Leony menarik kursinya. Namun sebelum bokongnya benar-benar mendarat di kursi beralas busa empuk itu, ia sudah menyiapkan air minum untuk Tio juga Naina. "Selamat makan semuanya. Nai, jangan lupa berdoa."

"Sudah, Kak." Naina enggak lagi mendebat Leony.

"Ma, ayo makan. Kenapa jadi kalian yang tertinggal, ya?"

"Enggak sopan, ya, kalian." Suny merengut. "Masa iya tamunya ditinggal begitu saja?"

"Memang kalian tamu, ya?" Tio menyeringai. "Aku lapar, Ma. Ony buat aku enggak bisa banyak bergerak karena pekerjaan. Naina juga mau kerjakan PR, kan? Biar saja makan duluan." Tio tersenyum lebar. "Bi Muji, siapkan makan untuk Mama dan Tante." Tio melirik ke wanita yang ada di dekat ibunya. "Juga Mirah."

"Padahal Mama yang buat makan malam ini, lho." Suny mendekat disertai satu jeweran pelan pada telinga Tio. Membuat sang putra meringis pelan tapi setelahnya tertawa.

"Ma, serius deh. Aku capek banget. Jangan karena aku mendahului makan malam bersama, buat aku enggak selera makan."

Tio dan tingkah seenaknya itu memang tak ada obat. Malah Leony yang tak enak hati. Buru-buru ia bangkit untuk membantu menyiapkan makan malam namun ...

"Mau apa kamu?"

"Ya, Pak?"

"Duduk dan nikmati makan kamu, Ony." Tio berkata dengan tegasnya. "Mama dan Tante Yesy ada Bi Muji. Kamu sudah capek meladeni saya dan Naina. Sekarang waktunya duduk dan makan."

***

Mirah tak buta, kok. Semua yang terjadi malam ini tak ada yang luput dari matanya. Terutama interaksi gadis kecil berambut panjang serta pria yang dipanggil Daddy itu. Juga bagaimana mereka berdua berebut perhatian dari sosok wanita yang menurutnya jauh dari kata modis.

Bagaimana tak ia katakan cupu alias ketinggalan zaman?

Kacamatanya besar macam burung hantu. Mengenakan kawat gigi di mana senyumnya terlihat aneh. Belum lagi poni yang berantakan juga pemilihan pakaian yang menurutnya terlalu sederhana. Tak ada bagian tubuh si gadis yang menonjol untuk diperhatikan. Untuk ukuran gadis yang tinggal di kota dan bekerja sebagai seorang asisten bos besar nan tampan macam Tio, penampilan gadis itu menurut Mirah aneh dan norak.

Berbeda dengan dirinya.

Tapi kenapa, mata sang pria hanya sekadar melirik ke arahnya. Tak ada tanggapan selain basa basi semata? Padahal ia yang disodorkan untuk berkenalan lebih jauh, kan? Tangannya yang tengah memegang tepian cangkir jadi semakin mengetat.

"Mirah," panggil suara yang familier di telinganya. Membuat ia menoleh dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin.

"Ya, Bu?"

"Temani Tio di sana," tunjuknya dengan ujung dagu. "Ngobrol gitu."

"Dari tadi sudah saya cari kesempatan untuk sekadar ngobrol, tapi sepertinya Mas Tio enggak ingin diganggu."

"Kata siapa?" Suny tertawa kecil.

Ucapan itu membuat Mirah ikut larut dalam tawa. "Saya coba kalau begitu, Bu."

Langkah wanita itu sudah menjauh menghampiri sosok yang tadi ia tunjuk. Suny memperhatikan dengan lekat apa yang akan terjadi. Di mana Yesy menghampiri Suny yang masih setia berdiri di posisinya.

"Enggak akan timbul masalah memangnya?" Sebenarnya Yesy agak ragu tapi memang Tio ini butuh ia beri pelajaran sedikit.

"Andai timbul, biar Tio selesaikan dengan cara lelaki." Suny tersenyum lebar. "Saya lebih suka dengan Leony, sih. Meski Mirah baik sebenarnya."

"Iya. Kepribadiannya saya suka, kok. Tapi saya enggak ingin Naina terpaksa menerima Mirah, Suny."

"Saya paham sekali." Suny tersenyum lebar. "Penentu di sini adalah Naina. Kerasnya Mirah masuk dalam hidup Tio, kalau enggak bisa mengambil hati Naina, semuanya sulit."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro