Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 36

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Karena tuntutan dan rasa sayang yang berlebihan, membuat seseorang rela melakukan apa pun, termasuk pahitnya sebuah perpisahan."

"Kalau memang sekiranya kehadiran Abang dianggap sebagai 'ancaman'. Apa nggak sebaiknya Abang keluar aja dari rumah ini?"

Sontak Dipta pun menoleh cepat. "Ngawur Abang ini. Abang sama Naqeesya pisah kamar aja udah buat Ayah sama Bunda resah nggak ketulungan, apalagi ini sampai mau pisah rumah. Nggak ada ya!"

"Bisa aja, kan, faktor utama yang menyebabkan ingatan Naqeesya nggak kunjung pulih itu gara-gara Abang yang selalu ada di sekitarnya?"

Zanitha menggeleng tak suka. "Kok asal ngambil kesimpulan gitu aja. Jangan menyalahkan diri sendiri atuh, Bang."

Hamizan tersenyum samar. "Dari cerita Ayah udah kentara banget kalau emang Naqeesya nggak nyaman, nggak merasa aman selama Abang masih berada di sekitarnya. Abang nggak mau buat trauma dan sakitnya semakin parah, kasihan Naqeesya-nya, Bunda."

Helaan napas berat meluncur bebas dari sela bibir Dipta dan Zanitha.

"Abang bisa balik tinggal di kontrakan, ada Hamsya kok yang nemenin Abang," katanya kemudian diakhiri senyum getir.

"Kalau seperti itu, sama aja Abang membiarkan istrinya berjuang sendiri. Ditemani atuh, bukan malah milih pergi," sela sang ibu mertua.

"Kita sama-sama berjuang kok, Bunda, tapi di jalur yang berbeda. Kesehatan Naqeesya yang utama buat Abang sekarang, nggak papa kalau emang harus kayak gini caranya, asalkan ingatan Naqeesya bisa pulih lagi. Abang percaya Ayah sama Bunda akan melakukan yang terbaik untuk kesembuhan Naqeesya, begitupun dengan Abang. Naqeesya lebih membutuhkan dampingan Ayah sama Bunda, ketimbang kehadiran Abang yang jadi sumber traumanya."

"Abang akan tetap tinggal di sini, nggak boleh ke mana-mana apalagi sampai bawa Hamsya. Bunda tuh nggak mau ya, rumah tangga anak sama mantu bunda semakin berada di ujung tanduk. Kita bicarakan pelan-pelan, kasih pemahaman sama Naqeesya, bukan malah mutusin pergi gitu aja," larang Zanitha tegas.

"Abang hanya pisah rumah, bukan pisah dalam arti yang sebenarnya."

"Ini bukan solusi, Bang. Nggak ada jaminan pasti juga kalau selepas kepergian Abang ingatan Naqeesya akan pulih, kan?" sangkal Dipta.

"Kita, kan belum mencobanya, Yah."

"Tapi pisah bukan untuk ajang coba-coba, Hamizan!" tegas Zanitha.

Dihadapkan dengan kondisi yang menyulitkan, tidak ada yang bisa dijadikan solusi yang dianggap paling benar, karena memang sulit untuk menemukan titik terang.

Hamizan pun sangat amat keberatan saat memutuskan untuk memberi ruang pada Naqeesya dalam waktu yang entah sampai kapan. Dia ingin selalu ada di samping sang istri, tapi jika kondisi tidak memungkinkan, mau bagaimana lagi?

Dirinya cukup sadar diri, memang akar dari permasalahan yang saat ini dihadapi ialah karena ulahnya sendiri.

Tatapan mata Naqeesya yang penuh waspada, gerak-geriknya yang selalu menghindar, dan kerap kali menjaga jarak dengan sedemikian rupa, kini membuat Hamizan sadar, bukan lagi sabar.

Memang sudah seharusnya dia mengambil langkah lebih berani untuk kebaikan bersama, terlebih untuk kesehatan sang istri yang menjadi prioritas utamanya.

Bukan tak ingin menemani, bukan juga tak ingin membersamai, tapi memang dirinyalah yang harus pergi.

"Ayah akan coba untuk memberi pemahaman lagi sama Naqeesya ya, Bang. Jangan asal ngambil keputusan, insyaallah ada solusi lain yang lebih baik."

"Sekarang bukan saatnya lagi untuk Naqeesya memahami kita, Yah. Sudah waktunya untuk kita yang memahami Naqeesya. Mau sebanyak apa pun informasi yang kita berikan, kalau otak Naqeesya menolak ya akan percuma. Naqeesya bisa lebih menerima informasi jika itu nggak berkaitan dengan Abang. Dia juga begitu welcome dengan cerita-cerita Bunda terkait masa lalunya. Tapi, dia menolak keras saat yang dibahas ihwal pernikahan Abang sama dia yang menurutnya mungkin nggak menarik. Nggak layak untuk dibahas lebih lanjut, karena sejatinya pernikahan kami memang nggak ada dalam wish list Naqeesya. Sekarang Abang itu bukan siapa-siapa di mata Naqeesya," ujar Hamizan berusaha untuk setegar dan setenang mungkin.

Dia berusaha untuk tetap mempertahankan intonasi agar tidak bergetar ataupun memelan di akhir kalimat, karena hatinya yang cukup tersakiti atas ucapannya sendiri.

Zanitha merangkul pundak sang menantu pelan. "Bunda nggak suka ya Abang punya pemikiran kayak gitu. Udah jelas-jelas Abang ini suaminya Naqeesya, malah sekarang udah sah di mata agama dan juga negara. Nggak boleh merasa rendah diri gitu atuh. Masa mau nyerah di tengah jalan."

Hamizan memilih untuk diam, dia merasakan elusan lembut yang diberikan Zanitha di punggungnya.

Dipta yang biasanya dominan dalam bersuara, memutuskan segala sesuatu dengan mudah, sekarang hanya mampu berkawan geming saking bingung dan dilemanya.

Raut ketakutan sang putri yang kian tercetak jelas, raung kesakitan Naqeesya yang masih terngiang-ngiang, bahkan dia pun masih sangat mengingat betul kata demi kata yang dilontarkan Naqeesya kala itu.

Selepas kejadian tersebut Naqeesya mengurung diri di kamar, tidak sedikit pun menurunkan langkah dari ranjang, bahkan Hamsya diambil alih oleh Zanitha.

Pintunya selalu dikunci dengan rapat, bahkan dia sampai terjaga di tengah malam karena khawatir Hamizan kembali menyusup secara diam-diam ke dalam kamar.

Separah itu ketakutan yang dialami oleh putrinya.

"Bang, jujur Ayah nggak bisa memutuskan apa pun untuk saat ini. Apa yang sekiranya baik di mata Abang, jika memang sudah dipikirkan secara matang, Ayah hanya bisa mendukung dan mendoakan. Ayah tahu, ini memang nggak mudah untuk kita semua," ungkap Dipta akhirnya angkat suara.

"Mas menyetujui keputusan Mantunya?" sambar Zanitha.

Dipta menatap ke arah Hamizan cukup lama, sampai akhirnya beralih pada sang istri. "Mas bingung, Zani, nggak ada yang bisa kita anggap sebagai sebenar-benarnya solusi."

"Keputusan Abang belum final, kan? Masih dalam tahap pertimbangan?" tuntut Zanitha.

Hamizan menggeleng pelan. "Abang sudah memikirkannya dengan matang, dan ini merupakan keputusan final. Maaf ya, Bunda bukan inginnya Abang seperti ini, tapi kalau nggak kayak gini justru Abang akan semakin membuat trauma dan amnesia Naqeesya semakin parah. Abang nggak mau jadi sumber derita untuk seseorang yang Abang cintai dan sayangi. Naqeesya berhak untuk pulih dan sembuh."

"Terus gimana Hamsya? Abang nggak bisa hanya fokus ke Naqeesya. Abang seakan nggak memedulikan diri abang dan anak abang sendiri. Bunda sayang banget sama kalian bertiga, Bunda maunya kalian rukun dan selalu sama-sama. Nggak kayak gini!"

"Naqeesya itu putri semata wayangnya bunda, sedangkan Abang hanya sebatas mantu yang nggak ada pertalian darah. Abang yakin Bunda sangat ingin ingatan putrinya pulih, maka dari itu Abang memilih mundur untuk kebaikan kita bersama. Sudah cukup egoisnya, Abang nggak mau semakin memperparah keadaan lagi. Bunda nggak usah khawatir, cucu bunda insyaallah akan baik-baik aja. Abang bisa menjaga dan merawatnya."

Hamizan menarik lepas kedua sudut bibirnya, dia menghela napas singkat lantas berucap, "Abang titip Naqeesya ya, Ayah, Bunda, maaf Abang belum bisa jadi suami yang baik dan layak untuk putrinya. Maaf juga Abang nggak bisa jadi sebaik-baiknya menantu, banyak kurang dan lalainya. Abang izin keluar dari rumah ini, dengan harapan nggak akan lama dan bisa kembali lagi dengan status yang masih sama."

Padalarang, 20 November 2024

Menurut kalian keputusan yang diambil Hamizan benar atau nggak? Apa ada solusi lain yang lebih masuk akal? 🤔🤫

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro