HAMSYA || PART 50
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sudah bukan zamannya lagi suami patriarki dilestarikan, sekarang sudah masanya suami pengertian dan tahu akan posisi diri yang didapuk sebagai imam."
"Sya udah buatin sarapan spesial untuk Abang," katanya menyambut Hamizan yang baru saja pulang dari masjid, selepas menunaikan salat subuh berjamaah.
Hamizan bergegas menghampiri Naqeesya dan duduk tepat di samping istrinya. "Apa itu?"
"Nasi goreng dengan toping telur dadar gosong," katanya sembari menunjukkan piring tersebut ke hadapan sang suami.
Hamizan tertawa kecil. "Toping macam apa ini, hm?"
"Maaf ih, tadi pas masak telur Sya tinggal bentar karena Hamsya nangis. Sya-nya fokus aja gitu buat nyusuin Hamsya, sampai lupa kalau Sya lagi masakin sarapan buat Abang," jelasnya begitu jujur.
"Orang lain mah spesial teh telurnya dua, ini malah gosong telurnya. Emang ya istri abang ada aja gebrakannya. Tapi, nggak papa makasih lho untuk effort-nya. Tahu aja kalau Abang udah laper, dan tukang nasi kuning yang biasa kita beli mendadak lagi cuti," sahutnya lalu mengambil alih piring tersebut.
"Tadinya telur gosongnya mau Sya buang, tapi mubazir nggak sih? Sayang, kalau Abang emang nggak mau ya udah buang aja nggak papa."
Hamizan menggeleng kecil. "Apa pun yang berasal dari tangan Sya insyaallah akan Abang nikmati dan habiskan. Abang doakan semoga apa yang Sya lakukan sekarang, bisa menjadi sebab Sya masuk surga melalui pintu mana saja yang Sya kehendaki."
Naqeesya terdiam cukup lama, kalimat yang dituturkan sang suami mengitari kepala tanpa henti. Serasa tidak asing, dan cukup sering menjumpai. Tapi kapan dan di mana?
Hamizan yang baru saja melahap satu suapan nasi goreng menghentikan sejenak kunyahan. Dia bertanya-tanya sendiri akan reaksi Naqeesya yang justru seperti patung.
"Sya? Kenapa?"
Naqeesya sedikit terkesiap lalu menggeleng. "Nggak papa, Bang."
Anggukan pelan Hamizan berikan. Dia pun menyodorkan sesuap nasi goreng tanpa dilengkapi telur tepat di depan mulut Naqeesya. "Aaaa!"
Naqeesya menurut saja.
"Rasanya kayak ada yang kurang ya, Bang? Nggak seenak nasi goreng yang biasa ada di pinggir jalan," komentarnya kemudian.
"Cukup, Sya, enak ini. Jangan banding-bandingin sama yang lain ah. Makanan itu yang penting asin sama gurihnya kerasa, nikmat segitu juga. Masakan istri abang terbaik pokoknya!"
"Telur dadar gosong dibilang terbaik, apa nggak menangis Buna kalau tahu putranya dijejali makanan seperti ini," sahut Naqeesya geleng-geleng kepala.
"Buna dulu juga sama kok, kurang bisa masak. Ayam goreng berubah jadi ayan cemani di tangan Buna karena kelewat gosong," katanya diakhiri tawa renyah.
"Iyakah?"
Hamizan tentu saja mengangguk cepat. "Buna bisa masak teh karena kuliah jurusan tata boga, belajar dikit-dikit sampai akhirnya bisa kayak sekarang sampai punya beberapa cabang restoran."
"Sya bisa nggak ya jago masak kayak Buna?"
"Untuk bisa nggak perlu jago, Sya. Lagian Abang udah janji, kan sama Sya nggak akan nuntut Sya untuk masak setiap hari. Kita masih bisa beli," jelasnya.
"Kapan Abang janji kayak gitu?"
"Sebelum pindah ke sini, Sya ngajuin banyak kesepakatan yang semuanya Abang setujui."
"Apa aja emang?"
"Yang pertama itu soal pakaian, Abang nggak akan komplain lagi kalau pun Sya keukeuh mau pake hotpants sama crop top asalkan di dalam rumah dan hanya ada Abang aja. Kedua soal masak, alasan Sya sih karena nggak bisa tapi kayaknya bukan nggak bisa, males aja, kan, ya?"
"Ketiga minta dibeliin mesin cuci dengan dalih tangan Sya yang sensitif kalau kena deterjen. Keempat masalah cuci piring karena Sya merasa jijik lihat nasi sisa, jadinya harus Abang yang nyuciin. Kelima ngepel lantai karena Sya yang cuma bisa nyapu doang. Keenam beresin kasur sekaligus ganti seprei dan sarung bantal harus Abang juga, karena Sya nggak sabaran dan nggak bisa rapi masangnya."
"Terakhir Sya nggak mau pegang penghasilan Abang, karena nggak bisa dan takut uangnya habis nggak jelas. Udah sih cuma itu aja seinget Abang mah," terangnya sembari mengingat-ingat.
Naqeesya meringis kecil. "Ihhh, kok Abang mau-maunya sih nurutin perkataan Sya dulu? Kok Sya nggak tahu diri banget ya sampai buat kesepakatan kayak gitu, mana minta Abang buat janji segala lagi."
Hamizan dibuat tertawa detik itu juga. "Selama permintaan Sya masih masuk akal ya oke-oke aja. Lagian Abang juga nggak keberatan, kita ini berumah tangga untuk hidup bersama bukan hanya sebatas tinggal bersama. Saling aja atuh, Sya."
"Kok bisa-bisanya kita berjodoh? Abang nggak berasa rugi gitu dapetin istri kayak Sya? Sya aja merasa malu sendiri, ternyata dulu seenggak tahu diri itu ya Sya sama Abang. Maafin Sya ih, Abang."
"Emangnya Abang lagi jual beli? Pake ada istilah untung rugi. Nggak ada atuh, Sya. Udah jangan terlalu dipikirin ah," pintanya.
"Tapi Sya teh nggak enak sama Abang. Nggak tahu diri banget jadi istri!"
Hamizan menggeleng tegas. "Kita saling aja, Sya. Semisal Sya yang cuci baju, Abang yang jemur, Sya yang nyapu, Abang yang ngepel. Begitu aja seterusnya, pekerjaan rumah dikerjakan bareng-bareng. Kalau emang lagi sama-sama males, ya udah. Laper tinggal beli, cucian numpuk tinggal laundry. Buat simpel ajalah, rumah tangga mah jangan terlalu dibikin ribet."
"Perasaan Sya teh nggak shalih-shalih banget, tapi kok bisa dapat suami kayak Abang. Amalan apa sih yang buat Allah yakin banget buat jodohin kita?"
"Sya mah, kan shalihah bukan shalih. Ada-ada aja ih."
Naqeesya mencubit pinggang Hamizan pelan. "Abang mah bercanda terus!"
Hamizan malah tertawa dengan begitu puas.
"Bukan amalan yang buat kita berjodoh, Sya."
"Terus apa atuh?"
"Cidukan warga, Sya. Coba kalau nggak kena ciduk, mana mungkin kita bisa nikah," kelakarnya.
"Abang mah ihhh!"
Hamizan justru menyumpal mulut Naqeesya dengan sendok berisi nasi goreng. "Udah mending Sya makan aja yang banyak. Busui butuh banyak asupan nutrisi."
Dengan terpaksa Naqeesya pun mengunyah habis makanan yang berada dalam mulutnya.
Senyum Hamizan sama sekali tidak memudar. Apalah artinya toping telur dadar gosong di piring nasi goreng, jika di hadapannya ada istri yang begitu dia sayang.
Yang pahit saja terasa nikmat kala disandingkan dengan sang istri yang begitu meneduhkan hati. Sederhana, tapi berhasil membuatnya bahagia.
"Alhamdulillah, Sya kenyang?" katanya setelah piring sudah kosong tak tersisa.
"Kenyang. Abang gimana?"
Hamizan mengangguk sebagai jawaban. "Sya mau cari-cari kebaya buat wisuda minggu depan nggak? Kalau iya yuk Abang temenin."
"Ditemenin doang? Nggak sekalian dibayarin gitu?"
"Ya sekalian dibayarin juga atuh, masa iya Abang mau ngajarin Sya nyolong."
Naqeesya terkikik geli. "Mending outfit wisudanya pake hotpants sama crop top aja, Bang, lain daripada yang lain. Ketutupan sama pakaian toga juga, kan?"
Hamizan melotot seketika. "Aurat Sya dilihat secara nggak sengaja sama saudara kandung abang aja nggak rela, apalagi ini harus dinikmati sama banyak pasang mata. Mending Abang kerem Sya aja di rumah."
"Kapan emang saudara abang ngelihat auratnya Sya?"
"Pas awal banget nikah, Sya tiba-tiba nyamperin Abang ke dapur. Mana posisinya Hazman yang duluan lihat lagi, masalahnya waktu itu Sya cuma pake hotpants sama crop top yang benar-benar kurang bahan dan membentuk lekuk tubuh," adunya.
"Awal banget nikah? Sya berani tampil seterbuka itu di depan Abang?"
Hamizan mengangguk semangat. "Kan emang koleksi baju-baju Sya kayak gitu semua. Sekarang aja ini, kayak ogah banget buat nyentuh pakaian-pakaian itu," katanya sembari memerhatikan penampilan Naqeesya dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Naqeesya pun refleks menilai pakaiannya yang kini mengenakan piyama berlengan panjang serta celana yang juga panjang. Minus tanpa kerudung saja, karena jujur dia tidak memiliki keberanian penuh untuk menyentuh pakaian-pakaian kurang bahan yang berjejer rapi di dalam lemarinya.
"Padahal Sya teh pake kerudung tapi kok bisa koleksi baju-baju kayak gitu," tanyanya pada diri sendiri. Merasa heran sekaligus bingung.
"Kata Bunda sih untuk memenuhi keinginan Sya yang mau tampil bebas dan seksi. Nggak tahu ah, Abang juga kurang paham sama pola pikir Sya."
Naqeesya bergidik ngeri saat kata 'seksi' keluar dari bibir sang suami. Bulu kuduk mendadak berdiri.
"Sya tobat, nggak mau koleksi baju-baju kayak gitu lagi. Mending dikasih ke orang aja deh, Bang, lagian Sya juga udah nggak minat buat pakenya."
Alis Hamizan terangkat satu. "Sekarang bilang nggak minat, berabe kalau nanti pas ingatan Sya bener-bener pulih. Harus beli dari awal lagi, nggak papa jadi pelengkap isi lemari aja. Kalau dikasih ke orang khawatirnya malah jadi dosa jariyah buat Sya. Pakaian kayak gitu, kan bukan untuk digunakan secara bebas, terlebih untuk kaum muslimah."
Padalarang, 04 Desember 2024
Masyaallah udah di Part 50 aja 🤧😅 ... Ini maunya sampai berapa part? 😭🤣
Definisi sadar pas hilang ingatan itu gimana sih, Sya? Selama ini ke mana aja, baru nyadar kalau kamu nggak tahu diri jadi istri 🤧😭😅
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro