HAMSYA || PART 32
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dikaruniai mertua yang penuh akan cinta kasih adalah bagian dari rezeki yang tidak semua orang bisa miliki."
Naqeesya menatap lekat bayi mungil yang tengah terlelap, menilik dengan seksama seraya sesekali melihat diri sendiri dari balik cermin.
Dia memegang pelan wajah Hamsya, lalu beralih untuk menelusuri permukaan wajahnya sendiri. Sedikit mengangkat sudut bibir kala menyadari bayi yang baru berusia dua bulan tersebut tersenyum dalam tidurnya.
Fokus perempuan itu seketika teralihkan saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka, di sana Zanitha berdiri dengan senyum sumringah.
Ditariknya lembut pergelangan tangan sang putri seraya berkata, "Ada Buna sama Papa mau ketemu Sya, hayuk udah ditungguin di ruang keluarga."
Naqeesya hanya mengangguk kecil saja.
Menyadari pergerakan mata sang putri yang tertuju pada ranjang Hamsya, dengan cepat Zanitha pun berucap, "Hamsya-nya mau Sya bawa juga?"
Naqeesya menggeleng pelan. "Nggak, Bunda kasihan baru aja tidur. Tapi nggak papa, kan kalau ditinggal sendiri di kamar?"
"Insyaallah nggak papa, pintu kamarnya dibuka aja, Sya."
Naqeesya menurut tanpa kata.
"Sya sayang banget ya sama putrinya, sampai nggak tega gitu buat ninggalin, padahal cuma sekadar ke ruang keluarga," ujar Zanitha saat keduanya baru sampai di ambang pintu, dan Naqeesya justru kembali terdiam dengan pandangan fokus pada Hamsya.
"Saya memang sedikit sanksi dengan pria asing yang mengaku-ngaku sebagai suami saya itu, tapi tidak dengan bayi mungil ini. Rasanya beda, Bunda, ada sesuatu yang nggak bisa saya jelaskan, hati kecil saya seakan terpaut dengannya."
"Di saat melihat dia menangis, ada rasa tidak tega dan kasihan. Ingin segera menggendong dan menenangkannya, terlebih di kala dia meminum ASI langsung pada saya, ada rasa aneh memang tapi entah kenapa akhir-akhir ini saya merasa senang dan tenang," terangnya begitu blak-blakan.
Zanitha tersenyum lembut. "Itu yang dinamakan dengan ikatan batin, Sya, sekalipun Sya lagi hilang ingatan, tapi hati Sya nggak bisa menyangkal kalau memang kalian ini sepasang ibu dan anak."
Dirangkulnya pundak sang putri lalu berujar, "Obat sama vitaminnya diminum secara rutin, terapi-terapi yang dianjurkan dokter juga harus Sya jalankan supaya Sya-nya segera pulih ya, Nak?"
Naqeesya tentu saja mengangguk cepat. "Iya, Bunda kalau itu pasti."
Zanitha memeluk Naqeesya dari samping lantas mencium sekilas pipi putrinya. "Bunda selalu berdoa agar Allah segera memulihkan ingatan Sya, supaya Ayah sama Bunda lega. Sya harus sehat-sehat terus ya, Sayang."
"Aamiin."
"Kasihan juga suaminya, dikacangin terus sama istri sendiri padahal bukti buku nikah udah ada depan mata," ceplos Zanitha kemudian.
Naqeesya meringis kecil, minggu lalu Hamizan memang menyerahkan buku nikah beserta dokumen-dokumen penunjang lainnya, tapi hati perempuan itu masih meragu dan mempertanyakan.
Benarkah pria asing itu berstatus sebagai suaminya?
"Kalau semua itu palsu gimana?"
Rasa hati ingin menjitak kepala sang putri, tapi diurungkan karena belum tega untuk melakukannya. "Mana ada kayak gitu, pemalsuan identitas bisa dipidanakan. Lagian yang urus semuanya juga Ayah. Sya nggak percaya sama ayah kandungnya sendiri, hm?"
Naqeesya malah mengedikkan bahunya acuh tak acuh.
"Kalau di sinetron-sinetron orang yang lupa ingatan itu kepalanya dijedotin ke benda-benda keras dan tumpul supaya inget lagi. Masa iya Bunda harus ngikutin cara bodoh kayak gitu sih, Sya?!"
Sontak Naqeesya pun segera menjauhkan diri dan memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Ibu serius ingin melakukan tindak kekerasan semacam itu pada saya?"
Zanitha menghela napas panjang. "Ya nggak mungkin atuh, masa Bunda tega nyakitin anak semata wayang bunda sendiri. Ngaco kamu, udah sini deket-deket Bunda lagi. Panik banget perasaan, pake acara manggil ibu-ibu segala lagi. Asing banget tahu, Sya."
"Maaf," cicitnya seraya menggigit bibir bagian dalam.
Terdengar derap langkah seseorang lalu disusul dengan rentetan kalimat sebagai pembuka. "Pantes lama, malah keasikan ngobrol depan pintu," ujar Hamizan geleng-geleng kepala.
Zanitha terkekeh kecil. "Istrinya Abang nih nggak tega buat ninggalin Hamsya, eh malah kebablasan ngobrol. Maafin atuh, ya?"
"Ya udah atuh Hamsya biar Abang aja yang jagain, Bunda sama Sya temuin Buna sama Papa aja. Lagian mereka ke sini juga cuma mau ketemu mantunya, bukan anaknya."
Zanitha dibuat tertawa detik itu juga. "Uluh-uluhh, cemburu nih Abang ceritanya, hm?"
"Nggak."
Dengan usil Zanitha menyenggol tubuh sang putri. "Masih nggak percaya kalau pria asing ini suaminya? Hebat banget putri bunda bisa jinakkin kulkas dua pintu, mana sekarang sering banget merajuk. Dulu buat ngomong aja pilih-pilih kosakata tahu, Sya."
"Masa iya?"
Zanitha mengangguk semangat. "Bang Hamizan itu kaku nauzubillah. Perkara tidur satu ranjang sama Sya aja sampai tremor dan keringat dingin. Belum lagi pas Sya ketahuan positif hamil, Bang Hamizan dengan sukarela jadi bulan-bulanan Sya, dicakarin, dipukulin, bahkan dibentak-bentak juga dia diam aja. Karena apa coba?"
"Apa?"
"Ya karena Bang Hamizan udah sayang kebangetan sama istrinya. Bucin parah, sampai sekarang bisa selegowo ini menghadapi Sya yang tiba-tiba cosplay jadi kulkas dua pintu. Kebalik sekarang, yang banyak ngomong dan bertingkah Abangnya, bukan Sya lagi."
Naqeesya pun melirik ke arah Hamizan yang justru memalingkan wajah karena malu sekaligus salah tingkah.
"Tuh, kan apa Bunda bilang. Cowok kalau nggak berani natap ceweknya berarti emang udah kecintaan banget. Masih sanksi juga, hm?"
Perempuan itu terdiam cukup lama.
"Udah Sya jangan terlalu diambil hati omongan Bunda, jangan paksa untuk mengingat juga. Abang khawatir Sya kenapa-kenapa," tutur Hamizan.
"Maaf."
Hamizan menggeleng tegas. "Kenapa juga harus minta maaf. Sya nggak salah apa-apa, mungkin emang belum saatnya aja untuk Sya inget sama Abang. Nggak papa, Abang masih sabar, kita ikhtiar bareng-bareng buat pulihin ingetan, Sya, ya?"
"Baru satu bulan, kata dokter juga perjalanan masih cukup panjang. Abang mah setia kok, mau dijudesin kayak apa juga, tetap ikhlas dan rida asal Sya nggak usir Abang dari rumah ini aja."
Zanitha merangkul anak serta menantunya penuh kehangatan. "Nggak akan ada yang berani ngusir Abang, sekalipun atas titah Naqeesya, Bunda yang akan jadi garda terdepan pokoknya. Lagian mana mungkin sih Sya tega usir suaminya sendiri. Iya, kan, Nak?"
Naqeesya tak menjawab, dia memilih untuk sedikit tersenyum samar.
"Kita harus senantiasa bersyukur atas apa pun, yang saat ini terjadi memang atas dasar inginnya Allah. Tugas kita ya cukup menjalani, Abang jangan putus harap buat terus berdoa begitupun dengan Sya, ikhtiar untuk sembuhnya semakin dikencangin lagi. Kita sama-sama berjuang, kita sama-sama berkorban," ungkap Zanitha begitu tulus.
Hamizan mengangguk setuju. "Insyaallah, Bunda pasti itu."
Zanitha berbisik tepat di samping telinga sang menantu, "Allahumma Yassir Wala Tu'assir, 'Ya Allah, mudahkanlah dan jangan Engkau persulit'. Kita jadikan doa itu sebagai senjata, nggak usah sedih kita juga punya Kun Fayakun yang bisa mengubah ketidakmungkinan menjadi sesuatu yang mungkin."
Hamizan manggut-manggut paham.
"Istri Abang hanya hilang ingatan, bukan hilang kesadaran. Selagi masih bernapas, apa pun bisa kita usahakan," tambahnya berhasil membuat mata Hamizan membulat seketika.
Jangan sampai istrinya hilang kesadaran untuk yang kedua kalinya, karena dia tak ingin hal-hal buruk menimpa sang istri. Baterai gawai jika habis masih bisa diisi ulang, lain hal dengan baterai manusia yang jika habis tak lagi bisa diapa-apakan.
Padalarang, 16 November 2024
Kalau ditanya kenapa yang ditonjolkan selalu menyilang, semisal hubungan Naqeesya sama Hamna dan Hamzah, atau hubungan Hamizan sama Zanitha dan Dipta. Karena aku ingin menepis asumsi tentang ngerinya seorang mertua. Insyaallah masih banyak kok mertua yang menganggap menantunya seperti anak sendiri. ☺️😊
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro