HAMSYA || PART 52
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Saling sadar akan kapasitas diri masing-masing itu penting."
Harastha mengarahkan Naqeesya untuk bergaya, selepas melaksanakan kegiatan wisuda. Dia mengambil cukup banyak potret sebagai kenang-kenangan.
"Angkat topi toganya sambil senyum yang lebar, Sya," titah sang ipar yang langsung dipatuhi Naqeesya.
Ketimbang harus menyewa jasa fotografer, lebih baik berdayakan sang kembaran yang memiliki bakat serta kemampuan yang diwarisi oleh ayahnya. Free, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun.
Sedari tadi Hamizan hanya menyaksikan saja seraya memangku Hamsya yang tampil cantik, serta menggemaskan dengan pakaian senada dengan Naqeesya.
"Coba lihat dulu, bagus nggak?" ujar Harastha.
Naqeesya pun menurut dan melihat hasil jepretan sang ipar. "Sya kok berasa dejavu ya, Teh? Kayak pernah kayak gini juga sama Teteh, tapi lupa kapan dan di mana."
Di balik cadarnya Harastha pun tersenyum. "Emang pernah, dulu waktu di Selasar Sunaryo Art Space, Sya."
Naqeesya manggut-manggut seraya mencoba untuk mengingatnya.
Sekarang kilasan-kilasan masa lalu acap kali melintas, walau terkadang masih ada yang sedikit samar. Namun, harus tetap disyukuri karena adanya perubahan yang cukup berdampak pada diri Naqeesya.
Perempuan itu semakin terbuka dalam menerima informasi, berusaha semakin keras untuk menerapi diri, baik dengan bantuan tenaga medis maupun dengan orang-orang di sekelilingnya.
Jika menginginkan kesembuhan yang total maka ikhtiarnya haruslah maksimal.
"Foto bertiga buruan, Teteh fotoin. Belum punya, kan?" ujar Harastha.
"Malu atuh, Teh, banyak orang," sangkal Hamizan enggan.
Naqeesya menarik suaminya tanpa aba-aba. "Tinggal senyum doang, Bang, nggak susah."
"Rileks atuh kamu teh Hamizan, jangan tegang gitu. Senyumnya yang lepas, jangan kayak orang tertekan. Banyak cicilan kamu?" omel sang kembaran.
Hamizan yang memang pada dasarnya tidak biasa dijadikan sebagai objek foto, mendadak kikuk walau sebatas diperintahkan untuk memamerkan senyum.
"Hamsya lihat sini, Geulis," katanya lagi berusaha untuk mengambil perhatian sang keponakan.
Harastha memberi aba-aba sebelum akhirnya mengambil beberapa gambar. Dia sedikit tersenyum melihat hasilnya. "Nanti sekalian minta dicetakin sama Papa, supaya gratis tanpa pungutan biaya sedikit pun."
Hamizan terkekeh kecil. "Siap, tahu aja Teteh selera kembarannya suka yang gratisan."
"Tahu, lha, buktinya kamu malah bawa Teteh buat mengabadikan momen wisuda Naqeesya, ketimbang pake jasa fotografer profesional."
"Supaya Teteh berdaya, nggak cuma diem aja di rumah," kilahnya.
"Nanti Sya traktir Teteh jajan, pake uangnya Bang Hamizan tapi ya," timpal Naqeesya diakhiri tawa renyah.
Harastha tertawa pelan. "Ide bagus, Sya. Kita kuras habis isi dompetnya."
Naqeesya mengangguk setuju.
"Boleh, boleh, silakan," sahut Hamizan pasrah.
Semenjak menikah dengan Naqeesya, dia selalu menyediakan uang cash dalam dompet. Merasa was-was jika lupa untuk tarik tunai, sebab istrinya itu hobi sekali jajan.
Melihat interaksi di antara istri serta sang kembaran membuat Hamizan lega bukan kepalang. Bebannya terasa hilang dalam waktu sekejap, sungguh karunia Allah yang patut untuk senantiasa disyukuri.
"Teh Astha jago fotoin orang, kemampuannya nurun dari Papa. Tapi kok Abang nggak bisa?" tutur Naqeesya.
Hamizan mengedikkan bahunya. "Mana Abang tahu, lagian Abang kurang berminat juga berkecimpung di dunia fotografi, Sya."
"Abangnya lebih dominan ke Buna, Sya, hobi bisnis dan merintis usaha," timpal Harastha.
"Iya juga sih. Nanti Hamsya besarnya lebih condong ke Abang atau ke Sya ya?"
"Sya kayaknya, Abang cuma kebagian hikmahnya aja. Padahal yang ngidam dan mabok parah Abang, tapi cuma kebagian alis sama mata doang. Mau bilang nggak adil, tapi Sya yang ngandung ya udah terima nasib aja," ungkapnya.
Harastha dibuat tertawa detik itu juga. "Bikin lagi aja, siapa tahu yang kedua mirip kamu, kan."
"Dikira bikin anak pake tepung kali, Teteh mah ada-ada aja ih," sahut sang ipar.
"Nah iya itu, lagian Sya itu, kan ada riwayat caesar. Harus dijaga jarak kehamilannya, Hamizan juga belum kepikiran buat nambah. Mau fokus ke Hamsya dulu ya, Sya?"
Naqeesya mengangguk setuju.
"Sip deh, suka-suka kalian aja," balasnya dengan acungan jempol.
"Terus Teteh kapan nikah?" tanya Naqeesya kemudian.
"Ihhh, Sya mah malah bahas soal itu. Belum kepikiran juga."
"Tuh, kan giliran dibalas kayak sebel gitu. Kebanyakan basa-basi sih Teteh, nyuruh nambah anak, padahal sendirinya belum nikah. Itu gimana konsepnya, Teh?" sembur Hamizan.
"Yang tadi itu bercanda aja atuh, jangan terlalu serius."
"Yang barusan juga bercanda aja, Teh. Jangan terlalu serius," sahutnya meniru.
Harastha memutar bola mata malas.
Sedangkan Naqeesya terkekeh geli melihat keributan kecil di antara suami dan juga iparnya.
"Jajan yuk, Hamsya, lihatin Buya sama Wawa nggak bikin kita kenyang," ajak Naqeesya lalu mengambil alih putrinya dari tangan sang suami.
"Kok Wawa sih, Sya. Berasa tua Teteh dipanggil kayak gitu sama Hamsya," protes Harastha.
"Teteh, kan emang udah tua. Lagian bener ih, harusnya malah dipanggil 'uwa', udah bener itu dipelesetin dikit sama Sya biar nggak kentara banget tuanya," ujar Hamizan blak-blakan.
"Panggil ateu, bibi, atau tante gitu, kan bisa!"
"Panggilan itu diperuntukkan bagi istri-istrinya Hazman sama Hazami nanti. Teteh, kan statusnya kakak, ya emang lumrahnya kayak gitu atuh."
Harastha pun mendengus. "Cuma beda beberapa menit doang perasaan pas lahir. Seumuran kita, Hamizan."
"Jatuhnya tetep aja kakak. Buna sama Papa ngajarin buat manggil dengan sebutan Teteh. Jadi, kita juga mau ngajarin Hamsya buat manggil Wawa," putus Hamizan.
"Terserah. Suka-suka kalian aja!"
Naqeesya merangkul sang ipar lembut. "Sya baru tahu lho kalau ternyata Bang Hamizan suka usilin Teteh juga. Mana lucu banget lagi, sama-sama nggak mau ngalah."
"Nyebelin emang Abangnya Sya itu!"
"Nyebelin-nyebelin gini kita pernah tinggal satu rahim, lho, Teh."
"Ish, mendadak lupa Teteh!"
"Yuk, Teh ah tinggalin aja Bang Hamizan di sini. Sya punya tempat jajan baru."
"Apa, Sya?"
"Baso aci khas Garut, mantap banget itu. Kata orang-orang sih pedesnya nampol, chili oil-nya terbaik. Sya belum pernah nyoba sih, tapi review-nya bagus-bagus," seru Naqeesya begitu bersemangat.
Belum pernah mencoba tapi sudah berani melabeli dengan kata 'mantap', memang Naqeesya ini ada-ada saja kelakuannya.
"Gasken atuh, Sya. Di mana?"
"Nggak jauh dari sini kok, Teh."
Hamizan geleng-geleng kepala mendengarnya. Obrolan macam apa itu?
"Jangan terlalu pedes, sakit perut nanti," nasihatnya.
"Dikit aja, Bang, udah lama juga ih absen dari makan-makanan pedes karena nggak dibolehin Bunda. Sekali-kali sekongkol atuh sama Sya, jangan satu kubu terus sama Bunda."
"Kata Bunda busui jangan terlalu banyak konsumsi makanan pedas, Sya."
"Setahu Teteh juga ketika busui makan pedas secara berlebihan, dampaknya bisa menyebabkan bayi mencret, Sya. Soalnya beberapa bayi ada yang sangat sensitif terhadap zat capsaicin dalam cabai. Kadang, hal ini bisa menyebabkan busui mengalami diare juga," imbuh Harastha.
"Malah didukung lagi Teteh mah. Nggak jadi atuh ini jajan baso acinya?"
"Boleh, tapi jangan pake pedes, dikit aja kalau emang mau banget mah. Yuk, kita ke sana sekarang," kata Hamizan memberi solusi.
Wajah Naqeesya sumringah seketika. "Baiknya Abang Suamiii!"
"Emang baik Abang mah, Sya ke mana aja atuh baru sadar?"
"Kumat deh pedenya!"
Hamizan terkekeh sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Guyon, Sya ..., guyon atuh."
Naqeesya memajukan bibirnya merajuk, sedangkan Hamizan dengan gemas meraupnya dengan tangan.
"Abang mah ihhh, lipstik Sya belepotan nanti."
"Nggak kok, masih cantik poll malah!"
Harastha merotasi matanya. "Males deh, jadi nyamuk!"
Dengan lembut Naqeesya menggandeng tangan Harastha. "Teteh nggak akan jadi nyamuk, anggap aja khusus hari ini status Bang Hamizan sopir, bukan suami Sya."
Hamizan melebarkan mata tak percaya. "Mana ada sopir yang bayarin jajanan majikan, Sya."
"Ada, Abang, kan orangnya!"
Padalarang, 06 Desember 2024
Adem, kan kalau mereka pada akur dan rukun. Naqeesya yang mau menerima, dan Harastha yang juga tahu akan posisinya berada di mana.
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro