Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 29

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Antara ingin menikah dan siap menikah adalah dua perkara yang berlainan, tapi kerap kali disamaratakan."

"Tingkat kesabaran Abang nggak seluas Ayah, pun dengan nada bicara Abang yang kadang masih meninggi tak terkendali. Maaf, lagi-lagi Abang buat putri semata wayang ayah sakit," ujar Hamizan syarat akan rasa sesal.

Kini mereka tengah berada di kediaman Dipta dan Zanitha, dan kedua lelaki beda generasi itu sedang menikmati semilir angin malam di teras rumah.

"Ayah cukup bisa mengerti kondisi Abang pada saat itu. Emosi Abang belum reda karena mendengar pengakuan Naqeesya yang secara nggak sengaja menindih tubuh Hamsya. Abang marah bukan karena tindakan Naqeesya, tapi karena perkataan Naqeesya yang memberi label Hamsya dengan sebutan 'Putri Anda'. Asing banget ya, Bang rasanya?" ungkap Dipta seraya melirik ke arah Hamizan yang tengah memainkan rumput sintesis.

"Bukan sama Abang aja kok, bahkan Naqeesya lebih sering menyebut Ayah dan Bunda dengan sebutan ibu dan juga bapak. Berasa jadi guru dadakan kita," katanya terkekeh kecil. Berusaha untuk menutupi luka hati, walau nyatanya tidak semudah itu.

Dirangkulnya pundak sang menantu. "Ayah nggak akan bosen buat ngingetin Abang untuk sabar, karena hanya itu yang bisa kita jadikan pegangan."

"Dari awal tujuan pernikahan kita juga udah salah, Yah. Hanya dengan bermodalkan supaya bisa move on kita mempertahankan pernikahan," ungkapnya lesu.

Dipta terkekeh kecil. "Naqeesya berhasil buat Abang lupa dari bayang-bayang Harastha, tapi dalam waktu yang singkat juga Naqeesya malah lupain Abang. Justru yang sekarang lupa dalam arti yang sebenarnya, amnesia."

"Nggak ada pernikahan yang mudah tanpa masalah, semua rumah tangga pun bertempur dengan badainya masing-masing. Tugas kita ya berusaha untuk mempertahankan, agar jodohnya panjang, nggak hanya di dunia tapi juga hingga surga," imbuhnya diakhiri senyuman tipis.

Hamizan pun mengangguk setuju. "Rusaknya pernikahan bukan karena kurangnya cinta, tapi kurangnya ilmu agama dan hanya fokus untuk menuntut hak, tapi mengabaikan apa yang namanya kewajiban. Itulah pentingnya menikah bukan hanya karena sebatas ingin, tapi harus benar-benar siap dengan segala aspek penunjangnya."

"Siapnya juga bukan hanya tentang usia, tapi pola pikir dan cara pandang kita terhadap esensi dari pernikahan itu sendiri. Zaman sekarang ada beberapa muda-mudi yang bersembunyi di balik kata 'nikah muda untuk menghindari zina', padahal ada solusi yang paling mudah. Puasa," sahut Dipta.

"Yang muda berlomba-lomba ke KUA, yang usianya sudah matang dan cukup untuk menikah terkesan ogah-ogahan dan malah fokus kerja. Kebalik nggak sih, Yah?" timpal Hamizan.

"Abang sama Naqeesya juga terbilang masuk ke kategori nikah muda. Sya waktu Abang nikahi baru 21 tahun, Abangnya juga, kan masih 24 tahun. Tapi Ayah garis bawahi ya, pernikahan kalian berlangsung karena terdesak keadaan."

Hamizan tersenyum getir. "Belum genap satu tahun badainya udah sekencang ini, apa kabar di tahun-tahun berikutnya ya, Yah?"

"Ngapain mikirin badainya, fokus aja ke kapal kita agar tetap bisa berlayar. Abang, kan nahkodanya, yang bertanggung jawab penuh untuk membawa Naqeesya ke dermaga impian bernama surga," kata sang mertua mengingatkan.

Hamizan menatap wajah teduh Dipta. "Dengan kondisi yang sekarang apa ada penyesalan karena Ayah sudah menikahkan putrinya sama Abang?"

"Menyesali takdir yang sudah jelas-jelas Allah gariskan? Emangnya Ayah ini siapa atuh, Bang? Punya kuasa apa Ayah sampai begitu lancangnya punya pemikiran seperti itu. Nggak ada atuh."

Perbincangan keduanya terjeda karena kedatangan Zanitha yang menyajikan dua cangkir teh manis hangat lengkap dengan singkong goreng.

"Ngobrolnya harus sambil nyemil biar makin nikmat." Begitulah kira-kira yang diucapkan oleh Zanitha.

"Tahu aja kalau Mas butuh asupan nutrisi, Zani," sahut Dipta seraya mengambil teh manis hangatnya.

Zanitha tertawa pelan. "Ritual rutin tiap malam Mas itu harus ada teh manis hangat, kan."

Dipta mengacungkan jempolnya pada sang istri.

"Sok atuh, Bang dicicipi bukan malah bengong. Kenapa?" titah sang ibu mertua.

"Ehhh, iya, Bunda. Naqeesya udah tidur?"

Zanitha mengangguk. "Udah, pules banget kelihatannya."

"Rumah ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan, mau dalam kondisi amnesia pun rumah ini jadi tempat untuk Naqeesya pulang. Maafin Abang ya, Ayah, Bunda, malah egois dan maksa Sya buat tinggal di kost'an."

"Apaan sih, Bang pake acara minta maaf segala. Untuk sementara waktu mah kalian tinggal di sini aja dulu atuh, supaya Bunda juga bisa ikut ngerawat Hamsya. Kasihan Abangnya kalau tinggal di kontrakan, udah mah repot ngurus bayi, ditambah pasien satu lagi yang penanganannya butuh extra sabar," saran Zanitha.

"Nggak enak atuh, ngerepotin Ayah sama Bunda terus."

"Repot itu kalau Abang masih harus dimandiin dan wajib dikelonin pas mau tidur. Orang udah mandiri gini juga, nggak repot sama sekali," sangkal Dipta.

"Beneran nggak papa kalau Abang ikut tinggal di sini lagi?"

"Sok aja, di rumah ini juga isinya cuma ada Bunda sama Ayah aja. Malah bagus, jadi rame lagi ih rumah kita. Iya, kan, Mas?"

Dipta yang tengah mengunyah singkong goreng pun mengangguk setuju.

"Kalau Naqeesya-nya ngerasa nggak nyaman dengan kehadiran Abang gimana? Label pria asing cukup terngiang-ngiang di kepala, Abang," keluhnya.

Zanitha dan Dipta saling melempar pandangan.

"Tenang aja, Bang, label ibu sama bapak juga masih cukup melekat untuk kami," imbuh Dipta kemudian.

Ketiganya tertawa, tapi jauh di dalam lubuk hati sana menangis teriris karena rasa perih. Mencoba untuk berdamai dengan kenyataan, saling menata hati satu sama lain agar lebih ikhlas dalam menerima takdir.

"Untuk sementara waktu Abang tidur di kamar kosong samping kamarnya Naqeesya dulu ya? Nggak papa, kan pisah ranjang sebentar. Harus rida, harus ikhlas, jangan beratkan hisab putri Ayah di akhirat," tutur Dipta.

"Ya pasti atuh, Yah. Abang mah rida, ikhlas, asalkan bisa lihat Naqeesya setiap hari," sahut Hamizan tak merasa keberatan sedikitpun.

"Nanti Ayah buatin pintu rahasia supaya bisa masuk diam-diam ke kamar Naqeesya. Main cantik kita, Abang datangnya pas Naqeesya udah tidur pulas, bangun lebih awal juga supaya pas anak itu sadar masih tetap dalam kondisi tidur sendirian," ujar Dipta memberi angin segar.

"Mas ini ada-ada aja akalnya," cetus Zanitha geleng-geleng kepala.

"Mas tahu gimana merananya tidur pisah sama istri, makanya Mas coba kasih solusi, Zani. Pokoknya buat Mantu, akan diusahakan semaksimal mungkin."

Zanitha menyenggol lengan menantunya. "Kalau mertuanya modelan Ayah, Abang nggak usah cemas dan was-was. Semua aman terkendali pokoknya."

Hamizan tertawa dibuatnya. "Alhamdulillah ini yang dinamakan dengan rezeki yang nggak semua orang miliki teh ya, Bun."

"Makanya jangan putus asa lagi, jangan mikirin sesuatu yang belum terjadi. Jalani aja dulu yang sekarang ada di depan mata. Kita berjuang sama-sama untuk kesembuhan Naqeesya," ungkap Dipta menyuntikkan semangat penuh.

Hamizan pun mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Kita urus berkas-berkas untuk isbat nikah ke KUA ya, Bang, supaya kalian punya buku nikah. Terlebih sekarang sudah ada Hamsya, kasihan Cucu Ayah belum dilegalkan negara karena belum punya akta kelahiran. Sekalian kita bikin kartu keluarga dan juga ubah status di KTP untuk meyakinkan Naqeesya kalau memang kalian sudah sah menikah. Sekarang ini logika Naqeesya yang berperan lebih besar, jadi sebisa mungkin kita memberikan dia bukti-bukti yang valid," saran sang Dipta.

"Emang bisa, Yah kayak gitu?"

Dipta mengangguk tegas. "Bisa, biar itu jadi urusan Ayah. Abang tinggal terima beres, karena bisa juga diurus oleh wali nikah. Wali nikah kalian, kan Ayah. Sekarang fokus Abang ke Hamsya sama Naqeesya aja, insyaallah terkait dokumen-dokumen kenegaraan bisa selesai dalam waktu dua mingguan."

Hamizan merasa sangat berterima kasih dan juga bersyukur, karena mertuanya mau repot-repot membantu, bahkan berperan lebih besar untuk keutuhan rumah tangganya.

Padalarang, 13 November 2024

Ngebayangin punya keluarga sehangat ini, yang selalu support dan kasih afirmasi positif. Masyaallah, banget ya. Bismillah yuk bisa yuk! 🥺🤲

Panjang nih, 1.200 kata lebih, atau masih kurang juga? 😅🤭

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro