HAMSYA || PART 34
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Ada banyak sekali hal yang jadi pertimbangan, terlebih di tengah kondisi yang terdesak keadaan."
Seperti malam-malam biasanya, Hamizan berjalan mengendap-endap masuk ke kamar Naqeesya. Dia merangkak naik ke atas ranjang secara perlahan. Melihat wajah terlelap sang istri sudah cukup membuatnya senang.
Dipta benar-benar merealisasikan janjinya, dia membuatkan pintu penghubung antara kamar yang ditempati oleh Hamizan dan Naqeesya. Sebuah pintu kamuflase yang tersembunyi di balik lemari, yang kuncinya hanya dipegang oleh Hamizan.
Pria itu datang hanya untuk sekadar memastikan jika sang istri terlelap dengan tenang, sekadar ingin melihat wajah teduh dan manisnya seorang Naqeesya di malam hari. Sebab, jika pagi tiba, mode galak dan judes jauh lebih dominan bahkan untuk sekadar senyum pun seperti enggan.
"Sya kapan inget sama Abang lagi? Nggak kangen gitu sama Abang? Abang aja udah kangen berat sama kemanjaan dan kecerewetan Sya," lirihnya seraya membelai pelan wajah Naqeesya.
"Abang mah sabar mau disuruh nunggu berapa lama juga, tapi kasihan Hamsya kalau dia nggak diinget sama ibu kandungnya sendiri. Sya emang merawat Hamsya dengan baik, tapi bukan memposisikan diri Sya sebagai ibunya. Sya memposisikan diri layaknya orang lain yang diamanahi untuk merawat seorang bayi. Bahkan Abang belum pernah denger Sya mengatasnamakan diri Sya dengan sebutan, ibu, mamah, bunda atau panggilan-panggilan lainnya," celoteh Hamizan dengan suara sepelan mungkin.
Hamizan mengecup kening Naqeesya cukup lama, hanya di waktu-waktu seperti ini dia bisa melakukannya. Menumpahkan rasa rindu yang tak mampu lagi dibendung. "Abang sayang banget sama Sya, sehat-sehat terus ya? Judesin Abangnya jangan lama-lama, mode galaknya juga dikurangin atuh ya? Biasanya hampir tiap hari Sya gelendotan, sekarang mah boro-boro, buat ngobrol aja susah rasanya padahal satu rumah. Setiap detik ketemu, waktu Abang 24 jam penuh buat Sya, tapi masih aja asing."
Napas Naqeesya begitu tenang dan teratur, perempuan itu sama sekali tak terusik dengan kehadiran Hamizan. Bahkan, jika Hamsya menangis pun terkadang dia tidak sadar, justru Hamizanlah yang begitu sigap untuk menenangkan sang putri, karena dia takut tangis putri kecilnya akan membangunkan tidur Naqeesya.
Susu formula menjadi penyelamat Hamizan di kala Hamsya kehausan di tengah malam. Bahkan, dia yang begitu cekatan untuk mengganti popok sang putri. Memastikan Naqeesya tetap mendapat haknya untuk beristirahat tanpa harus repot-repot begadang.
Pria itu sudah sepenuhnya siap untuk menyandang gelar sebagai suami sekaligus ayah. Mekipun pernikahan mereka terjadi bukan atas dasar keinginan, tapi dia berusaha untuk memenuhi kewajibannya dengan sebaik mungkin.
Ujian yang saat ini dihadapi mungkin salah satu cara Allah untuk mengukur kesiapan dan kesigapannya dalam memerankan dua peran sekaligus. Berusaha untuk menjadikan diri selayak mungkin, agar di saat Allah pulihkan ingatan sang istri, dia menjadi sosok yang jauh lebih baik lagi.
Terlalu asik dengan kegiatannya yang memainkan surai Naqeesya, sampai tidak sadar ada sepasang mata yang kini menatapnya dengan sorot penuh waspada.
Hamizan meneguk ludah susah payah, bahkan dia pun segera bangkit dari posisi tidurnya. Belum sempat berkata apa-apa, dia sudah dihadiahi tatapan tajam membunuh.
"SEJAK KAPAN ANDA BERADA DI DALAM KAMAR SAYA?!"
Hamizan dibuat gelapan. Momen seperti ini pasti akan terjadi, tapi dia tidak berekspektasi akan semengerikan ini respons sang istri.
"JAWAB!"
Hamizan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dengan sedikit terbata-bata dia pun berucap, "Ba-ba-ru kok, Sya. Abang nggak ngapa-ngapain. Cuma pengen lihat Sya tidur aja, nggak lebih."
"Bohong! Jelas-jelas saya lihat dengan mata kepala saya sendiri Anda bertindak tidak sopan dengan memainkan rambut saya, bahkan saya merasakan ada sesuatu yang basah mengenai kening saya. Anda melecehkan saya, hah?!"
Dia menggeleng beberapa kali. "Mana mungkin Abang melecehkan istri abang sendiri. Nggak mungkin atuh, Sya. Jangan salah paham dulu."
Napas Naqeesya memburu cepat, dadanya naik turun tak terkendali. "KELUAR DARI KAMAR SAYA SEKARANG!"
Detik itu juga Hamizan turun dari ranjang dan berdiri penuh rasa sesal pada Naqeesya yang begitu enggan untuk melihat ke arahnya.
"Maaf atas kelancangan Abang, Sya. Ini emang murni salah Abang, maaf ...," cicitnya.
"KELUAR!" pekik Naqeesya lantang.
Dengan langkah cepat Hamizan berjalan menuju pintu kamar, membuka kunci yang tergantung apik di sana dan segera keluar.
Tak lama dari itu dia mendengar suara pintu yang kembali dikunci dari dalam. Sedikit bisa bernapas lega, walau keringat dingin masih membanjiri kening. Sungguh, kejadian barusan sangat amat menguji adrenalin.
Dia meraup kasar wajah dan menjambak serta rambutnya. Mau ditaruh di mana mukanya jika besok kembali bertemu dengan Naqeesya? Dia yakin betul, istrinya itu pasti akan semakin memperlebar jarak.
"Kenapa? Frustrasi banget kayaknya, Bang?" tegur Dipta saat mendapati menantunya yang tengah berdiri resah di depan pintu kamar.
Dia baru saja mengambil air minum di dapur. Gelas tinggi berisi air putih pun masih berada dalam genggaman.
"Astaghfirullah, Ayah ngagetin ih!"
Dipta terkikik geli. "Abang kenapa, hm?"
"Abang keciduk Naqeesya, ketahuan lancang masuk ke kamarnya. Abang diusir, Yah," adunya.
Dipta menghela napas singkat. "Minum dulu coba supaya agak tenangan. Ini gelasnya baru kok, bukan bekas Ayah."
Hamizan menurut lalu menandaskan air putih tersebut. "Nanti Abang ambilin yang baru buat Ayah," katanya kemudian.
Dipta hanya mengangguk saja. "Kenapa bisa ketahuan? Perasaan udah cukup handal, baru kali ini lho kecolongan."
"Biasanya cuma numpang rebahan doang, paling kebablasan tidur kalau lagi ngantuk berat. Tapi tadi Abang berbuat di luar dari kebiasaan, bibir Abang main nyosor-nyosor aja ke keningnya Naqeesya. Yang punya kening bangun dan marah-marah nggak terima dong, Yah," aku Hamizan jujur.
Mertuanya itu malah tertawa, bukannya merasa iba. "Yakin cuma kebablasan nyium kening aja, Bang?"
"Ya iya atuh, Ayah. Mana berani Abang berbuat lebih, nggak mau ambil risiko yang jauh lebih besar lagi."
Dipta menepuk pundak sang menantu. "Maafin putri ayah ya, Bang. Ayah jadi merasa bersalah karena Naqeesya lalai akan perannya sebagai seorang istri. Padahal udah jalan empat bulan lho ini, tapi ingatan Naqeesya belum juga pulih."
Hamizan menggeleng tak suka. "Bukan salah Ayah, kenapa juga harus minta maaf."
"Harus pakai cara apalagi supaya ingatan Naqeesya pulih? Segala macam terapi udah kita coba, bahkan berbagai vitamin dan suplemen pun selalu rutin Naqeesya minum. Ayah kasihan sama Abang, nggak enak juga," tutur sang mertua.
"Mungkin belum waktunya aja, Yah, insyallah nanti juga Naqeesya pasti sembuh," sahut Hamizan berusaha untuk membangun afirmasi positif.
"Duduk dulu yuk, Bang, Ayah mau ngobrol cukup serius sama Abang," ajak Dipta meminta menantunya untuk mengikuti langkah dia menuju sofa yang berada di sudut ruangan.
"Ada apa, Yah?" tanya Hamizan saat keduanya sudah duduk saling berhadapan.
"Kita nggak bisa menutup mata untuk kemungkinan terburuk, karena dokter pun nggak bisa menjanjikan waktu pasti kapan ingatan Naqeesya akan pulih. Pertanyaan Ayah akan tetap sama, apa masih ada keridaan dan keikhlasan di hati Abang untuk menemani putri ayah? Kita sama-sama lelaki, dan Ayah tahu betul ada kebutuhan yang seharusnya diberikan Naqeesya, tapi dia justru melalaikan itu."
"Bang ..., kalau sebagai suami Abangnya rida, itu nggak akan berbuah dosa bagi Naqeesya, lain hal kalau sebaliknya. Ayah ngomong kayak gini karena Ayah takut dan khawatir dengan hisabnya Naqeesya di akhirat nanti. Meskipun kita sama-sama tahu, kalau ada yang mendasari ketidakmampuan Naqeesya untuk memenuhi kewajibannya ialah karena sakit, ta---"
"Pernikahan bukan hanya tentang urusan nafkah batin aja, kan, Yah? Masih ada solusi untuk mengatasi itu, bisa dengan puasa sunnah. Insyaallah Abang rida dan ikhlas, nggak ada sedikit pun niat untuk memberatkan hisab Naqeesya. Nggak akan berdosa selagi Abang sebagai suaminya rida. Ayah nggak usah khawatir, ya?" potong Hamizan cepat.
Dipta sedikit tersenyum. "Nanti Ayah coba ngomong sama Naqeesya ya, Bang, setidaknya kalian nggak tidur pisah kamar terus-terusan. Nggak sehat buat rumah tangga kalian, apalagi kalian masih muda dan terbilang pengantin baru. Ayah akan diskusikan lagi secara pelan-pelan."
"Nggak usah, Ayah, kasihan Naqeesya-nya. Abang nggak mau menambah beban kerja otak Naqeesya, nggak mau menyudutkan dia dalam ketidaknyamanan. Kan dokter bilang, kalau Naqeesya harus rileks dan enjoy, nggak boleh terlalu memaksa untuk mengingat sesuatu. Dengan dia mau merawat Hamsya aja udah lebih dari cukup. Abang nggak mau maruk dengan menuntut lebih dari kapasitasnya."
Padalarang, 19 November 2024
Dua-duanya sama-sama sakit, dua-duanya sama-sama lagi berjuang. 🤧🥺 ... Sabarnya dikencangin lagi ya, Bang 🙃😔
Kalau rame, aku double up 🤫
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro