Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 48

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Penyakit hati acap kali hadir tanpa disadari, tapi masih bisa diobati jika ada kemauan dalam diri."

Menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana Naqeesya dan Hamizan yang sekarang terlihat kembali dekat, membuat Hamna merasa lega tiada terkira. Terlebih lagi kelakuan sang menantu yang tanpa sungkan selalu memamerkan kehangatan serta keharmonisan.

"Kan, apa Astha bilang. Sekarang Sya lengket banget ke Hamizan, udah kayak dilem. Nggak mau lepas barang sedetik pun," bisik sang putri sulung.

Hamna pun mengangguk setuju. Matanya masih fokus ke arah anak serta sang menantu yang kini tengah menikmati makan siang, sembari asik menonton televisi.

"Alhamdulillah, walaupun ingatannya Sya belum benar-benar pulih tapi dia nggak menjaga jarak lagi sama Hamizan. Ikut seneng, Buna lihatnya," sahut Hamna menimpali.

Harastha pun mengangguk setuju. "Tapi minusnya Astha yang sekarang nggak bisa sedekat itu sama Sya. Kangen banget sama kecerewetan tuh anak, sekarang mah lihat Astha dari kejauhan aja langsung mode senggol bacok."

Sang ibu terkekeh kecil seraya merangkul hangat tubuh sang putri, dia elus pelan puncak kepala Harastha. "Sama Buna juga belum sedekat dulu kok, nggak papa. Kita mah nontonin mereka aja, Hamizan juga kelihatan semakin sumringah sekarang."

Harastha pun mendongak. "Gimana nggak seneng, orang istrinya kayak nggak mau lepas dan jauh-jauh dari dia. Kayak kebayar lunas kali kesabarannya berbulan-bulan ini, berbuah manis. Naqeesya sebelum hilang ingatan aja agak jaim buat mamerin kemesraan, sekarang malah dia yang terang-terangan banget. Gimana nggak sesumringah itu putranya, Bun?"

"Iya juga sih, tapi alhamdulilah kemajuan yang cukup pesat ini. Tinggal disabar-sabarin dikit lagi aja supaya ingatan Naqeesya pulih seutuhnya."

Perempuan bercadar itu pun mengangguk semangat. "Aamiin, Buna."

"Teteh makan dulu atuh, yuk sama Buna. Kita mah di sini aja, nggak usah gabung sama yang lagi ngebucin," ajak sang ibu.

Namun Harastha justru menggeleng pelan. "Astha mau lihat Hamsya yang lagi tidur di kamar, Buna. Kangen berat Astha sama anak itu, sekarang nggak ada yang bisa Astha unyel-unyel dan ajak main. Buna tahu sendiri, Astha nggak bisa seleluasa dulu buat mengunjunginya."

Hamna pun menepuk pelan bahu Harastha. "Ya udah gih sana, tapi jangan sampai dibangunin ya ponakannya. Yang anteng, Buna bantu buat alihin perhatian pawangnya dulu."

Harastha tersenyum begitu lebar, dia kecup salah satu pipi Hamna lalu melesat menuju kamar untuk menemui sang keponakan.

Sedangkan Hamna memilih untuk bergabung dengan Naqeesya serta Hamizan, tapi sebelumnya dia mengambil makanan terlebih dahulu karena memang perutnya yang sudah mulai keroncongan.

"Masyaallah berasa lagi lihat pengantin baru ini, pake acara suap-suapan segala. Mana sepiring berdua lagi," goda Hamna mencoba untuk mengambil perhatian keduanya karena tengah fokus saling melempar tawa satu sama lain.

Hamizan sedikit meringis, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lantas berujar, "Menantunya Buna lagi agak manja nih."

Sedangkan Naqeesya cuek-cuek saja, dia tak sedikit pun merasa malu atau salah tingkah sebagaimana yang dirasakan oleh Hamizan.

"Enak makanannya, Sya?" tanya Hamna dengan senyum mengembang.

Naqeesya mengangguk tanpa ragu. "Terbaik, Sya suka."

Hamna pun manggut-manggut seraya mulai menikmati makanannya. Sesekali diisi dengan obrolan untuk semakin menghangatkan suasana agar terasa semakin dekat.

"Sya mau tanya sesuatu sama Buna, dulu Sya pernah tinggal di sini, kan katanya ya?"

Sang mertua mengangguk cepat.

"Lama?"

Hamna sejenak menelan makanannya terlebih dahulu. "Lumayan, dari awal nikah Sya sama Abang tinggal di sini. Nemenin Buna, kalian itu baru pindah pas usia kehamilan Sya lima bulanan kalau nggak salah. Tapi, meskipun udah pindah kalian masih sering kok main-main ke sini. Kenapa emangnya, Sayang?"

Naqeesya menggeleng pelan. "Nggak papa Sya mau tahu aja. Teh Astha juga tinggal di sini, kan ya?"

Hamna sedikit menahan senyum. "Teh Astha itu tinggal di sini tiga bulan setelah kalian menikah. Tapi, semenjak itu kalian malah jadi lebih sering nginep di rumah Bunda sama Ayah, ke sini itu jarang-jarang."

Naqeesya melirik ke arah Hamizan dan juga Hamna bergiliran. "Kenapa?"

"Dulu, kan Abang masih belum terbiasa dengan kehadiran perempuan lain di rumah ini selain Buna. Agak kagok, dan buat ngejaga Sya juga yang suka banget pake hotpants sama crop top. Abang, kan punya dua saudara laki-laki, ya meskipun mereka jarang ada di rumah. Tetep aja, kalau mereka ke sini Sya-nya kurang bisa memilih outfit, mana yang sekiranya layak dan nggak. Ipar, kan bukan mahram atuh. Masa Abang yang akad, saudara-saudara Abang ikut menikmati apa yang nggak seharusnya mereka lihat. Abang ingin menjaga Sya," terang Hamizan khawatir sang istri salah paham.

"Abangnya belum move on kali!" timpalnya.

Hamna geleng-geleng kepala. Intonasi yang agak meninggi menunjukkan jika memang ada kecemburuan yang cukup kuat dalam diri Naqeesya.

"Bukan belum move on, emang masih agak kagok aja. Canggung, Sya," kilah Hamizan.

Naqeesya mendelik tak percaya. "Emang iya kayak gitu, Buna?"

"Mungkin. Tapi, Sya nggak perlu khawatir Abangnya akan pindah ke lain hati. Buna yang akan jamin kalau Abangnya itu setia. Coba suami mana yang sabar nunggu istrinya koma, mana pas sadar dinyatakan amnesia, terus dijauhi istrinya karena masih trauma. Insyaallah putra buna ini hanya mencintai Naqeesya Dilara Hirawan seorang," ungkap Hamna berusaha untuk menghilangkan rasa cemas yang mungkin akhir-akhir ini membayangi sang menantu.

"Ditawarin pisah sama ayah mertua, bukannya mundur malah gencar berikhtiar dan melakukan cara apa pun supaya Sya mau menerimanya lagi. Sesayang itu lho Abangnya sama Sya," tambahnya kemudian.

Naqeesya pun menatap Hamizan cukup lekat, tapi yang ditatap justru memalingkan pandangan ke sembarang arah. Tidak kuat jika ditatap sedalam itu oleh sang istri, rasanya lemas sebadan-badan.

Hamna mengelus puncak kepala Naqeesya. "Sya tahu, kan ada kebutuhan suami yang hanya bisa dipenuhi oleh seorang istri? Abangnya lebih milih puasa, mana rajin banget lagi puasanya. Senin-Kamis iya, puasa Daud juga iya. Karena apa coba? Karena Abangnya udah sesayang dan secinta itu sama Sya. Putra Buna ini kalau udah takluk sama satu perempuan, setianya ampun-ampunan."

"Buna mah jangan dibongkar atuh kartunya, malu," serobot sang putra.

"Malu? Buna lebih malu kalau sampai Abang jajan di luar!"

"Diajarin Papa, katanya nikah itu bukan soal tentang dilayani atau melayani, apalagi cuma perkara napsu. Cetek banget Abang kalau sampai milih jajan di luar, atau ngikutin titahnya Ayah buat pisah. Masa iya rumah tangga Abang hancur hanya karena gara-gara nafkah batin? Nggak mau atuh sampai kayak gitu."

Hamna mengacungkan dua jempolnya. Merasa bangga bisa memiliki putra yang imannya teguh dan tidak mudah digoyahkan.

Dengan lembut Hamna menggenggam tangan sang menantu. "Buna doakan Sya-nya bisa kembali pulih, sehat lagi, semakin rukun dan akur. Sya jangan punya pemikiran negatif kalau Abangnya masih ada perasaan sama Tetehnya sendiri. Nggak ada sama sekali atuh, Buna tahu kok pasti rasa iri dan takut tersaingi itu ada aja. Tapi, kitanya harus bisa me-manage dengan baik ya? Mana yang sekiranya masih wajar dan mana yang berlebihan."

"Dulu Buna juga pernah ada di posisi Teh Astha, dimusuhi ibu mertua sendiri karena beliau merasa tersaingi dengan hadirnya Buna di tengah-tengah keluarga mereka. Bedanya kalian ini berstatus sebagai ipar, kalian menempati posisi yang berbeda. Abangnya baik dan perhatian sama Teh Astha ya karena mereka saudara sedarah. Lain hal sama Sya yang sebelumnya nggak saling terikat tapi setelah akad jadi saling mengikat. Teh Astha cuma mengambil sedikit kasih sayang dari kembarannya, sedangkan Sya memiliki cinta sekaligus kasih sayang yang seutuhnya dari Bang Hamizan."

Hamna menjeda sejenak, untuk melihat respons sang menantu yang terlihat begitu fokus mendengar kata demi kata yang dia keluarkan, lantas kembali berujar, "Buna yang akan menegur lebih dulu Bang Hamizan dan Teh Astha kalau mereka terlibat hubungan yang nggak wajar. Buna ngomong kayak gini nggak maksud sedikit pun buat Sya nggak nyaman atau terkesan terlalu mencampuri. Buna hanya ingin anak-anak dan mantu Buna akur. Buna teh udah tua, udah ada cucu juga. Kebahagiaan Buna hanya sebatas melihat kalian hidup damai bersama. Udah itu aja."

Naqeesya pun mengangguk pelan, dengan kepala menunduk dalam.

Diangkatnya dagu sang menantu lembut. "Apa ada kata-kata Buna yang menyakiti Sya?"

Perempuan itu menggeleng pelan. "Sya minta maaf sama Buna ya? Sya-nya terlalu berlebihan."

Hamna tersenyum begitu lebar. "Jadi sekarang nggak papa atuh kalau semisal Tetehnya mau main ke rumah kalian?"

Anggukan kecil dengan dihiasi senyuman tipis Naqeesya berikan.

Hamna bernapas lega, lalu merengkuh tubuh menantunya. "Buna teh sayang banget sama Sya. Sayangnya Buna ke Sya setara dengan sayangnya Buna ke anak-anak kandung buna sendiri."

Padalarang, 02 Desember 2024

Hamna berusaha untuk nggak meneruskan traumanya pada Naqeesya. Dia benar-benar jadi sosok mertua yang hangat dan penuh akan kasih sayang. Masyaallah 🤗🥺

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro