HAMSYA || PART 45
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Karakter yang ada pada diri seseorang bukanlah sesuatu yang bisa diubah dengan instan."
"Bunda, Sya mau ketemu Hamsya," ujarnya berhasil menghentikan kegiatan Zanitha yang tengah memasak untuk sarapan.
"Sya? Bunda nggak salah denger, kan?"
Naqeesya menggeleng kecil. "Ada yang salah? Atau Bunda lebih senang kalau pake 'saya' seperti biasa?"
Sontak Zanitha pun menggeleng cepat. "Pake 'Sya' aja ya, Nak. Bunda seneng dengernya, seakan nggak ada sekat pemisah lagi di antara kita. Masih pagi lho ini? Mau apa atuh ketemu Hamsya?"
"Kok nanyanya gitu?! Nggak boleh!"
Zanitha pun mencuci tangannya terlebih dahulu lalu menghampiri sang putri. "Nggak biasanya Sya tiba-tiba mau mengunjungi Hamsya sepagi ini. Nggak papa emang ketemu Abangnya?"
"Sya, kan mau ketemu anaknya, bukan bapaknya!"
"Iya, Bunda tahu, tapi, kan ada bapaknya juga di sana. Nggak papa?"
"Sya cuma mau ketemu Hamsya, Bunda!" rengeknya.
Zanitha tersenyum tipis.
Inilah putrinya, dia sedikit merasa lega mendapati rajukan sang putri yang sudah berbulan-bulan ini tidak dia dapati.
Ada sedikit kemajuan dan juga perubahan dalam diri Naqeesya, dan dia sangat amat bersyukur atas hal tersebut.
"Sebentar lagi juga Abangnya ke sini buat ambil ASIP, Sya," cetus Zanitha.
Naqeesya mendengus kasar. "Dia hanya datang seorang diri, Hamsya selalu dia tinggalkan di rumah dengan perempuan bercadar itu. Sya nggak suka Hamsya terlalu dekat dengan perempuan itu, Bunda!"
"Lho, kenapa nggak suka atuh? Harastha, kan tantenya Hamsya. Wajar kalau mereka dekat."
Naqeesya menghentakkan kaki sebal. "Tapi seharusnya Hamsya lebih dekat sama Sya, Bunda!"
"Kenapa gitu?"
"Kata Bunda, Hamsya itu putrinya Sya, kan?"
Zanitha tak kuasa untuk menahan senyum. "Ohh, putrinya ya? Berarti Bang Hamizan itu suaminya Sya atuh."
Naqeesya berkawan geming detik itu juga.
Sedangkan Zanitha tak ingin terlalu mengambil pusing, dia lebih memilih untuk kembali melanjutkan kegiatan masaknya.
Membiarkan sang putri untuk sadar dengan sendirinya, tidak ingin terlalu memaksa hingga memacu sesuatu yang tidak diinginkan.
"Daripada bengong, mending bantuin Bunda masak, Sya," cetus Zanitha kemudian.
Perempuan itu justru semakin mematung linglung. Seakan tidak mendengar apa yang baru saja diungkapkan oleh sang ibu.
"Assalamualaikum." Terdengar salam menguar dari arah luar.
Naqeesya sedikit terkesiap, lalu berlari cepat untuk menuju pintu masuk. Dia membukanya dan di sana berdiri Hamizan yang terlihat cukup kaku. Tidak menduga akan disambut oleh sang istri.
"ASIP-nya udah siap, Sya? Abang nungguin chat dari Sya kayak biasa, tapi nggak kunjung ada alhasil Abang inisiatif aja buat ambil ke sini," terang Hamizan.
"Nggak ada, Sya sengaja nggak memompa ASI."
"Kenapa? Sya udah nggak mau ngasih ASIP-nya lagi buat Hamsya, ya."
Naqeesya menggeleng kecil. "Sya bisa memberikannya langsung, nggak perlu pake dot lagi."
Hamizan dibuat tidak berkedip sedikit pun, bahkan mulutnya sampai terbuka saking terkejutnya dengan penjelasan Naqeesya.
"Lho, kok nggak disuruh masuk Abangnya, Sya? Malah ngobrol depan pintu. Hayuk masuk, Bang, kita sarapan dulu tapi tunggu sebentar nggak papa, kan? Belum selesai," tutur Zanitha yang baru saja datang dari arah dapur.
Hamizan pun tersentak. "Abang nggak akan lama kok, kasihan Hamsya cuma ditinggal sama Teh Astha di rumah."
Zanitha mengangguk paham. "Sya siapin dulu atuh ASIP-nya. Lagi buru-buru itu Abangnya," titah sang ibu.
"Yuk atuh!"
Sontak Hamizan dan Zanitha pun saling berpandangan. Kurang mengerti dengan dua kata yang baru saja Naqeesya lontarkan.
"Sya mau ikut Abang ke kontrakan, Sya mau nyusuin Hamsya secara langsung, Sya mau main sama Hamsya, Sya mau menghabiskan waktu bersama Hamsya."
Sepasang mertua dan menantu itu hanya mampu diam dengan beragam pertanyaan yang tumpang tindih memenuhi isi kepala. Mereka seakan melihat diri Naqeesya yang sesungguhnya, bukan seperti Naqeesya yang asing sebagaimana beberapa bulan terakhir.
"Sya nggak keberatan dengan adanya Abang?"
Naqeesya menggeleng pelan, terlihat agak ragu tapi sebisa mungkin dia tepis jauh-jauh. "Sya lebih keberatan kalau ada perempuan bercadar itu di rumah Abang. Bisa, kan suruh perempuan itu pulang dan jangan pernah mengunjungi Hamsya lagi?"
"Kenapa? Teh Astha, kan kembaran Abang, Sya."
"Sya istri Abang, kan katanya? Pilih Sya atau perempuan bercadar itu?"
Antara rasa bingung dan senang saling berpadu satu. Hamizan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
"Abang pilih istrinya atau kembarannya?!" ulang Naqeesya tegas.
Zanitha yang lebih dulu sadar, berusaha untuk menyenggol tubuh sang menantu agar segera memberi jawaban.
Dengan kondisi otak yang belum sepenuhnya terkumpul Hamizan pun berujar, "Istri."
"Sya pamit, Bunda, assalamualaikum," katanya sembari menyalami punggung tangan Zanitha dan melesat pergi begitu saja.
Bukannya menjawab salam, mereka justru saling memandangi satu sama lain.
"Ingatan Naqeesya udah pulih, Bunda?" tanya Hamizan kemudian.
Zanitha menggeleng lemah. "Nggak tahu, Bang, lutut Bunda rasanya lemes banget ini. Terakhir kali check up emang kondisi Naqeesya sudah cukup membaik."
"Abang jug---"
"Jadi perginya, Bang?" teriak Naqeesya yang sudah duduk anteng di atas motor Hamizan.
"Buruan pergi, Bang, sebelum tuh anak berubah pikiran," titah Zanitha yang jelas langsung dipatuhi Hamizan detik itu juga.
Sepanjang perjalanan hanya di isi keheningan, setelah sekian lama akhirnya sekarang Hamizan bisa kembali membonceng sang istri, meski tidak ada sedikit pun obrolan hangat yang mewarnai.
Sedikit kurang fokus, Hamizan sampai tidak sadar ada lubang cukup besar di depannya dan membuat dia refleks mengerem mendadak, alhasil tubuh Naqeesya terdorong ke depan. Perempuan itu memeluk Hamizan cukup erat, karena takut jatuh terpental.
Hamizan mati-matian menahan napas, mengontrol detakan jantungnya yang kini terasa seperti tengah lari marathon. Berdetak kencang di luar dari ambang batas wajar, serasa baru pertama kali mengalami.
Gerak tangan Naqeesya yang semula bertengger apik di pinggangnya kini merambat naik ke dada. "Abang jantungan? Keras banget ih detakannya."
Hamizan pun menoleh ke belakang seketika. "Abang nggak papa, aman, Sya."
Naqeesya hanya manggut-manggut saja. "Jalan lagi atuh, tapi pelan-pelan aja. Jangan kayak tadi, ada lubang besar main diseruduk gitu aja."
Hamizan mengangguk. Dia sedikit merasa kehilangan kala Naqeesya mulai kembali mundur dan menjauhkan diri dari tubuhnya. Dalam hati dia berusaha untuk menenangkan diri agar tidak kentara tengah dilanda rasa grogi.
Lelaki itu pun kembali melajukan motornya dengan fokus yang masih terbagi-bagi, tapi sebisa mungkin tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.
"Sya mau jajan dulu? Mau beli sesuatu?" tanya Hamizan berusaha untuk tetap tenang dan biasa-biasa saja.
Naqeesya menggeleng kecil. "Sya mau ketemu Hamsya, nggak mau yang lain."
Anggukan pelan Hamizan berikan.
"Abang janji ya harus usir perempuan bercadar itu saat kita sudah sampai di kontrakan," pintanya.
"Abang nggak bisa janji, nggak enak atuh sama Teh Astha. Masa udah dibantu buat ngejagain Hamsya, tapi langsung diusir gitu aja."
Naqeesya tak terima akan hal tersebut. "Ohh, gitu ya? Lebih nggak enak sama kembarannya ketimbang sama istrinya sendiri. Atau emang Sya ini bukan istrinya Abang, sampai segitunya banget mentingin perasaan orang lain!"
"Okee, Abang akan langsung minta Teh Astha pulang," putus Hamizan tak ingin membuat suasana hati Naqeesya hancur berantakan.
"Mulai hari ini dan seterusnya nggak boleh ada satu pun perempuan lain yang tinggal di rumah Abang, sekalipun hanya sebentar dengan alasan apa pun. Karena Sya akan tinggal sama Abang dan juga Hamsya."
Padalarang, 29 November 2024
Mulai berani nempel-nempel nih sekarang Naqeesya 😅🤣 ... Takut perhatian suami dan anaknya diambil alih sama Harastha kali ya 😆😅
Gaskennn nggak nih???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro