HAMSYA || PART 37
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Sempat mendikte Tuhan dengan berbagai rencana yang dianggap sempurna, tapi nyatanya hancur berantakan karena tidak sejalan dengan rencana-Nya."
Duduk saling berseberangan, terhalang meja yang memisahkan, berkawan keheningan dengan suasana yang terasa cukup mencekam karena satu sama lain saling mendiamkan.
Sampai akhirnya Hamizan berdehem untuk sekadar membasahi kerongkongan yang terasa kering kerontang. Dia tatap perempuan yang asik menunduk dalam di hadapannya itu.
"Abang pamit ya, Sya ...," katanya berhasil sedikit menarik perhatian Naqeesya hingga perempuan itu mendongak seketika.
Tidak ada respons yang diberikan, hanya sebatas mata yang saling bertemu beberapa detik.
"Sya nggak nyaman, kan kalau deket-deket Abang. Sya juga merasa nggak aman kalau Abang ikut tinggal di sini. Maaf ya beberapa bulan terakhir ini Abang egois, kurang peka dengan ketakutan Sya, kurang peduli dengan hal-hal yang Abang anggap biasa, tapi ternyata cukup berdampak besar bagi Sya. Abang izin pamit," ungkap Hamizan dengan suara sedikit bergetar dan memelan di akhir kalimat.
"Sya nggak perlu terlalu keras untuk mengingat siapa itu Hamizan? Kenapa pria asing ini selalu merecoki kehidupan Sya. Nggak usah pikirin itu, nggak usah juga terlalu diambil pusing. Sya cukup fokus sama pemulihan Sya, kenali lebih dalam siapa itu Naqeesya Dilara Hirawan karena itu yang paling utama untuk sekarang," sambungnya diakhiri senyuman tipis.
Hamizan membuang napas kasar beberapa kali, berusaha untuk mengontrol diri agar tidak terlihat lemah dan menyedihkan di depan perempuan yang begitu dia sayang.
Ditariknya kedua sudut bibir selebar mungkin lantas berujar, "Sya jaga diri baik-baik ya."
Naqeesya terlihat mengangguk kecil, benar-benar tidak sepatah kata pun perempuan itu lontarkan.
Hamizan bangkit dari duduknya, perlahan berjalan mendekat hingga dia benar-benar berdiri tepat di samping Naqeesya yang cukup terlihat resah dengan bola mata yang berkeliaran ke sana-kemari, kedua tangan yang saling bertaut serta keringat dingin yang juga ikut berjatuhan dari kening hingga wajah.
Sedikit memberanikan diri untuk memegang puncak kepala Naqeesya, hal itu membuat sang istri terkejut bukan kepalang. Dia mendongak dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.
"Mungkin sesekali Abang akan mengunjungi Sya, tapi Sya nggak perlu khawatir, Abang hanya sekadar melihat dan ingin memastikan, kalau memang keputusan Abang ini berdampak baik untuk pemulihan Sya. Kalau pun tidak, yang penting Abang sudah mencoba dan Abang harap memang akan ada perkembangan baik," katanya penuh harap seraya mengelus perlahan puncak kepala sang istri.
Netra Hamizan berkaca-kaca, keputusan yang begitu menyulitkan, bahkan dia tidak yakin akan mampu menjalaninya atau tidak. Dengan hanya bermodalkan bismillah dan percaya akan kuasa Allah yang dia yakini, bisa mengubah ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin.
"Rasa sayang dan cinta Abang nggak sedikit pun berkurang, bahkan terasa bertambah setiap harinya. Kita sama-sama berjuang ya, Sya? Baik-baik di sini, nurut dan patuh sama Bunda, Abang rida, Abang ikhlas. Insyaallah, semua kebutuhan Sya akan tetap Abang cukupi. Kalau sekiranya ada yang Sya butuhkan bilang Abang, bisa?"
Naqeesya hanya mengangguk kecil saja.
Hamizan tersenyum, dia memalingkan wajah ke langit-langit ruang tamu, cairan bening yang dia tahan mati-matian itu kenapa tidak bisa diajak bekerja sama, dan malah turun tak terkendali. Dia hapus kasar, mengatur napas untuk mencari apa itu ketenangan.
"Maaf," cicit Naqeesya begitu lirih dan pelan.
Senyum Hamizan terbit seketika. "Maaf untuk apa atuh, Sya? Sya mah nggak punya sedikit pun salah sama Abang. Istri Abang yang paling shalihah ini."
"Abang mau minta sesuatu sama Sya bisa?" sambungnya beberapa saat kemudian.
"Apa?"
"Sya tahu, kan kalau Hamsya masih membutuhkan Sya, sangat amat membutuhkan lebih tepatnya. Meskipun nanti Abang udah nggak tinggal di sini lagi. Masih berkenan, kan untuk memberikan hak putrinya?"
"Hak apa maksud Anda?"
"ASI eksklusif untuk dua tahun ke depan."
Naqeesya mengangguk tanpa sedikit pun ragu. Dia sudah terlanjur sayang pada bayi mungil yang sebentar lagi akan genap berusia setengah tahun itu. Dan lagi, hanya dengan cara itu payudaranya terhindar dari bengkak serta rasa sakit yang cukup mengganggu.
"Boleh Abang peluk Sya?"
Detik itu juga Naqeesya segera menggeser tubuhnya menjauh, hingga mentok di bagian sofa paling ujung. Hamizan tersenyum getir, rasa takut dan waspadanya terlihat begitu mendominasi, tapi dia tidak lagi tersinggung. Mencoba untuk mengerti serta memahami.
Hamizan pun mendudukkan diri dengan masih menjaga jarak. "Bercanda atuh, Sya, Abang mah nggak akan berbuat lebih tanpa izin dan persetujuan."
Naqeesya menoleh cepat, yang langsung disambut dengan senyum mengembang Hamizan yang terlihat dipaksakan.
"Sya ngomong atuh, dari tadi Abang terus yang ngoceh-ngoceh," pintanya diakhiri kekehan ringan.
Perempuan itu justru semakin berkawan geming, dengan pikiran saling bercabang, isi kepala teramat riuh dan ramai, tapi bibir seakan terkunci rapat sulit untuk mengeluarkan sepatah kata pun.
"Fi hifzillah fi amanillah, semoga Sya selalu ada dalam penjagaan dan lindungan Allah, ya," ungkap Hamizan begitu tulus.
"Ini bukan perpisahan yang menunjukkan keretakan, ini justru merupakan perpisahan untuk mengukuhkan hubungan. Sya melepas Abang dengan keasingan dan keterdiaman, tapi semoga nanti jika Abang pulang, bisa disambut dengan penuh kehangatan dan kerinduan."
Hamizan benar-benar melontarkan kalimat-kalimat baik dan positif. Mencoba untuk membangun komunikasi, meski hanya satu arah saja. Dia berusaha membuat momen perpisahan ini menjadi sesuatu yang manis untuk dikenang, yang mungkin bisa menjadi awal dari pulihnya ingatan sang istri.
Selalu, harapan itulah yang senantiasa akan dia panjatkan setiap waktu.
Menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan. Dia bangkit berdiri lantas berucap, "Assalamualaikum, pamit ya Istri."
"Wa-wa'alaikumusalam."
Hanya sekadar dijawab salamnya saja sudah cukup membahagiakan, terlebih Naqeesya menghadiahinya sedikit senyum meksipun sangat amat samar, yang sudah sangat lama tidak dia jumpai itu.
Naqeesya ikut berdiri, dia menatap punggung Hamizan dengan perasaan aneh menggelitik hati. Entah apa, dia tidak cukup mengerti dan memahami.
Hamizan sedikit menoleh, lalu memutar tubuh secepat mungkin. Dia tidak lagi bisa menahan diri, sungguh. Dia bawa tubuh menegang Naqeesya dalam pelukan. Tidak lama, karena dia tahu, tindakan beraninya ini akan berdampak tidak baik untuk sang istri.
Tepat saat rengkuhan itu terlepas, dia bubuhkan kecupan singkat di ubun-ubun Naqeesya. "Semoga Allah segera mengangkat sakitnya, Sya. Memulihkan ingatan Sya agar kita bisa kembali merajut asa dan cinta bersama. Fi hifzillah, fi amanillah."
Setelahnya Hamizan benar-benar melangkah pergi, tak lupa membawa Hamsya yang tengah berada dalam gendongan Zanitha.
Sedari tadi mertuanya itu mengintip dari celah pembatas, dengan linangan air mata.
"Abang pamit ya, Ayah, Bunda."
Dipta merengkuh tubuh menantunya. "Abang jaga diri baik-baik."
Hamizan mengangguk patuh.
Sedangkan Zanitha hanya mampu terisak dengan pandangan yang tak pernah lepas dari sang menantu.
Padalarang, 21 November 2024
Tarik napas, buang 😔🥺 ... Nyesek nggak sih jadi Hamizan? 🤧🙃
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro