HAMSYA || PART 8
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Konsep dasar dalam berumah tangga ialah saling menerima dan juga tahu akan porsi diri masing-masing."
Hamizan menunggu Naqeesya dari kejauhan, dia hanya duduk di atas motor seraya memonitor gerak-gerik sang istri yang begitu lincah menjumpai pedagang satu ke pedagang lainnya.
Naqeesya sudah seperti anak ayam hilang, yang sedang fokus mencari makanan. Bak bocah yang begitu kegirangan dibebaskan oleh sang orang tua untuk jajan sepuasnya.
Hamizan membatin, "Ya Allah, Sya tubuh sekecil itu mau kamu masukin makanan sebanyak ini. Apa nggak menjerit tuh lambung?"
Pandangannya jatuh pada sekantung keresek berisi snack-snack kering dan juga minuman kemasan, yang tergantung apik di bagian depan motor.
Dia mengelus dada penuh rasa sabar kala melihat Naqeesya yang berlari ke arahnya seraya bersenandung tak jelas dengan menjinjing banyak kantung keresek.
"Sebanyak itu buat kamu semuanya, Sya?"
"Ya buat kita, lha, Bang sekalian juga buat Buna sama Papa," jawabnya begitu sumringah.
Hamizan geleng-geleng kepala. "Inget umur, Sya, udah kepala dua tapi nggak ada malu-malunya ngantri bareng sama anak-anak SD."
"Buat apa malu? Orang Sya beli juga, ya iyalah ngantrinya bareng anak-anak SD. Lupa ya, kalau kita emang lagi jajan di SD," ocehnya.
"Iya tahu, udah nggak usah diperjelas lagi. Pulang hayuk, Abang malu dilihatin ibu-ibu!"
Naqeesya mengangguk tanpa banyak berkomentar. Dia pun duduk di jok belakang, seraya menikmati jajanannya sepanjang jalan.
"Abang mau nggak?" tanyanya seraya menyodorkan cilor tepat ke depan mulut Hamizan.
"Di rumah, kan bisa makannya, Sya," protes Hamizan.
"Ihhh, Abang mah gitu, tinggal mangap doang padahal. Udah buka mulutnya terus kunyah, jangan banyak ngomel!" ucapnya lantas memasukkan jajanan yang terbuat dari aci dan telur itu ke dalam mulut sang suami.
"Berhenti depan, Bang," pintanya kemudian.
"Ada apa?"
"Ya berhenti aja, kita nongkrong sambil makan cilor."
Hamizan menggaruk kasar kepalanya. "Nongkrong itu di kafe, bukan pinggir jalan."
"Kurang relate atuh, Bang. Kan katanya mau pacaran, orang-orang zaman sekarang nongkrongnya nggak mau keluar modal. Ya udah sih, tinggal turutin aja maunya, Sya!"
"Nggak keluar modal apaan? Tuh kantung keresek segitu banyak juga? Ampunnn, Naqeesya!"
"Nggak ikhlas banget kayaknya jajanin istri sendiri, nggak berkah nanti uangnya."
"Ikhlas, Sya, ikhlas, tapi ya ..., oke terserah kamu," putus Hamizan pada akhirnya menepikan motor di pinggir jalan.
Naqeesya memilih untuk duduk di atas motor dengan mulut yang tak berhenti mengunyah, sedangkan Hamizan sedikit melipir. Cukup mengawasi Naqeesya dari kejauhan.
Menyadari ketidakhadiran Hamizan, sontak Naqeesya pun mencarinya dan langsung menyusul lelaki itu yang tengah duduk di atas rerumputan hijau. Dia duduk di sampingnya lantas berkata, "Kok Abang malah ninggalin Sya sih?"
"Duduk di atas motor panas, Sya, mending di sini, adem."
Naqeesya pun manggut-manggut. "Nih Sya beliin siomay buat Abang."
Hamizan pun mengambil alihnya, dia sudah hendak membuka tali pengikat bagian atas plastik tersebut, tapi tak jadi karena Naqeesya malah merebutnya, dan melubangi plastik itu tepat di bagian bawah ujung.
"Makannya tuh kayak gini, lebih nikmat."
"Abang bisa sendiri, nggak usah dibukain segala. Bekas mulut kamu, kan jadinya."
Naqeesya menaikan satu alisnya. "Kenapa? Jijik?"
"Kenapa mikirnya malah gitu sih? Ya nggak, kamu, kan istri Abang sekarang."
"Ya udah makan atuh kalau emang nggak jijik mah."
Hamizan pun menurut patuh, dia menikmati siomay yang sudah dibelikan oleh Naqeesya.
"Sya mau?" tawarnya karena menangkap basah Naqeesya yang tengah memerhatikannya.
"Boleh emang?"
Hamizan menyerahkannya. "Boleh, lha, tapi itu juga kalau Sya nggak jijik sama bekas Abang."
"Ya nggaklah, Bang," sahut Naqeesya lalu melahapnya sebanyak dua gigitan, lantas kembali menyerahkannya lagi pada Hamizan.
"Sya beli minumnya nggak?"
"Nih, Sya beli teh poci dua gelas. Satu buat Sya, satu lagi buat Abang."
Keduanya pun asik menikmati berbagai macam jajanan, dengan ditemani semilir angin, serta lalu lalang kendaraan yang berada di depannya.
"Nikah sama Abang itu nggak ada dalam wish list," ujar Naqeesya tiba-tiba.
"Sama, nikah sama Sya juga di luar planning Abang."
Naqeesya pun menoleh sekilas. "Emang iya. Pernikahan kita, kan ada tanpa rencana."
"Tapi mau apa dikata, jalannya udah kayak gini, kan, ya?"
Naqeesya pun mengangguk kecil.
"Sya bahagia nggak dengan semua yang udah terjadi?"
"Tergantung sih, Bang."
"Maksud, Sya gimana?"
"Ya kalau ditanya soal bahagia itu tergantung kitanya melihat dari sisi apa dulu. Tapi, sejauh ini Sya cukup enjoy dan happy karena kehangatan dan kasih sayang yang diberikan Buna. Berasa lengkap aja, punya dua ibu sekaligus."
"Nikah sama Abang bahagia nggak?"
"Tergantung juga, kalau Abangnya manis, lembut, baik kayak gini ya happy-happy aja. Tapi, kalau Abangnya ngegas mulu, muka kecut asem, ya Sya sepet juga lihatnya," ceplos Naqeesya apa adanya.
"Jangan jujur-jujur banget atuh, Sya."
Refleks Naqeesya pun menoleh. "Dihh, Abang aneh malah mau Sya bohong. Padahal dosanya Abang yang nanggung lho."
"Ya nggak gitu juga sih maksudnya. Emang Abang seburuk itu di mata Sya?"
"Nggak juga, Abang itu sebenarnya baik tapi dalam kondisi tertentu aja. Sama Buna, Abang bisa manis dan romantis tapi kalau sama Sya kok nggak bisa?"
"Bukan nggak bisa, tapi belum mungkin. Masih kagok, Sya."
"Alah bilang aja belum move on, nggak bisa buka hati buat Sya, kan?"
Hamizan menggeleng kecil. "Sya ..., setelah Abang memutuskan untuk melanjutkan pernikahan kita, di saat itu pula Abang selalu berusaha untuk membuka hati dan menata hati kembali agar layak untuk Sya tempati. Tapi, kan ada yang namanya proses, nggak bisa instan atuh. Kita juga baru mau jalan tiga bulan, kan?"
"Iya Sya tahu kok, lagian Sya juga udah janji sama Buna dan Bunda akan bantu Abang buat move on. Tapi gimana kalau semisal Teh Astha balik lagi, atau bahkan tinggal bareng sama kita?"
Hamizan tak langsung menjawab, dia meluruskan pandangan jauh ke depan lantas berujar, "Kalau sampai Harastha pulang ya nggak papa, justru Abang lega karena bisa melihat Buna kumpul lagi sama anak perempuannya. Tapi bisa nggak kalau waktu itu sampai tiba, Sya mau ya ikut pindah sama Abang?"
"Sesulit itu ya move on dari Teh Astha sampai harus pindah segala?"
"Itu solusi terbaik, Sya. Lagi pula Abang terbiasa dikelilingi saudara laki-laki, pasti akan aneh aja rasanya kalau tiba-tiba ada Harastha. Apalagi---"
"Apalagi Abang sempat suka dan cinta, bukan sempat lagi sih, masih lebih tepatnya, kan, ya?" potong Naqeesya.
Diamnya Hamizan sudah cukup mewakilkan.
"Bunda pernah bilang sama Sya, cinta itu hanya bumbu pelengkap dalam rumah tangga, awalnya Sya cukup sanksi dengan asumsi tersebut. Tapi, ternyata bener kok, pondasi utama rumah tangga itu ya diri kita sendiri, mau nggak melewati semuanya sama-sama? Komitmen dan kepercayaan itu dibangun bersama."
Hamizan tersenyum tipis, dia rangkul pundak Naqeesya lembut. "Ya udah kalau gitu kita sama-sama saling menata hati di atas jalan takdir yang Allah ridai ini ya, Sya?"
Naqeesya pun mengangguk pelan.
"Nanti pas nikah ulang Sya mau mahar hasil dari keringat Abang, ya? Bukan hasil patungan dari Ayah sama Papa kayak waktu itu," katanya seraya mendongak.
"Boleh, Sya mau apa, hm?"
"Apa aja terserah Abang, tapi Sya mau nikahnya full adat sunda ya, Bang?"
Hamizan terkekeh kecil. "Abang usahakan ya."
"Harus, Sya mau lihat Abang nginjak telur terus nanti Sya yang elapin kakinya."
"Sya telur satu kilo Rp. 24.000,00 udah dapet banyak. Sedangkan nginjek telur satu biji nggak cukup Rp. 24.000.000,00," cetus Hamizan.
"Dihh, mulai kumat perhitungannya!"
Hamizan mengelus puncak kepala Naqeesya. "Bercanda atuh, Sya, insyaallah ya doain rezeki Abangnya lancar supaya bisa wujudin wedding dream-nya, Sya."
"Aamiin, tapi jatah jajan Sya jangan dikurangin ya, Bang?"
"Iya siap laksanakan!"
Padalarang, 03 Oktober 2024
Definisi akur di waktu-waktu tertentu aja, sisanya ya kayak tikus sama kucing 😂🤣
Boom vote & komen untuk double up😅✌️
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro