Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

|6|

Hari ini Nemu dan kedua adik Ichiro-san akan datang mengunjunginya. Mereka tentu saja sudah tahu keadaan ia dan suaminya, kunjungan mereka pun untuk menghibur mereka kalau kata Nemu. Namun tak usah kata-kata penghiburan, Samatoki rasanya sudah mati rasa dan tak butuh itu semua. Tapi adik-adiknya berusaha untuk datang dan menyisihkan jadwal kerja mereka yang padat, jadi Samatoki tak tega menolaknya. Toh ini juga bagus, untuk membuat suaminya senang sebab adik-adiknya mengunjunginya.

Keduanya sedang duduk di sofa ruang tamu. Ada banyak kemasan obat-obatan di meja dan segelas air. Ichiro-sannya sedang duduk menyandarkan kepala di bahunya, tubuhnya terbungkus selimut dan wajahnya lebih pucat dari biasanya. Samatoki mengusap-usap kepala suaminya seperti biasa, membuat ia merasa nyaman. Ada lingkaran hitam pekat di bawah sepasang merahnya, namun Samatoki mengabaikannya.

"Samatoki, aku mau melihat bunga sakura sebelum aku lupa lagi." Suara suaminya serak, Samatoki merasakan dadanya sesak seketika.

Samatoki menerawang. Sudah lama ia dan suaminya tak melihat bunga sakura lagi. Terakhir mereka melihat ialah awal-awal setelah pernikahan mereka. Bahkan hari pernikahan mereka juga tepat dengan musim semi dan penuh dengan bunga sakura. Musim semi dan pohon sakura sudah menjadi hal penting bagi keduanya. Itulah saat-saat dimana mereka bertemu pertama kali, kencan pertama mereka (pengakuan tidak dihitung) dan hari pernikahan mereka.

Dan juga ... ketika ingatan dan hal-hal indah itu pertama kali dirampas begitu saja.

Samatoki mengangguk, ia tiba-tiba merindukan pohon sakura ketika mereka pertama kali bertemu. Semoga saja pohon itu masih ada dan masih berkembang dengan baik, Samatoki akan membawa Ichiro-sannya ke sana setelah pemeriksaan besok. "Ya, ayo pergi melihat." Samatoki menerawang kembali, memandang lantai marmer di bawahnya.

Kepala di bahunya bergerak-gerak sebagai respon. Samatoki menepuk-nepuk bahu suaminya dan menyenderkan kepalanya ke kepala di bahunya.

"Ayo kita ajak ... Jiro, Saburo, dan Nemu-chan ... juga."

"Un. Pasti."

"Kita ... undang ... Jyuto-san, Ramuda, dan Sasara-kun ... juga."

"Ya, aku pasti akan membuat mereka datang."

"Aku mencintaimu, Samatoki."

"Aku juga Ichiro."

"Aku tak ingin melupakanmu."

Samatoki menghembuskan napas, berat. Ia merasakan sepasang merahnya memanas saat itu juga, dan tak lama setetes air mata jatuh begitu saja. Sementara itu bahu Samatoki sudah basah.

"Aku juga tak ingin kau melupakanku Ichiro. Dengar, meskipun suatu hari kau melupakanku, aku akan berusaha membuatmu kembali mengingatku Ichiro. Meskipun gagal, aku akan tetap mencoba hingga berhasil. Dan jika kau tetap masih melupakanku, aku akan tetap berusaha mengingatkanmu lagi dan lagi. Aku tak akan pernah membiarkanmu melupakanku, Ichiro. Selama kita masih menyambung napas dan belum sama-sama mampus, aku akan selalu berada di sisimu dan mengingatkanmu akan kenangan-kenangan kita."

"Karena aku mencintaimu. Dan karena kau adalah Ichiro-sanku."

Bahu Samatoki semakin basah. Begitu juga dengan wajahnya sendiri. Keduanya saling menggenggam tangan masing-masing, menyatukan jari-jari yang jari manisnya sama-sama dibalut cincin.

"Jangan lelah untuk mengingatkanku yah, Samatoki-kun."

"Pasti, Ichiro-san."

Semesta memang merenggut paksa keindahannya begitu saja. Namun Samatoki sendiri juga sudah memutuskan dari awal, bahwa jika keindahan itu direnggut, ia akan berusaha merenggutnya balik hingga ia dan Ichiro-sannya sama-sama mampus.

.

Adik-adiknya akhirnya datang. Samatoki membuka pintu dan langsung disambut ekspresi khawatir ketiganya. Samatoki melambaikan tangan sekenanya, isyarat bahwa ia baik-baik saja, dan menyuruh ketiganya masuk.

Ketika keempatnya masuk ke ruang tamu, suaminya telah duduk di sana dan meminum segelas air putih.

"Onii-chan, kami datang." Jiro menyapa kakaknya dengan ekspresi khawatir yang kentara. Saburo di sampingnya, hanya bisa menunduk dan Nemu menepuk bahu Samatoki pelan.

"Ichiro, adik-adik kita datang." Samatoki mengulangi apa yang dikatakan Jiro. Ia menepuk bahu suaminya dan membuatnya tersentak.

Suaminya memandangnya dengan penuh tanya. Samatoki menunjuk ketiga adik-adiknya. Ichiro-sannya mengikuti pandangannya.

Ia memandang ketiganya dengan kosong. Itu tatapan yang mengundang panik Samatoki. Ia bisa merasakan jari-jarinya menegang, namun Samatoki menggelengkan kepalanya dan berusaha berpikir positif.

Tapi sedetik kemudian itu semua hancur, ketika suaminya membuka mulutnya. "... siapa?"

Napas Samatoki tercekat. Kepanikan menghantam seluruh tubuhnya, lagi, lagi, dan lagi. Ia meneguk pilu, dadanya sesak dan ia hampir tak dapat menghembuskan napas. Samatoki tak tahu bagaimana respon ketiga adik-adiknya, mungkin itu sama sepertinya atau mungkin lebih buruk, sebab Samatoki samar-samar mendengar suara bingkisan yang dibawa ketiganya telah jatuh secara bersamaan. Sepasang merahnya memanas, berkedut dengan tak menyenangkan, seluruh tubuhnya mulai gemetar dan tak bisa dikendalikan. Tenggorokannya sempit, degup jantungnya berdetak secara liar dan tempurung kepalanya mulai berisik dengan tak menyenangkan.

Tidak.

Sialan, jangan renggut ini.

Samatoki mencoba menghembuskan napasnya, satu, dua, berhasil, namun itu begitu berat. Dengan gemetar di sepanjang tangannya, Samatoki menepuk pundak suaminya. Meneguk saliva, ia akhirnya mencoba memaksakan suaranya keluar. "Itu Jiro dan Saburo. Adikmu, Ichiro. Dan yang itu Nemu, adikku. Jiro adikmu yang kedua, sementara Saburo adikmu yang ketiga."

Samatoki sudah berjanji, ia sudah berjanji akan mengingatkan suaminya ketika hal seperti ini terjadi. Dengan sudut bibir yang ditarik terpaksa, Samatoki mengulangi perkataannya kembali sampai suaminya ingat.

.

Pagi ini pohon sakura sudah mulai menyuruh bunga-bunganya menyusupkan diri di sepanjang jalanan dan manusia-manusia lalu lalang. Langit sangat biru, dan kehangatan musim semi mulai bertebaran dimana-mana.

Samatoki menggandeng tangan suaminya yang berbalut pakaian rumah sakit, mendekat ke bawah pohon sakura tempat mereka pertama kali bertemu. Beruntung pohon itu masih sehat dan menumbuhkan banyak bunga, meskipun sudah agak menua. Beberapa kelopak bunga jatuh mendarat di kepala suaminya, menyangkut di helai-helai hitamnya, membuatnya terlihat lebih seperti jepit rambut. Samatoki merasa deja vu sejenak.

"Aku merindukan tempat ini."

Samatoki mengangguk. Ia mempererat genggaman tangan mereka.

"Aku bersyukur bertemu Samatoki selama sisa hidupku."

Samatoki lagi-lagi mengangguk, dan menambahkan dengan berat, "aku juga Ichiro."

"Samatoki, ayo kita bertahan sampai kita berdua mampus."

"Tentu, Ichiro."

"Jangan lelah yah Samatoki."

"Un."

Samatoki menghembuskan napasnya, berat, berat. Rasa pahit di tenggorokannya hampir memporak pondakan kewarasannya. Namun pada akhirnya, ia hanya bisa menarik tangan suaminya dan memeluknya dengan erat.

"Aku tak mau kau tak mengingatku lagi, Ichiro." Itu tiba-tiba. Suaranya terdengar pecah. Samatoki sudah tak dapat menahan dirinya. Ia menyerap aroma matahari itu sebanyak-banyaknya, dan ketika ia mengerjap tetesan air mata telah jatuh dari sepasang merahnya yang menggelap. Rasa-rasanya dadanya terlalu sesak dan kepalanya sangat berisik. Samatoki mengeratkan pelukannya, bahunya sudah terlalu basah. "Aku tak mau kau menatapku seperti itu. Aku tak mau, Ichiro-san."

Tapi apa yang bisa dilakukan? Inilah hukuman dari semesta untuk pendosa sepertinya. Ia sudah terlalu banyak menikmati keindahannya selama ini.

"Aku juga tak mau berpisah denganmu, Samatoki. Aku ingin selalu mengingat Samatoki, pohon sakura dan musim semi. Aku tak ingin, Samatoki. Aku tak ingin." Suara Ichiro-sannya benar-benar serak, Samatoki bisa merasakan bahunya dicengkram erat. Rasa-rasanya kepalanya semakin berisik dan rasa aneh di perutnya membuatnya tak nyaman.

"Aku mencintaimu, Ichiro. Terima kasih, terima kasih atas semuanya."

"Aku juga Samatoki. Aku mencintaimu juga, dan terima kasih banyak telah menampung sisa jiwaku."

Samatoki semakin mempererat pelukannya. Ia baru akan membuka mulutnya, ketika ia merasakan suaminya menggeliat dan berusaha melepaskan diri dari pelukannya.

Kepala Samatoki mendadak kosong.

Tidak

Tidak

Tidak, sialan, keparat, ini tidak akan terjadi bangsat

Sialan jangan renggut ini semua, semesta bangsat

Sepasang merahnya sepenuhnya menggelap.

"Hei Ichiro—"

Suaminya melepaskan diri dari pelukannya. Napas Samatoki patah-patah, ketika ia mendapati tatapan itu, tatapan asing yang lagi-lagi dilemparkan suaminya, tatapan sialan itu yang membuat tubuhnya mendadak mati rasa. Hijau dan merah yang kosong dan gelap. Tak ada jutaan bintang. Aroma matahari favoritnya mendadak menghilang sepenuhnya. Samatoki terbungkam, gemetar hebat dan ia kelimpungan.

"... kamu siapa? Aku mengenalmu?"

Napasnya tercekat. Samatoki benar-benar mati rasa. Jantungnya merosot ke dalam perut, barangkali tenggelam dalam asam. Samatoki gemetar, dadanya terlalu sesak dan ia bahkan mendadak tuli seketika. Hanya ada kosong dan gelap yang ada dalam sepasang merahnya. Angin dingin menerpa. Pohon sakura yang indah sudah tak dapat dinikmati lagi.

Ichiro-sannya hilang.

Ia sepenuhnya hilang dalam kepala Ichiro-sannya.

Musim semi benar-benar membawanya.

Samatoki mengerjap, dan ketika ia sadar, wajahnya penuh dengan air mata. Sangat basah. Dan sepasang merahnya selalu memanas setiap saat.

Kepanikan benar-benar melahap seluruh tubuhnya, membuat warna abu-abu dan hitam kembali memenuhi pandangannya.

'Jangan lelah yah, Samatoki-kun.'

Samatoki mengerjap lagi. Ia menggelengkan wajahnya, berusaha mengenyahkan semua rasa sakit yang ada pada seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang masi gemetar, Samatoki membersihkan kelopak-kelopak sakura yang masih menyangkut di helai-helai hitam suaminya. Sudut bibirnya tertarik, membentuk lengkungan tulus.

"Aku Aohitsugi Samatoki. Suamimu, Ichiro-san."

Samatoki sudah sepenuhnya berjanji akan merenggut kembali keindahannya. Dan tak apa, ia akan selalu berada di sisi suaminya dan terus mengingatkannya kisah-kisah tentang mereka, dari pertemuan pertama di bawah pohon sakura, kebodohan Samatoki dalam pengakuan, lamaran yang tak ada romantis-romantisnya, hari pernikahan yang penuh tumpukan bunga sakura, serta bangaimana hari-hari pernikahan mereka dijalani dengan tawa. Tak apa jika ia gagal, ia akan selalu mencoba untuk berhasil. Masih ada esok hari. Ia akan selalu mencoba mengembalikkan Ichiro-sannya, akan selalu mencoba mengembalikan jutaan bintang-bintang dan aroma matahari. Ia tak akan lelah dan berhenti untuk merenggut kembali keindahannya. Ya ia tak akan lelah, sampai keduanya benar-benar mampus bersama suatu hari nanti.

Jika musim semi benar-benar telah membawa Ichiro-san, maka Samatoki tinggal melompati musim dan berusaha membawa suaminya kembali di musim semi berikutnya.

"Mau dengar cerita tentang bocah kelas 6 sd yang bertemu remaja baru masuk smp?"

Samatoki menceritakan semuanya dari awal kepada suaminya, di bawah pohon sakura yang agak menua. Seperti beberapa tahun yang lalu, ketika sepasang bocah telah bertemu, dan pohon sakura yang telah jadi saksi terbentuknya kisah keduanya.

- rampung

.
.
.
.

Saya benar-benar menyelesaikannya dengan terburu-buru(눈‸눈). Ah isinya pasti acak dan tak bagus, saya bahkan tak yakin apakah angstnya bakal terasa, dan hal-hal yang benar-benar acak lainnya. Tapi meskipun isinya ini benar-benar acak, kuharap kalian masih bisa menikmatinya💚

Juga, saya benar-benar kesusahan dalam membuat ending. Saya tak yakin dengan endingnya, ah gantung sekali (눈‸눈). Saya benar-benar berharap kalian semua masih bisa menikmatinya.

Saya ingin meminta maaf kepada Samatoki dan Ichiro karena membuat nasib mereka seperti ini. Tapi yah, mau bagaimana lagi. Samaichi tanpa angst sangat tidak afdol. Ah, saya benar-benar sayang dengan mereka.

Dan yah terima kasih juga kepada sayangku, @vrxyz_ yang telah memberikan saran dan kritik.

Saya juga tentu berterima kasih kepada Frgament yang telah membuat project menarik ini.

Terima kasih sudah membaca!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro