HAMSYA || PART 5
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tokoh fiksi memang hanya sebatas karangan belaka, tapi bisa membuat candu berjuta-juta pasang mata."
"Keputusan yang diambil Bang Hamizan sepihak, nggak melibatkan Sya sama sekali dan Sya merasa keberatan akan hal itu!"
Semua pasang mata sontak menatap ke arah Naqeesya.
Hamna memaksakan diri untuk tetap tersenyum. "Sya mau tetap pisah, Sayang?"
Naqeesya mengangguk tanpa ragu, dengan melirik sekilas ke arah Hamizan lantas berkata, "Ya."
"Nggak mau coba dipikirkan lagi, Sya?" cetus Zanitha.
"Sya mau berembuk dulu sama Bunda dan juga Buna, keputusan finalnya tergantung hasil berembuk kita," putus Naqeesya.
"Mau berembuk apalagi atuh, Sya?" ungkap Dipta yang sudah cukup frustrasi dengan putrinya sendiri.
"Ya ada lha, Yah. Ini urusan perempuan, laki-laki nggak perlu tahu."
"Jadi kita harus ke luar dulu gitu supaya kalian leluasa berembuknya?" timpal Hamzah
Naqeesya menggeleng kecil. "Nggak usah, orang Sya mau berembuknya di kamar juga. Yuk, Bunda, Buna!"
Dengan patuh Zanitha dan Hamna mengintil di belakang Naqeesya, sampai akhirnya mereka pun sampai di dalam kamar. Duduk melingkar di atas ranjang, dan membiarkan Naqeesya untuk membuka perbincangan.
Perempuan itu terlihat ragu untuk buka suara, dia garuk tengkuknya yang tidak gatal terlebih dahulu lantas berkata, "Sya mau tanya sesuatu yang cukup sensitif sama Bunda dan juga Buna."
"Apa?" jawab Hamna dan Zanitha kompak.
"Ini seandainya aja ya, jangan dianggap beneran lho."
"Iya, ada apa sih, Sya jangan bertele-tele atuh," serobot sang ibu sudah kepalang penasaran.
"Kalau sekali berhubungan bisa langsung hamil, nggak?" tanyanya dengan suara rendah lalu menunduk dalam.
Hamna dan Zanitha saling melempar pandangan, mereka pun menahan tawa karena melihat semu merah yang tergambar jelas di wajah Naqeesya.
Kalau sudah seperti ini, bukan seandainya lagi tapi memang dialaminya sendiri.
"Tergantung sih, Sya," ceplos Hamna kemudian.
Naqeesya pun mendongak seketika. "Maksud Buna?"
"Kamunya lagi masuk masa subur atau nggak, kalau iya sih bisa aja terjadi pembuahan."
Zanitha mengelus lembut puncak kepala putrinya. "Kan ada suaminya, kalau hamil ya nggak papa atuh."
Refleks Naqeesya pun melihat ke arah perutnya, lalu menatap Zanitha dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. "Jangan dulu atuh, Bunda. Pasti ada, kan obat yang bisa mencegah kehamilan?"
Hamna dan Zanitha geleng-geleng kepala dibuatnya.
"Ada, tapi untuk apa atuh, Sya?" ujar Hamna.
"Sya, kan maunya nggak melanjutkan pernikahan ini, Buna."
Alis Hamna terangkat satu. "Sya yakin? Ibadah suami-istrinya udah dijalankan, masa pernikahannya mau udahan. Apa nggak rugi itu namanya? Bang Hamizan sih enak, nggak ada bekasnya. Nggak akan ada yang tahu juga kalau dia perjaka atau nggak kalau seandainya kalian pisah. Lha kalau Sya? Perempuan itu berbekas, Sayang, apalagi kalau sampai Sya beneran hamil. Apa nggak makin repot nantinya, hm?"
"Makanya jangan sampai hamil atuh, Buna."
"Emang ada yang bisa jamin? Itu, kan mutlak keputusan Allah, Sya," timpal Zanitha.
Dengan lembut Zanitha merangkul bahu sang putri. "Bunda tahu kalau pernikahan itu bukan ajang untuk coba-coba, tapi akan jauh lebih baik kalau di cobain dulu aja. Bunda malah setuju sama keputusan Bang Hamizan, itu artinya dia pria yang bertanggung jawab, Sya. Nggak mundur setelah merenggut kesucian seorang wanita, meski di sini kamu berstatus sebagai istri yang hanya sah di mata agama."
"Tapi, kan Bun---"
"Sya mau bilang nggak ada cinta di dalam pernikahan kalian? Cinta itu akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu, mungkin sekarang belum, siapa tahu besok atau lusa tiba-tiba ada. Cinta itu bukan tiang utama dalam berumah tangga, yang penting dalam menjalaninya kita sadar akan yang namanya hak dan kewajiban, tahu caranya bakti dan saling menghormati. Cinta mah cuma bumbu pelengkap aja atuh," jelas Zanitha halus dan penuh hati-hati.
Naqeesya menggeleng kecil. "Bukan itu yang Sya permasalahkan, Bunda."
"Lalu apa?" cetus Hamna kemudian.
"Ada Teh Astha di hati Bang Hamizan."
Dengan lembut Hamna mengelus puncak kepala sang menantu. "Justru karena itu, Buna nggak mau kalian sampai pisah. Buna khawatir perasaan Hamizan akan kian besar, mau bagaimanapun mereka itu saudara kembar. Nggak mungkin akan bersatu sampai kapan pun."
"Move on itu emang perkara yang susah-susah gampang, Sya, tapi kalau ada kemauan pasti bisa kok. Dibantu ya suaminya buat move on, Sya juga harus mulai untuk mencintai Bang Hamizan. Kalian sama-sama saling menata hati, menyatukan kepingan-kepingan itu agar bisa saling menyatu dan satu padu," tutur Zanitha.
"Apa ada laki-laki lain yang Sya suka?" ujar Hamna.
Naqeesya pun refleks menggeleng. "Nggak ada Buna."
"Pacar?"
"Apalagi itu, nggak dibolehin Bunda sama Ayah atuh."
"Terus apalagi atuh yang mendasari Sya nggak mau melanjutkan pernikahan? Lagi nggak suka sama seseorang juga, kan, dilanjut aja atuh, Nak," ucap Zanitha mengompori.
"Bang Hamizan nggak sama kayak Ayah, Bunda. Sya maunya punya suami kayak Ayah, itu udah yang paling minimal."
Zanitha tersenyum samar. "Ayah itu cuma satu dan itu pun punya Bunda seorang. Mau kamu cari ke ujung dunia sekalipun nggak akan dapat yang sama persis, Allah itu kasih kita pasangan sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Semua itu sudah tertakar, nggak mungkin bisa tertukar."
"Ya udah iya oke, Sya mau lanjut," putus Naqeesya mendesah pasrah.
Zanitha dan Hamna saling berseru, "Yes!" Lalu menyatukan telapak tangan dengan kompak.
"Kok malah Bunda sama Buna sih yang kegirangan?"
"Salah emangnya? Buna seneng karena akhirnya punya besan."
"Bohong, pasti ada sesuatu, kan?"
"Bohong apa sih, Sya?" sahut Zanitha.
"Sya jadi curiga kalau ada andil Bunda sama Buna di balik kejadian semalam. Ngaku aja deh, iya, kan?"
Zanitha dan Hamna kompak saling mengedikkan bahu masing-masing.
"Tuh, kan makin curiga Sya. Buna kasih apa di makanan yang Buna kasih ke Sya kemarin?"
"Nggak Buna kasih apa-apa, masa Buna mau racunin mantu sendiri sih. Ya nggak mungkin atuh," sangkal Hamna.
Naqeesya menunjuk ke arah sang ibu. "Bunda pasti, kan yang usil?"
"Usil apa sih, Sya. Buruk sangka kok sama ibu kandung sendiri."
Naqeesya memasang wajah sebal, dia silangkan kedua tangannya di depan dada. "Efek samping setelah konsumsi makanan dan jus buah naga itu masih berasa banget. Gerah dan anehnya kayak gimana, sampai Sya mandi beberapa kali dan berakhir hilang kesucian di tangan Bang Hamizan."
Hamna meringis kecil. "Buna nggak tahu apa-apa, Sya. Serius."
Zanitha mengulas senyum tipis. "Maafin Bunda ya, Sya. Bunda ngaku deh, emang ada sesuatunya di jus buah naga yang Sya minum."
"Tuh, kan Bunda biang keroknya!"
Zanitha menunjukkan dua jarinya tanda damai. "Bunda nggak ada niatan buruk kok, Sya."
Naqeesya menjerit seraya menjambak kepalanya yang masih tertutup pashmina. "Bisa-bisanya Bunda membuat anak gadisnya hilang kesucian. Sya laporin Ayah ya!"
Zanitha menahan tangan sang putri. "Hilang kesuciannya di tangan suami sendiri, nggak papa, nggak dosa, justru bernilai pahala."
"Ya, tapi, kan nggak kayak gini juga atuh, Bunda!"
"Iya, Bunda tahu Bunda salah makanya Bunda minta maaf. Bunda juga bingung, harus melakukan apa supaya kamu tetap mau mempertahankan pernikahan kalian. Bunda hanya terinsipirasi dari novel yang pernah Bunda baca, Sya."
Naqeesya mengembuskan napas kasar. "Sya bakar ya novel-novel Bunda!"
"Jangan atuh, ngumpulinnya susah, Sayang."
Naqeesya turun dari ranjang lantas berujar, "Tahu ah, Sya sebel sama Bunda. Sya serius mau minta Ayah buat bakar novel-novel Bunda!"
Hamna hanya menatap penuh iba pada Zanitha yang tengah didakwa oleh putrinya sendiri. "Saya nggak ikut-ikutan ya, Teh. Saya, kan emang nggak tahu apa-apa, cuma ditugaskan untuk mengantar makanan dan jus buah naga aja sama Teteh."
Zanitha mengangguk lesu. "Kamu tenang aja, Na, ini emang salah saya. Efek terlalu banyak konsumsi cerita fiksi kali ya, sampai nggak bisa berpikir jernih. Tapi, jangan sampai Mas Dipta membakar habis novel-novel saya. Mati saya, nggak bisa halu sama tokoh-tokoh fiksi lagi!"
Hamna meringis kecil. Besannya ini memang penulis sejati, yang tidak hanya kecanduan tokoh fiksi buatan sendiri. Usia memang hanya angka, walaupun sudah tidak lagi muda, nyatanya Zanitha masihlah sama. Sindrom halunya justru kian menjadi saja.
Padalarang, 27 September 2024
Di dunia nyata ada nggak sih mertua, mantu, sama besan yang kayak gini. Bisa duduk bareng dan ngobrolin hal-hal random apa pun. 😅🤭
Gaskennn nggak nih???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro