Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 47

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kunci dari keberhasilan ialah ikhtiar yang maksimal dengan dibarengi ikhlas dan juga sabar."

"Boleh nggak Sya tahu apa yang melatarbelakangi terjadinya akad di antara kita. Seriusan, kan Sya sama Abang udah beneran nikah?"

Hamizan mengangguk mantap. "Sya kira buku nikah yang pernah Abang tunjukkan itu properti doang apa? Ya nggak atuh, itu buku nikah asli yang dikeluarkan sama pihak KUA."

"Abang cerita pelan-pelan ya, tapi kalau semisal ada dari cerita Abang yang bikin kepala Sya sakit. Bilang oke?" pintanya sebelum memulai.

Perempuan itu pun mengangguk setuju, dengan tangan masih asik menepuk-nepuk pantat Hamsya agar semakin terlelap. Dia seakan tidak ingin berjauhan dengan sang putri, dalam kondisi Hamsya tengah menutup mata pun haruslah berada dalam pangkuan dan pengawasannya.

"Berawal dari Abang menguntit Teh Astha, niatnya cuma mau memastikan dia aman sampai rumah, sekaligus mau tahu tempat tinggal barunya juga. Ketahuanlah, ketakutan Teh Astha ngiranya Abang mau berbuat hal yang nggak-nggak, saking paniknya sampai jatuh terjerembab, kaki Teh Astha terkilir cukup parah, lebam serta terdapat luka juga."

"Karena iba dan bentuk dari tanggung jawab Abang bantulah Teh Asta buat menepi, saat Abang hendak membuka sepatu Teh Astha untuk melihat lebih jelas kondisi kakinya, keciduk warga yang lagi ronda. Ngiranya kita berbuat hal tak senonoh, karena mereka mendengar suara perempuan dari balik pohon besar tempat kami berada. Padahal itu suara Teh Astha yang kesakitan karena Abang neken lukanya agak kenceng, bukan suara-suara aneh sesuai asumsi warga."

Naqeesya manggut-manggut. "Terus?"

"Dibawalah Abang sama Teh Astha ke balai desa, kami diadili atas kesalahan yang nggak kami lakukan. Dipaksa untuk menikah detik itu juga, bahkan sampai menghubungi Papa sama Buna agar segera menemui kami."

"Yang didesak untuk nikah Abang sama perempuan bercadar itu, kenapa bisa jadinya malah sama Sya? Ini Abang lagi mengarang bebas ya!" selidiknya tak terima.

Hamizan pun menggeleng keras. "Sebentar atuh ih, Abang belum selesai ceritanya. Dicermati dan dipahami baik-baik dulu."

"Dari tadi yang Abang ceritain perempuan bercadar itu terus. Sya sebel dengernya!" keluh Naqeesya blak-blakan.

Hamizan terkekeh kecil. "Ya, kan itu cuma permulaan belum ke inti dari ceritanya."

"Sok atuh lanjutin lagi."

Anggukan kecil Hamizan berikan. "Setibanya Papa sama Buna di balai desa. Papa minta waktu buat kita ngobrol empat mata, Abang sama Papa melipirlah ke sudut ruangan yang lumayan sepi. Kami terlibat perdebatan yang cukup panas dan sengit, karena memang ada kesalahpahaman di antara kami. Abang mengira Papa ada main sama Teh Astha di belakang Buna, karena seringnya mereka bertemu dan cukup akrab kala itu, bahkan cara Papa menatap Teh Asta begitu dalam. Seakan ada sesuatu yang berbeda dan nggak seharusnya."

"Di sana Abang mengutarakan kecurigaan dan asumsi Abang, menantang Papa untuk merestui kalau memang di antara Papa dan Teh Astha nggak ada apa-apa. Papa keukeuh nggak mau kasih lampu hijau, makin curigalah Abang kalau memang benar-benar ada main di antara mereka. Tanpa kami sadari, ada Buna yang menguping pembicaraan, beliau sangat amat shock hingga akhirnya Buna sedikit memaksa Sya untuk menggantikan posisi Teh Astha."

"Kok bisa Sya tiba-tiba ada di sana? Nggak mungkin, kan Sya nongol gitu aja. Aneh. Janggal nih cerita Abang!" potong Naqeesya saat Hamizan baru saja mengambil napas.

"Teh Astha yang menghubungi Sya supaya datang untuk menemaninya. Teh Astha, kan nggak ada sanak saudara di Bandung, dia ke sini buat mencari keberadaan orang tua kandungnya yang ternyata merupakan Papa dan Buna. Pendekatan yang Papa lakukan pada Teh Astha itu untuk meyakinkan dirinya, kalau Teh Astha memang putri kandungnya yang sempat beliau berikan pada Umi dan Abah untuk diasuh oleh mereka."

"Anak manusia itu kok gampang banget dikasih ke orang. Sya emang kurang suka sama perempuan bercadar itu karena suka mepet-mepet Hamsya sama Abang, tapi ya kasihan atuh kok Buna sama Papa bisa setega itu. Kesannya kayak dibuang, terus dipungut lagi pas udah besar," ceplosnya.

Hamizan sedikit meringis kecil. "Bukan sengaja dikasih ke orang, tapi ada sesuatu yang besar yang melatarbelakangi hal itu terjadi. Papa sama Buna keberatan, tapi mereka juga terdesak keadaan sampai-sampai Buna selalu dibayang-bayangi rasa bersalah berkepanjangan. Mental Buna terguncang, makanya Papa bersikeras untuk mencari keberadaan Teh Astha, alhamdulilah sekarang Buna bisa kembali berkumpul sama putrinya."

"Oke, lanjutin lagi ceritanya ke yang di balai desa," titah Naqeesya seraya berusaha untuk sedikit mengingat-ingat serta menelaah dan menyamakan dengan cerita dari versi sang ibu.

Jika terdapat kejanggalan dan perbedaan, dia bisa menarik kesimpulan ada cerita yang diada-adakan. Sejauh ini masih cukup sinkron, meskipun dia sangat amat penasaran. Sudah benar-benar move on, kah Hamizan dari Harastha?

Sebab dari cerita Zanitha, laki-laki yang katanya berstatus sebagai suaminya itu sangat amat mencintai Harastha. Dibuat tergila-gila dengan pesona sang kembaran. Memang secantik dan seistimewa apa sih seorang Harastha Razqya itu?

Sejuah yang Naqeesya lihat, perhatian dan cara Hamizan dalam men-treatment Harastha terasa berlebihan. Bukan hanya sebatas saudara. Mengingat hal tersebut, dia justru menjadi dongkol seketika.

"Perempuan mana sih Sya yang mau punya mantu yang dicurigai ada main sama suaminya. Buna jelas menentang keras adanya akad di antara Abang sama Teh Astha. Dalam kondisi yang terdesak, beliau meminta Sya untuk menggantikan posisi Teh Astha. Sampai akhirnya terjadilah akad di antara kita, Ayah sama Bunda datang untuk menyaksikan pernikahan kita yang jauh dari kata layak dan idaman itu, karena disaksikan oleh banyak pasang mata yang memandang kita rendah."

Hamizan sejenak menjeda kalimatnya, dia tatap wajah Naqeesya begitu dalam. "Maaf ya, Sya, Abang belum mampu untuk mempersembahkan pernikahan yang semestinya, sesuai dengan apa yang Sya inginkan. Padahal pengorbanan Sya begitu besar karena mau berbesar hati untuk menerima Abang. Bahkan untuk mahar pun hasil pinjaman dan patungan dari Papa dan Ayah. Kalau inget itu Abang malu, sekaligus merasa hilang harga diri sebagai seorang laki-laki."

Senyum lelaki itu sedikit terbit. "Tapi Abang udah janji sama Sya, setelah Sya lulus kuliah dan wisuda kita akan melakukan akad ulang sekaligus resepsi. Berhubung ada problem yang membuat Saya hilang ingatan, sampai lupa sama Abang alhasil belum terealisasi sampai sekarang. Dan kemungkinan besar akad ulang itu nggak akan bisa kita lakukan."

"Kenapa?"

"Karena Ayah sudah mengajukan isbat nikah ke KUA untuk melegalkan pernikahan sirih kita, supaya mendapatkan buku nikah yang selalu Sya tagih-tagih. Tapi, Sya nggak perlu khawatir, resepsinya insyallah akan tetap dilaksanakan. Sejauh ini masih ter-planning after wisuda, kan, ya? Semoga Sya-nya cepet pulih dan sehat. Wisudanya, kan bulan depan," terang Hamizan diakhiri sunggingan tipis.

Sedikit ragu Hamizan mengelus pelan puncak kepala Naqeesya. "Wedding dream-nya, Sya masih sama, kan? Mau yang full adat Sunda."

Kening perempuan itu mengernyit. "Kapan Sya bilang kayak gitu?"

Hamizan terkekeh kecil. "Dulu pas awal-awal nikah, pas kita nongkrong pinggir jalan sambil nyemilin siomay sama teh poci."

"Masa iya?" tanyanya syarat akan ketidakpercayaan.

"Iya ih, katanya Sya mau lihat Abang nginjak telur terus nanti Sya yang bersihin kaki Abang. Dulu Abang menanggapinya dengan guyonan, Abang bilang gini, 'Sya telur sekilo Rp. 24.000,00 udah dapet banyak. Sedangkan nginjek telur satu biji nggak cukup Rp. 24.000.000,00'. Sya inget nggak?"

Naqeesya sejenak diam, berusaha untuk mengingat apa yang baru saja diceritakan Hamizan. Namun nihil, dia tak mengingat apa pun. Alhasil gelengan kepala spontan diberikan.

Hamizan mengangguk maklum. "Nggak papa, pelan-pelan aja ya? Nanti kita napak tilas, jalan ke tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Abang juga akan menceritakan banyak hal tentang kita, semoga Sya cepet inget sama Abang."

Perempuan itu justru berkawan geming. Melihat senyum terpaksa yang terpatri jelas di wajah Hamizan, sedikit menyentil relung hati terdalam.

Selembut dan setulus itu, kah sosok Hamizan? Bahkan, dia tetap berusaha untuk tak memperlihatkan rasa kecewanya dengan cara membingkai senyuman palsu.

Sedikit ragu, Naqeesya mengikis jarak di antara mereka, lalu merebahkan kepala di bahu Hamizan. "Sya minta maaf kalau sampai sekarang belum inget sama Abang. Tapi Sya nggak akan berulah dan jaga jarak lagi kok, Sya mau sama-sama terus sama Abang dan juga Hamsya. Tolong yakinkan Sya, berulang kali kalau bisa. Abang juga harus janji sama Sya, jangan deket-deket sama perempuan bercadar itu lagi ya? Sya bener-bener nggak suka. Gondok banget hati Sya lihatnya!"

Hamizan tentu saja mengangguk cepat. Dia kecup singkat puncak kepala sang istri yang sudah sangat lama sekali tidak bersikap manja ini. "Insyaallah Abang akan mengusahakan yang terbaik untuk memulihkan ingatan, Sya. Abang juga janji akan lebih menjaga jarak sama Teh Astha, untuk menjaga hati dan perasaan Sya."

Naqeesya pun mendongak lantas tersenyum. "Jadi kapan resepsi full adat Sundanya digelar?"

Padalarang, 01 Desember 2024

Awas jangan senyum-senyum sendiri, lebih dari 1.400 kata ini. Kurang panjang apalagi coba 😬🤧😅 ... Hati-hati muak kalau kepanjangan mah 🤣😆

Gaskennn nggak nih???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro