HAMSYA || PART 38
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cara apa pun akan senantiasa ditempuh untuk sebuah kesembuhan."
Naqeesya mengguling-gulingkan tubuh saat rasa kantuk belum kunjung menyapa, padahal waktu sudah menunjukkan tengah malam. Ada sesuatu yang kosong, ada sesuatu yang kurang hingga membuatnya resah tidak nyaman.
Melihat ke arah box bayi dengan tatapan sedih, biasanya di sana berpenghuni tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Dia menunduk kecil, biasanya ada yang terlelap nyaman dalam pangkuan seraya menikmati ASI dengan begitu lahap.
Sungguh, dia tidak pernah mengira akan seresah ini berjauhan dengan bayi perempuan yang kerap kali dikenalkan sebagai putrinya itu. Hamsya, sedang apa anak itu sekarang? Sudahkah jatuh tertidur? Sudahkah tercukupi asupan ASI-nya?
Dia menuruni ranjang, berjalan ke arah box bayi lalu mengambil bantal dan guling yang masih menyisakan wangi khas bayi tersebut, memeluknya cukup erat bahkan sesekali diciumi untuk merasakan kehadiran Hamsya dalam indra pembaunya.
Suara ketukan pintu mengambil alih perhatian Naqeesya, dengan segera dia pun berjalan untuk membuka akses masuk. Di sana Zanitha berdiri seraya memegang gawai.
"Hamsya rewel sedari tadi, dia nggak bisa tidur dan menangis. Sudah coba diberi susu tapi ditolak ter---"
Belum terangkai seutuhnya penuturan sang ibu, dengan segera Naqeesya pun mengambil alih gawai tersebut.
"Kenapa Anda tidak langsung menghubungi saya?!" sembur Naqeesya pada sambungan telepon.
Di seberang sana Hamizan meringis dan menelan ludah cukup kepanyahan. "Nomor Abang, kan Sya blokir. Gimana caranya Abang bisa menghubungi Sya secara langsung?"
Naqeesya terdiam detik itu juga.
"Sebenarnya Abang nggak enak mau ngomong ini, tapi Abang nggak mungkin membiarkan Hamsya terus menangis. Sya mau kalau seandainya Abang minta buat ke sini?"
"Kapan?"
"Kalau bisa sekarang, tapi nggak mung---"
"Saya ke sana sekarang!" pukas Naqeesya lalu mematikan sambungan telepon.
"Sya serius? Ini sudah tengah malam lho, Nak," tanya Zanitha memastikan.
Naqeesya menghela napas singkat. "Percuma saya di sini pun, saya tidak bisa tidur karena kepikiran bayi itu terus-menerus. Kepala saya pusing, Bunda, entah karena efek kurang tidur atau terlalu keras memikirkan Hamsya."
Zanitha tersenyum tipis. "Emang ya ikatan batin itu nggak bisa dibohongi. Yuk, sekarang kita pergi."
Naqeesya mengangguk cepat.
Dirangkulnya lengan sang putri. "Belum ada sehari padahal. Sebenarnya Sya ini kepikiran sama anaknya atau bapaknya, hm?"
Naqeesya seketika menjauhkan diri. "Bunda apaan sih!"
Zanitha mencolek dagu sang putri. "Judes banget sih Istrinya Bang Hamizan satu ini."
Naqeesya mendelik tak suka. "Saya buka istri dari pria asing itu!"
"Ya udah kekasih halal atuh kalau gitu."
Naqeesya membalasnya dengan decakan sebal.
"Langsung anteng dia, tahu banget digendong ibu kandungnya," ujar Zanitha menyaksikan bagaimana tenangnya Hamsya berada dalam gendongan Naqeesya, dengan mulut yang masih setia menyusu.
Hamizan dan Dipta pun mengangguk setuju.
"Padahal susu yang tadi Abang kasih juga ASI lho, Bunda. Tapi mungkin beda ya, sensasi antara minum secara langsung sama di dot," ujar Hamizan.
"Ya jelas beda atuh, Bang. Bayi itu bisa bedain mana nipple mana dot."
Hamizan hanya manggut-manggut saja. "Tapi, kan pas awal-awal juga pake dot, Bun."
"Dulu, kan belum sempat minum ASI secara langsung, sekarang mah udah sangat terbiasa. Malah kalau pake dot agak susah dan lumayan rewel, kan? Mau minum kalau udah ada ditahap kepaksa banget, kepalang haus dan lapar."
Hamizan mengangguk setuju. "Tadi justru nggak mau sama sekali, padahal nangisnya udah lumayan lama."
"Ibunya juga nggak bisa tidur itu, Bang, kepikiran mungkin sama anaknya. Makanya gerecep banget ngajak ke sini," timpal Dipta.
Naqeesya tak ikut larut dalam obrolan, perempuan itu hanya fokus untuk memberi kenyamanan dan rasa kenyang pada Hamsya. Beberapa kali dia membetulkan letak kain penutup yang digunakan untuk melindungi kepala serta payudaranya.
Saat dirasa mulut mungil itu tak lagi menyesap, Naqeesya pun berucap, "Mau ditidurkan di mana?"
Hamizan bangkit berdiri. "Biar Abang aja yang tid---"
"Letak kamarnya di mana?!"
Hamizan pun refleks langsung menunjuk kamar satu-satunya di kontrakan yang dia tinggali, dan tanpa banyak berbasa-basi Naqeesya bergegas untuk menidurkan Hamsya di sana.
"Putri ayah galaknya nggak ada obat," komentar Hamizan.
"Masih mending digalakkin sama dijudesin, Bang, daripada tuh anak kesetanan pas lihat Abang. Udah, Bang terima aja dulu sekarang mah," ungkap Dipta diakhiri kekehan.
Zanitha mengangguk setuju. "Kayaknya cuma Hamsya yang bisa jinakkin Naqeesya, dia langsung mau nyamperin ke sini kalau urusannya berkaitan sama Hamsya. Kelemahan yang bisa Abang manfaatkan itu."
"Iya sih, tapi apa nggak termasuk dalam tindakan memperalat anak untuk kepentingan pribadi ya?"
"Hamsya anak kandung abang, selagi ada celah dan jalan ya manfaatkan. Mungkin dengan adanya Hamsya, kepingan-kepingan ingatan Naqeesya yang berceceran itu bisa kembali tertata dengan baik. Hamsya bisa jadi perantara untuk kembali menata hati kedua orang tuanya yang kini tengah berada di ujung tanduk," ujar Zanitha.
"Nah iya bener apa kata Bunda, ikhtiar mah apa weu yang penting bisa membuahkan hasil. Dilihat dulu gih sana, kok Naqeesya nggak keluar-keluar juga," titah Dipta yang langsung dipatuhi sang menantu.
Hamizan hanya berani berdiri di ambang pintu, posisi rebahan Naqeesya yang menghadap ke arahnya membuat dia yakin jika perempuan itu ikut terlelap bersama sang putri. Dia tersenyum lebar menyaksikan momen langka tersebut, lantas kembali berjalan untuk mendatangi mertuanya.
"Naqeesya ketiduran, Yah, nyenyak banget kayaknya. Apa mau dibangunin aja?"
Sontak Zanitha pun menggeleng keras. "Nggak usah, biarin aja tuh anak nginep di sini. Ayah sama Bunda mau pulang."
Hamizan gelagapan tak setuju. "Kalau nanti pas bangun ngamuk gimana? Iya kalau cuma ngomel-ngomel, kalau kejadiannya kayak waktu itu? Abang nggak bisa menenangkan Naqeesya sebagaimana Ayah. Bukannya tenang, Naqeesya malah makin histeris."
"Benar juga apa yang dikhawatirkan Hamizan, kita jangan ambil risiko terlalu jauh. Ya udah coba dibangunin dulu atuh putrinya," ujar Dipta lebih setuju pada sang menantu.
Dia tahu betul bagaimana histerisnya Naqeesya jika sedang kambuh. Sulit untuk ditenangkan dan memerlukan waktu yang tidak sebentar serta extra sabar.
Zanitha pun memilih untuk menurut.
"Keputusan Abang untuk pindah cukup memberi hasil yang instan, walaupun Abang berhasil buat Naqeesya datangin Abang melalui Hamsya, tapi itu merupakan sebuah kemajuan. Coba dulu pas tinggal bareng, papasan aja nggak noleh tuh anak, serasa lagi sakit leher. Sekarang? Tengah malam mau-mau aja dia ke sini," tutur Dipta mengemukakan pendapat.
"Iya sih, tapi kasihan Naqeesya, Yah."
"Ayah lebih kasihan sama Abang dan juga Hamsya malah. Naqeesya itu secara fisik sehat, yang rusak cuma ya itu ada di otak. Lambat laun juga pasti akan membaik, Abang bertahan dulu aja tinggal di sini. Kita lihat sekuat apa Naqeesya buat jauh dari anaknya."
"Kita jahat nggak sih, Yah kalau kayak gini?"
Dengan tegas Dipta menggeleng. "Cara halus udah nggak mempan, Bang, sekarang yang berhasil ya cara ini. Kita ikhtiar dulu aja, sambil tetap diimbangi sama terapi dan juga obat-obatan."
"Ya udah Abang ikut apa kata Ayah aja."
Dipta menghampiri Hamizan lalu memeluknya begitu erat. "Kita ikhtiar dan berjuang sama-sama, Abang nggak sendirian, ada Ayah sama Bunda. Bismillah, Bang kita kencengin lagi usaha sama doanya."
Hamizan mengangguk patuh.
"Abang amalin Surah Maryam, surah itu diasumsikan sebagai energi untuk melawan kemustahilan. Semoga itu bisa menjadi wasilah untuk kita semua," titahnya.
"Insyaallah, Yah."
Padalarang, 22 November 2024
Angin segar bukan sih ini 🤭 ... Nggak usah nangis-nangisan lagi ah, takut dimintai tanggung jawab karena bikin anak orang sedih dan nangis 😅✌️ ... Ada yang kurang nggak nih?
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro