Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 9

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Niat hati ingin menghindari masalah, justru malah semakin parah."

"Buna nemuin ini di nakas," katanya seraya menyerahkan sebungkus obat yang Naqeesya sengaja sembunyikan di antara tumpukan buku-buku kuliah.

Naqeesya meringis kecil. "Buna mau marahin, Sya ya?"

Kening Hamna justru mengernyit. "Marah? Untuk apa?"

"Gara-gara Sya konsumsi morning after-pill atuh."

Mata Hamna membulat tak percaya. "Ini yang Sya maksud morning after-pill? Jangan bohongin Buna deh, Sya. Ini mah pil penyubur kandungan kali."

"Hah?! Apa, Buna?!"

"Sya dapat pil ini dari siapa coba? Bisa-bisanya pil penyubur kandungan dikira morning after-pill. Sya baca nggak sih kemasannya?"

Bahu Naqeesya merosot seketika, lalu menggeleng lemah. "Sya nggak baca, cuma ngikutin arahan apotekernya aja, Buna. Terus gimana atuh, Sya udah rutin konsumsi pil itu," katanya begitu panik.

Hamna menepuk jidatnya. "Ayah sama Bunda Sya hobi banget baca, anaknya boro-boro baca buku. Obat aja asal minum, tanpa tahu itu obat apaan. Kalau itu racun gimana, Naqeesya? Ya Allah!"

Naqeesya mencebik, memainkan ujung kemeja yang dikenakannya. "Gimana atuh, Buna? Sya takut hamil."

"Di mana Sya beli pil ini? Masa ada apoteker yang teledor sih. Jelas-jelas morning after-pill sama pil penyubur kandungan itu beda jauh."

"Apotek seberang jalan itu lho, Buna. Sya bilangnya morning after-pill kok, bukan penyubur kandungan. Sya nggak mungkin typo, soalnya, kan ngomong langsung."

"Kapan belinya?" tanya Hamna penasaran.

"H+3 setelah kejadian malam itu, Buna."

"Ya Allah, Ya Rabbi, itu hampir tiga bulan lalu, Naqeesya. Sudah haid belum?"

Naqeesya pun menggeleng pelan, semakin resah dan panik dibuatnya.

"Bang Hamizan tahu soal ini?"

"Tahu, orang Bang Hamizan kok yang nganter Sya ke apotik, tapi emang cuma nganter doang, nungguin di parkiran."

"Hamizan!" teriak Hamna cukup lantang.

Sang putra langsung datang dan menghampiri Hamna dengan langkah cepat. "Iya, Buna kenapa?"

"Abang jahilin istrinya, ya? Ini pil penyubur kandungan, bukan morning after-pill!"

Mata Hamizan membulat seketika. Dia menggeleng tegas. "Abang nggak tahu apa-apa, Buna. Abang nggak pernah lihat obat itu, orang disembunyiin Naqeesya supaya nggak ketahuan Buna sama Bunda katanya. Abang ke apotik ya cuma nganter doang, udah selesai."

"Kalian ini ya ada-ada aja. Kenapa nggak bilang Buna, kan bisa Buna yang beliin. Sekarang gimana coba? Niatnya mau mencegah, malah kebobolan, kan. Beli testpack sekarang!" titah Hamna pada sang putra.

"Malu atuh, Buna, nggak mau ah," cicitnya.

"Kok sekarang gitu? Disuruh Buna udah berani nolak ya?"

Hamizan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya ..., iya ..., oke Abang mau."

"Buna nggak habis pikir sama apotekernya, kok bisa salah kasih obat. Yang beli emang banyak, Sya? Ketukar mungkin."

Naqeesya menggeleng pelan. "Cuma Sya doang, Buna, tapi emang waktu itu Sya ditanya-tanya dulu kenapa beli morning after-pill, untuk siapa lha, inilah, itulah. Tapi ya Sya jawabnya asal, Sya bilang aja buat Bunda."

"Kenapa harus bohong? Kan pil itu buat Sya."

"Sya malu atuh, Buna, mana Teteh Apotekernya manggil Sya 'adek' lagi. Muka Sya emang se-baby face itu ya, Buna?"

Lagi-lagi Hamna menepuk jidatnya. "Ya pantes kamu dikasihnya pil penyubur kandungan, kamu dikira abis berzina terus nggak mau hamil kali sama apotekernya. Makanya dikasih pil penyubur kandungan, supaya benihnya jadi. Ya Allah, Sya lain kali jangan kesenengen dulu kalau dikira masih muda, ini nih penyakit perempuan. Suka lupa umur kalau ada yang muji, salah kaprah, kan jadinya."

"Jadi ini salah, Sya gitu?"

"Sya masih nanya juga?" sahut Hamna cukup frustrasi.

"Kalau Sya hamil gimana atuh, Buna?" cicitnya dengan suara rendah.

"Ya nggak gimana-gimana, terus Buna harus apa?"

Naqeesya terisak pelan, dia benar-benar putus asa dan tak lagi bisa berpikir jernih. Takut, apa yang selama ini dikhawatirkan akan jadi kenyataan.

Hamna pun dengan sigap membawa Naqeesya dalam pelukan. "Coba kalau dari awal terus terang sama Buna. Kan, Buna bisa beliin morning after-pill sesuai yang Sya minta, nggak akan kayak gini pasti jadinya."

Naqeesya mendongak untuk menatap wajah teduh sang mertua. "Sya kapok, takut diusilin Buna sama Bunda lagi."

"Malah diusilin apotekernya, kan. Lain kali kalau ada apa-apa bilang, Buna nggak akan bertindak sejauh itu atuh. Buna nggak akan memaksakan kehendak Buna sama Sya, apalagi ini menyangkut soal anak."

Dihapusnya air mata Naqeesya pelan lantas kembali berujar, "Udah, Sya jangan nangis lagi. Yang udah terjadi ya udah, nggak bisa diulang lagi juga, kan? Untuk memastikan hamil atau nggaknya ya harus di-testpack dulu. Kita tunggu Bang Hamizan ya."

"Kalau beneran hamil gimana, Buna?"

"Alhamdulillah, disyukuri aja."

"Orang-orang tahunya Sya belum nikah, kalau nanti ketahuan hamil gimana atuh? Dikiranya Sya hamil di luar nikah, urus berkas-berkas negaranya juga gimana? Ahh, kepala Sya pusing Buna."

"Coba kalau dulu nurut sama Ayah dan Papa, untuk segera melegalkan pernikahan, nggak akan sepusing ini pasti. Tapi ya udah mau gimana lagi, bisa sidang kok, nanti biar jadi urusan kami aja. Udah, Sya jangan mikir terlalu jauh dulu."

"Sya takut jadi bahan gunjing orang-orang, Buna."

"Nggak usah takut, orang Sya nggak ada salah juga. Omongan orang mah nggak usah didengar, kita majukan nikah ulangnya ya?"

"Apa nggak tambah rumit jadinya, Buna? Dikira DP duluan nanti."

"Emangnya mau kredit motor pake ada istilah DP segala?"

"Ya, kan sekarang lagi musim. Nikah baru tiga bulan, tapi udah lahiran."

Hamna menghela napas singkat. "Tapi, kan Sya beda. Nikahnya udah, tapi baru secara agama aja. Nggak melakukan zina."

"Kepala Sya pusing, Buna, rasanya mau pecah," adunya.

"Sama, Buna juga pusing, Sya," sahut Hamna malah adu nasib.

Derap langkah Hamizan terdengar, dengan diiringi napas yang cukup ngos-ngosan. Terlihat jelas kalau lelaki itu lari terbirit-birit agar tak mendapat omelan sang ibu lagi.

"Abang beli berapa?" tanya Hamna saat setelah Hamizan menyerahkan kantung kereseknya.

"Beli satu lusin, dari yang murah sampai yang paling mahal supaya hasilnya lebih meyakinkan."

"Banyak banget sih, Bang, dua atau tiga juga cukup."

"Nggak papa, siapa tahu, kan ada yang hasilnya beda."

Hamna pun mengangguk pelan. "Ya udah Sya di-cek dulu sana."

"Caranya gimana Buna? Sya nggak tahu."

"Itu ada aturan pakainya, Naqeesya. Masih nggak mau baca juga? Nggak kapok sama kejadian yang udah-udah, hm?"

Perempuan itu malah menunduk dalam.

Akhirnya Hamna pun mengalah lalu menarik lembut tangan sang menantu. "Hayuk, Buna bantuin supaya ngeceknya nggak salah."

Naqeesya mengintil di belakang Hamna yang dengan penuh perhatian menggandeng tangannya. Seolah memberi kekuatan lebih, terkait apa pun hasilnya nanti.

"Dicelupin langsung, nggak usah pake acara diputar-putar dulu. Sya kira iklan biskuit apa?"

Naqeesya menurut patuh tanpa sepatah kata pun. Dadanya berdebar tak tenang, sangat amat penasaran dengan hasilnya, tapi juga takut hasil tersebut tak sesuai harapan. Benar-benar campur aduk dibuatnya.

"Dua garis, Buna, artinya apa?"

"Positif itu, Sya."

Tubuh Naqeesya melorot ke lantai seketika. Matanya sudah merah dan berkaca-kaca.

Padalarang, 03 Oktober 2024

Shick shack shock dah mereka berdua😂🤣✌️ ... Seru nggak? Apa ada yang kurang?

Double up done ya 😊😉

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro