Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 7

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Menikah itu ibadah, jangan sampai seumur hidup bersama dengan orang yang salah."

Duduk saling berhadapan, dengan sejumlah makanan yang terhidang di atas meja. Tidak ada hangatnya perbincangan, bahkan terlihat asik dengan kegiatan masing-masing.

"Sya lagi puasa ngomong sama Abang!" cetusnya kala ekor mata melihat mulut Hamizan yang hendak terbuka.

"Hidup kamu nggak tenang kayaknya ya Sya kalau sehari aja nggak bikin tensi Abang naik?"

Naqeesya mendelik tak suka. "Abang yang mulai duluan, kok."

"Lha kok jadi Abang lagi sih?"

Kedua tangan Naqeesya bertumpu di atas meja, dengan pandangan tajam menghujam ke arah Hamizan. "Emang Abang, kan!"

"Ada apa ini ..., ada apa, hm? Ribut kok di meja makan. Kenapa lagi?" ujar Hamna yang baru saja datang dan duduk di sisi Naqeesya.

"Bang Hamizan tuh Buna. Masih pagi tapi udah bikin masalah!" adunya seraya bergelendotan di lengan sang mertua.

Hamna melirik ke arah putranya. "Kenapa lagi atuh, Bang?"

Hamizan menghela napas berat. "Abang cuma mau ngajak Sya hidup mandiri, kita cari indekost yang sekiranya nyaman untuk kita tempati. Mau sampai kapan atuh tinggal di rumah Buna sama Bunda terus?"

"Justru lebih enak kayak gini, Bang. Hidup kita bervariasi, kadang tinggal sama Bunda dan Ayah, kadang juga tinggal sama Buna dan Papa. Nggak bosen, coba kalau cuma tinggal berdua aja. Bosen, ketemunya Abang lagi, Abang lagi!"

"Kenapa harus ngekost sih, Bang? Kan, bisa beli rumah jadi. Tabungan Abang belum cukup emangnya?" timpal Hamzah ikut bergabung.

Hamizan pun menoleh ke sisi kanan, di mana sang ayah berada. "Sebenarnya cukup, tapi kalau tabungannya dipakai untuk beli rumah semua malah Abang nggak punya tabungan untuk ke depannya."

"Mau beli rumah di mana? Kurangnya biar Papa yang tambahin," ucap Hamzah.

Hamizan menggeleng tegas. "Abang udah nikah, udah punya tanggungan sendiri, masa iya masih juga bergantung sama Papa dan Buna sih. Nggak mau ah."

"Justru Buna dan Papa harus ikut bertanggung jawab atas pernikahan kalian, karena mau sampai kapan pun Abang tetaplah tanggung jawab kami. Dan kami wajib memastikan kalau Abang dan Naqeesya hidup berkecukupan," ujar Hamna.

"Terus kapan kita mandirinya kalau difasilitasi Buna sama Papa mulu?"

"Mandiri itu nggak enak, Bang, lebih enak diurusin. Abang mah aneh, ada zona nyaman dan aman malah milih arus berlawanan," sembur Naqeesya.

"Kalau di sini Abang ada Buna yang ngurusin, Sya juga ikut diurusin. Kalau nanti tinggal berdua? Nggak kebayang gimana hectic-nya, harus Sya gitu yang ngurusin Abang? Mau makan aja Sya masih harus disodorin sama Bunda," sambungnya lagi.

Hamna menahan tawa mendengar pengakuan jujur sang menantu. Seperti tengah melihat diri sendiri di kala masih muda, dulu pun Hamzah yang justru berperan lebih besar dalam rumah tangga mereka. Dia hanya sebatas berkontribusi sekadarnya.

"Sya ..., kita nikah harusnya bisa mengurangi beban orang tua, bukan justru menambahnya berkali-kali lipat. Sadar diri itu penting, supaya kita bisa berdiri di atas kaki kita sendiri. Abang ini laki-laki, sosok yang Allah setting untuk jadi seorang pemimpin. Abang nggak mau berada terus di zona nyaman, sesekali kita harus berjuang untuk menuju perubahan yang jauh lebih baik," terang Hamizan tegas.

Hamzah tersenyum bangga, bahkan dia pun menepuk pundak sang putra. "Papa percaya sama Abang, kalau memang semuanya sudah dipertimbangkan ya sok silakan. Papa sama Buna nggak akan ikut campur terlalu jauh, mau bagaimanapun kalian, kan yang menjalaninya."

Naqeesya menggeleng keras, dia memeluk Hamna begitu erat. "Tahan, Sya atuh, Buna, jangan izinin Bang Hamizan bawa Sya keluar dari rumah ini. Nggak mau ih, Sya maunya sama Buna aja, tapi kalau Papa udah nggak mau nampung lagi, Sya bisa kok tinggal di rumah Bunda sama Ayah."

Hamzah geleng-geleng kepala dibuatnya. "Kamu mah ada-ada aja, Sya. Mau sampai kapan pun rumah ini akan selalu terbuka lebar untuk kalian, Papa justru senang kalau semisal kalian menetap di sini, ada yang nemenin Buna. Tapi, kan yang jauh lebih berkuasa mengambil keputusan ya Bang Hamizan, Papa sih nggak mau ikut-ikutan."

"Seharusnya Papa bujuk Bang Hamizan atuh, udah nggak usah pake acara pindah-pindah segala."

"Di mana-mana juga istri yang bujuk suami, ini kenapa malah kamu yang minta Papa buat bujuk suaminya. Naqeesya! Naqeesya!" sahut Hamzah diakhiri kekehan ringan.

"Nggak mau atuh, Pa, masa Sya harus ngemis-ngemis sama Bang Hamizan sih. Besar kepala nanti!"

Helaan napas panjang Hamizan keluarkan. "Iya .., oke ..., mau sampai kapan kita kayak gini?"

"Selamanya juga nggak masalah."

Hamizan sontak membulatkan matanya. "Ngaco kamu. Masa mau nomaden terus sih, seminggu di rumah Buna, seminggu di rumah Bunda. Apa nggak monoton?'

"Lebih monoton lagi kalau kita cuma tinggal berdua!"

"Nggak bisa gitu dong, Sya!"

"Sudah, cukup. Jangan diperdebatkan lagi ya? Saran Buna untuk saat ini kalian nggak usah terlalu pusing dulu soal tempat tinggal, nggak papa nomaden dulu aja. Kan bisa sambil nabung juga, supaya bisa cepat kebeli rumahnya."

"Sya setuju sama Buna, Abang nggak usah gencar-gencar banget nabungnya. Selow aja, Sya nggak ngebet-ngebet banget juga kok dibeliin rumah sama Abang," ceplos Naqeesya.

"Buna kamu dulu langsung minta rumah sama Papa, Bang. Lha, istri kamu malah nolak mentah-mentah," beritahu Hamzah.

Hamna berdecak pelan. "Ya iyalah, dikira enak kali makan hati tiap hari tinggal bareng mertua!"

"Sya nggak makan hati tuh tinggal bareng Buna. Karena, Kan Sya emang mau banget punya mertua kayak Buna, tapi minusnya harus punya suami Bang Hamizan. Itu yang nggak Sya suka, lebih enak tinggal sama Buna, ketimbang sama Bang Hamizan. Ngurusin anak mertua repot, mending Sya aja yang diurusin sama mertua."

"Ampun! Buna cosplay jadi Oma versi dulu aja supaya Sya mau ikut Abang pindah. Repot kalau kayak gini terus," ungkap Hamizan frustrasi.

Hamna menggeleng tegas. "Cukup Buna aja yang ngerasain, jangan sampai ada Hamna-Hamna yang lain."

Tanpa ragu Naqeesya pun mengecup pipi Hamna. "Sayang banyak-banyak deh Sya sama Buna."

Hamizan mengacak rambutnya putus asa.

"Dulu Papa pusing mikirin caranya supaya Buna sama Oma akur, sekarang kamu pusing mikirin Buna sama Naqeesya yang kelewat akur. Udah lha, Bang, malah ini jauh lebih baik dari apa yang pernah Papa alami. Harus banyak bersyukur kamu," peringat sang ayah.

Hamizan pun mengangguk lesu.

Naqeesya bangkit dari duduknya, lalu menarik paksa tangan Hamizan seraya berkata, "Hayuk, Bang jajanin Sya yang banyak. Jangan mikirin nabung terus!"

Hamizan meraup kasar wajahnya. "Ini serius kamu lebih mentingin jajan ketimbang nabung buat beli rumah?"

"Ya iyalah, orang Sya maunya tinggal di sini sama Buna. Hayuk ih, kita jajan!"

Hamna dan Hamzah saling melempar pandangan, lalu keduanya tertawa puas melihat Hamizan yang diseret paksa oleh Naqeesya.

"Jajan yang puas ya, Sya, nanti Buna minta!" teriak Hamna yang jelas langsung dibalas dengan acungan jempol.

"Abang nggak ada uang cash, Sya," akunya tepat di ambang pintu.

Naqeesya tersenyum lebar. "Jajannya ke Indomerit kok, bisa pakai Qris dan ATM juga. Sekalian nanti tarik tunai ya, buat jajan cilor, cimol, sama cireng. Oh, ya sekalian juga beliin buat Papa sama Buna. Kira-kira apa ya, Bang?"

Rasa hati Hamizan ingin melahap habis istrinya detik itu juga.

Padalarang, 01 Oktober 2024

Kalau sampai ada Naqeesya di dunia nyata gimana ya?😂🤣 Apa nggak keder itu para suami 😬😅 ... Dulu Hamna sadis dan bengis sama Hamzah. Sekarang Naqeesya justru manja dan kekanak-kanakan banget sama Hamizan. 😭🤭

Gaskennn nggak nih???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro