HAMSYA || PART 51
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Bukan tanggung jawab kita untuk mengatur pemikiran seseorang. Jika benar tak usah diperpanjang, jika pun keliru cukup diluruskan."
Kegiatan Naqeesya yang tengah memilih-milih kebaya terhenti seketika saat mendengar suara seseorang yang berada tepat di sampingnya. Dia pun refleks menoleh.
"Tiba-tiba banget gendong anak, Sya? Kapan nikahnya? Perasaan nggak pernah nerima undangan atas nama kamu deh," komentarnya dengan tatapan menilai.
Naqeesya yang memang tidak mengenali sosok perempuan yang saat ini mengenakan dress sebatas lutut dengan potongan off shoulder itu pun hanya mampu terdiam.
"Oh, ya lupa. Lagi musim, kan ya tanam saham dulu transaksi kemudian."
"Hah? Gimana maksudnya?" sahut Naqeesya kurang paham.
"Hamil dulu, nikah kemudian. Kecelakaan, kan kamu? Makanya nikah diam-diam," katanya begitu santai, tapi merendahkan.
Naqeesya menggeleng kecil. "Sya ada suami kok, nikahnya emang baru akad aja. Bulan depan resepsi, nanti Sya undang atuh ya."
"Tinggal nga---"
"Maaf apa Anda ada masalah dengan istri saya?" potong Hamizan yang baru saja kembali dari toilet.
"Nggak ada kok, Bang," jawab Naqeesya cepat.
Perempuan itu pun terfokus seketika pada Hamizan. "Ohh, ini suaminya? Tampang aja alim, tahunya suka tanam saham di lapak yang nggak seharusnya!"
Hamizan tersenyum tipis. "Aduhh, tanam saham apa sih? Perkara nikah baru akad aja kok dipermasalahkan. Emang konsepnya intimate wedding aja. Nanti deh saya undang pas resepsi ya."
Sebetulnya ingin marah, tapi dia tak ingin membuat keributan di tempat umum. Terlebih, dia juga ingin menjaga nama baik sang istri agar tidak rusak di depan orang lain, sekalipun orang tersebut begitu menjengkelkan.
Bisa-bisanya menghakimi Naqeesya dengan kata-kata tidak pantas. Jatuhnya sudah memfitnah dan dia tak terima akan hal tersebut.
Perempuan itu menatap sinis, merasa tak puas dengan jawaban Hamizan. "Padahal tinggal ngaku aja, apa susahnya sih mengakui kesalahan yang emang udah diperbuat!"
"Pernikahan kami sudah jalan satu tahun setengah, Naqeesya yang mau merahasiakan kabar bahagia ini karena waktu itu masih fokus kuliah. Selesai wisuda baru kami akan menggelar resepsi untuk mengumumkan pada khalayak ramai. Seperti itu," terang Hamizan tanpa diminta.
"Klise!"
Helaan napas meluncur bebas dari sela bibir Hamizan. Hanya buang-buang energi menghadapi orang yang selalu merasa paling benar. Biarkan saja, toh dia tidak akan dihisab atas prasangka buruk orang lain terhadapnya.
Hamizan pun merangkul bahu istrinya, meyakinkan kalau Naqeesya akan tetap aman dan tidak lagi mendapat pandangan rendah dari siapa pun. "Sya udah nemu kebaya yang cocok?"
Naqeesya hanya menggeleng saja. Dia masih cukup shock.
Hamizan mengelus puncak kepala Naqeesya lembut. "Ya udah cari ke toko lain yuk. Sini Hamsya-nya biar Abang yang gendong."
Naqeesya menahan gerak tangan Hamizan yang hendak mengambil alih sang putri. "Sya aja yang gendong, Kasihan Hamsya-nya lagi tidur. Kebangun nanti."
"Kalau pegel bilang Abang atuh ya?" katanya yang langsung dibalas anggukan oleh Naqeesya.
Hamizan pun menggandeng tangan Naqeesya, tak ingin berlama-lama bersama orang yang tidak jelas. Memandang mereka seakan manusia paling rendah. Sadar kok sebagai manusia mereka memang gudangnya khilaf dan dosa.
Tapi apa yang diasumsikan perempuan itu sudahlah keluar batas. Tidak sesuai dengan kenyataan!
"Duluan," ujar Naqeesya saat sebelum meninggalkan toko tersebut.
Sedangkan perempuan yang Naqeesya duga sebagai salah satu teman kuliahnya itu memilih untuk tidak memberikan reaksi apa pun.
"Sya jangan ambil hati omongan orang tadi ya? Maafin Abang karena telat datang, dan nggak bisa belain Sya," ujar Hamizan kemudian.
Naqeesya mendongak untuk bisa menatap mata teduh Hamizan. "Nggak kok, kan emang kita nggak seperti yang perempuan itu tuduhkan. Kenapa malah jadi Abang yang minta maaf. Nggak salah apa-apa Abang mah."
Hamizan mengelus sayang puncak kepala Naqeesya. "Masyaallah sabar banget ya istri abang sekarang."
Naqeesya memamerkan senyum lebar. "Kan belajar dari Abang."
"Sya jangan terpengaruh sama omongan orang lain ya?Hamsya anak yang lahir dari pernikahan yang sah," jelasnya.
"Iyaaa, Abang."
"Sya percaya, kan sama Abang?"
"Percaya. Udah kenapa malah jadi Abang yang kepikiran sih?"
"Abang cuma takut Sya terpengaruh, dan berpikir macam-macam tentang Abang. Nggak mungkin atuh Abang berani merusak anak gadis orang, bahkan sampai menghamilinya."
"Percaya Sya mah sama Abang. Iya emang kok pernikahan kita dilandasi dengan sebuah kecelakaan, tapi nggak tanam saham sebagaimana yang perempuan itu bilang. Sya masih inget kok sama kata-katanya Buna tentang Abang yang lebih milih puasa ketimbang jajan di luar. Itu aja udah cukup menguatkan kalau emang Abang bukan tipikal laki-laki sebagaimana yang diasumsikan sama perempuan tadi."
"Suaminya Sya, kan shalih tak tertolong. Masa iya berani merenggut yang bukan haknya?"
Hamizan tersenyum begitu lega.
"Sya mau beli abaya aja buat wisudanya, pake kebaya susah jalan deh kayaknya. Mau yang bebas bergerak, Abang," ungkap Naqeesya mengalihkan pembicaraan.
"Ya udah kita cari toko pakaian muslimah aja kalau gitu."
Naqeesya tentu langsung mengangguk setuju.
Langkah mereka terhenti di sebuah toko, abaya yang terpajang di patung menarik perhatian Naqeesya.
"Sya mau yang itu?" tebak Hamizan yang jelas langsung diangguki.
"Mau dicoba dulu? Abang panggilin pelayan kalau gitu."
"Nggak ah, mau pulang aja. Tapi jajan dulu ya, Abang?" pintanya.
Hamizan mengacak gemas puncak kepala Naqeesya. "Boleh, apa sih yang nggak buat Istri."
Naqeesya sedikit tersipu, tidak biasanya Hamizan memanggil dia dengan sebutan 'istri', cukup asing tapi seakan ada kupu-kupu yang beterbangan karena kelewat senang.
"Ternyata benar ya, Bang anjuran Allah untuk mengumumkan pernikahan itu penting, supaya nggak menimbulkan fitnah di kemudian hari," ujar Naqeesya saat mereka memilih untuk sejenak duduk dan beristirahat sembari menikmati minuman dingin.
Hamizan mengangguk setuju. "Bukan penting lagi sih, Sya tapi jatuhnya jadi wajib. Dari Ibnu Hajar Al-Asqalani, menyatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda; 'Rahasiakanlah lamaran dan umumkanlah pernikahan'. Anjuran itu ada untuk ditunaikan, bukan hanya sebatas diketahui tapi enggan untuk mengamalkan."
Naqeesya pun manggut-manggut paham. "Abang selalu ingetin Sya ya, karena Sya ini banyak nggak tahunya."
"Sama-sama belajar ya, Sya? Abang juga, kan bukan suami yang serba tahu segala hal. Kita belajar sambil jalan."
Naqeesya pun tersenyum lebar mendengarnya.
"Hamsya anteng, diajak jalan-jalan malah tidur. Nyaman banget kelihatannya berada dalam gendongan Sya," ujar Hamizan sembari mengelus sayang pipi sang putri.
"Hamsya, kan shalihah, Buy," sahut Naqeesya menirukan suara anak kecil.
"Buy?"
Anggukan kecil Naqeesya berikan. "Buya, atau mau panggilan lain?"
Hamizan tersenyum dengan begitu lebar. "Lucu banget sih, terus Sya dipanggilnya apa atuh?"
Naqeesya sejenak berpikir. "Apa ya? Menurut Abang bagusnya apa?"
"Sya nyamannya gimana?" tanyanya balik.
Gelengan pelan diberikan. Dia masih menimang-nimang. "Sya mau pikir-pikir dulu ah."
Hamizan dibuat terkekeh kecil. "Sya ini, lucunya sama kayak Hamsya. Udah mah wajah serupa, kelakuan juga pasti sebelas duabelas."
"Hobi jajannya menular juga sih kayaknya, Bang."
"Boncos dong, Abang," kelakarnya.
Naqeesya tertawa kecil. "Bagus atuh, nanti Hamsya yang ngejar penjualnya, Sya yang lari nyari keberadaan dompet Abang. Kerjasama yang epik, bukan?"
Membayangkan hal itu terjadi membuat keduanya refleks saling menguarkan tawa.
Padalarang, 05 Desember 2024
Harap selalu menyediakan uang cash ya, Bang. Dua bocilnya sudah merencanakan untuk menguras isi dompet itu. 🤫😆
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro