Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 28

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mengendalikan diri untuk tetap merendahkan intonasi di tengah emosi, cukuplah sulit."

"Saya tidak ingin tidur satu ranjang dengan Anda!" pekik Naqeesya saat Hamizan hendak menaiki tempat tidur.

Hamizan mengangguk patuh. Dia tak ingin banyak menyela ataupun protes. Bisa kembali melihat Naqeesya sadar selepas satu bulan koma pun sudah syukur alhamdulilah.

"Tapi, Sya nggak keberatan, kan tidur satu ranjang sama Hamsya?"

"Nggak."

Hamizan menarik napas lega. "Ya udah kalau gitu Abang tidur di ruang tengah, kalau Sya perlu apa-apa panggil Abang ya? Kalau Sya nggak bisa gantiin popoknya Hamsya juga tinggal bangunin Abang. Pokoknya kalau perlu sesuatu langsung hubungi Abang."

Deheman singkat Naqeesya berikan.

Hamizan pun mengayunkan langkah untuk keluar kamar, karena memang rumah yang disewanya hanya memiliki satu kamar tidur saja. Tidur dengan beralaskan karpet pun tak masalah, asalkan anak dan istrinya bisa tidur dengan nyenyak.

Saat hendak merebahkan tubuh, suara tangisan Hamsya menguar. Dengan langkah lebar dia pun bergegas ke kamar, dan dia mengembuskan napas kasar kala menyadari jika pintunya dikunci dari dalam.

"Sya buka pintunya. Kenapa harus dikunci segala sih?" teriaknya sedikit panik karena tangisan sang putri kian kencang, tapi Naqeesya belum kunjung menunjukkan tanda-tanda akan membukakan akses masuk.

"Sya buka pintunya!" pintanya sedikit berteriak.

Hamizan mengembuskan napas lega saat pintu sudah terbuka, menampilkan Naqeesya yang tengah menunduk seraya menggigit kukunya sendiri.

Pria itu menaiki ranjang, dan langsung membawa Hamsya dalam gendongan. Dia menimang-nimangnya, berharap sang putri bisa segera menghentikan tangis. Namun, tangis bayi yang baru berumur satu bulan itu tak kunjung reda, dia pun mengambil jarik, menyampirkan kain itu di bahu, dan mengikatnya cukup kuat.

Naqeesya hanya diam, sesekali memerhatikan kesigapan Hamizan yang terlihat cukup panik tapi begitu cekatan, bahkan pria itu lumayan luwes kala membuatkan susu formula, padahal tangannya yang lain sibuk untuk menggendong.

Memastikan susunya tidak terlalu panas dengan meneteskan di ibu jari, setelah dirasa pas baru dia mendekatkannya ke mulut sang putri. Dengan rakus bayi mungil yang lahir prematur itu menyesapnya dengan rusuh.

Hamizan tersenyum samar, dia lega bukan kepalang. Ternyata putrinya memang lapar, pantas sampai menangis dengan begitu kencang.

"Maaf," cicit Naqeesya yang sedari tadi hanya diam di ambang pintu kamar.

"Kenapa Sya minta maaf, hm?" tanya Hamizan lembut.

"Ba-ba-yi itu menangis karena saya."

"Maksud Sya?"

"Saya tidak sengaja mengganggu tidurnya, lengan saya menindih tubuh mungilnya. Maafkan saya, maaf, saya sama sekali tidak bermaksud untuk melukai putri Anda."

Hamizan tersenyum getir kala Naqeesya menyebut sang buah hati dengan sebutan 'Putri Anda', padahal jelas-jelas Hamsya merupakan putri kandungnya juga. Bahkan, kini bibir tipis merah muda yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan 'Abang' pun berubah seketika menjadi 'Anda'.

Benar-benar asing, padahal mereka tinggal dalam lindungan atap yang sama.

"Abang ngerti kok kalau Sya belum terbiasa tidur sama bayi. Nggak papa, tapi lain kali lebih hati-hati ya? Kasihan putri kita kalau sampai ketindihan lagi."

Naqeesya mengangguk kecil. "Bisakah Anda mengabulkan satu permintaan saya?"

Hamizan mengukir senyum lebar. "Sya mau minta apa? Dengan senang hati Abang akan kabulkan."

"Saya ingin tinggal bersama dengan Ayah dan Bunda."

Detik itu juga senyum Hamizan luntur seketika. "Sya nggak mau tinggal sama Abang dan juga Hamsya? Sya nggak nyaman ya tinggal di rumah yang cuma sepetak ini?"

Naqeesya tak mampu untuk menjawab.

"Abang emang bukan suami yang baik, bahkan untuk memberikan tempat tinggal yang layak aja belum mampu. Abang sadar diri kok, Sya---"

"Bu-bu-kan begitu maksud saya. Ini bukan perihal tempat tinggal melainkan kenyamanan. Rasanya cukup aneh jika saya harus tinggal satu atap bersama laki-laki, say---"

"Abang ini suaminya Sya," lirih Hamizan memotong.

Naqeesya menggigit bibir bagian dalamnya.

"Perlu waktu berapa lama untuk Sya tinggal di rumah Ayah sama Bunda?" todong Hamizan setelah beberapa saat terdiam.

Lagi-lagi Naqeesya tak menyahut.

"Abang tanya sama, Sya. Perlu berapa lama untuk Sya tinggal di rumah Ayah sama Bunda?" ulangnya cukup tegas.

Dengan suara bergetar Naqeesya menjawab, "Setidaknya sampai ingatan saya pulih, atau paling tidak sampai saya yakin jika memang Anda ini merupakan suami saya."

Hamizan tersenyum getir. "Abang nggak akan pernah bosan buat yakinin Sya kalau Abang ini emang suami sahnya Sya. Tapi bisa nggak jangan minta tinggal di rumah Ayah? Mau bagaimanapun Sya ini tanggung jawab Abang, Abang ingin merawat Sya, Abang ingin kita tinggal bersama."

"Tapi saya nggak bisa!"

"Bisa, Sya perlu apa? Mau apa? Abang akan mengusahakan kehidupan yang layak untuk Sya."

"Rumah ini asing bagi saya, begitu pun dengan penghuninya. Bagaimana mungkin ingatan saya bisa pulih dengan cepat di tengah ketidaknyamanan?!"

"Kenapa Sya bisa menerima fakta tentang Ayah sama Bunda, tapi nggak sama Abang dan juga Hamsya? Apa karena kami tidak bisa memberikan dokumen kenegaraan sebagaimana yang dilakukan Ayah sama Bunda?!" Napas Hamizan naik turun tak terkendali.

"Mungkin kalau dulu Abang nggak nurutin maunya Sya dan nurut sama apa kata Papa dan Ayah untuk segera melegalkan pernikahan ke KUA, kondisinya pasti nggak akan serumit sekarang. Abang bisa menunjukkan bukti tertulis itu di depan mata kepala Sya."

Setetes air mata meluncur bebas, tapi dengan cepat dia hapus. "Rupanya Abang terlalu percaya diri, Abang kira sudah ada cinta di antara kita, ternyata hanya Abang aja. Buktinya sekarang Sya begitu mudah melupakan Abang?!"

"Sya yang berulang kali meyakinkan Abang untuk lepas dari bayang-bayang masa lalu, tapi di saat Abang mampu melakukannya malah Sya yang melupakan Abang. Seolah apa yang sudah kita lalui nggak ber---"

Perkataan Hamizan mengudara saat melihat Naqeesya yang merintih kesakitan seraya memegang kepalanya. Detik itu juga dia tersadar, jika perkataan dan nada bicaranya sudah terlalu tinggi tak terkendali. Dia kalah dengan ego dan emosi.

Tubuh Naqeesya merosot, dia memekik cukup nyaring saat rasa sakitnya kian menghujam.

Hamizan berusaha untuk mendekat, dia ingin menenangkan Naqeesya. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak kala Naqeesya memberi isyarat untuk membuat jarak.

Hamizan meraup kasar wajahnya, lalu mencoba untuk menghubungi sang mertua. Berharap Dipta akan segera mengangkat teleponnya.

"Maaf, Sya ..., maaf ..., maafin Abang," katanya melirih berusaha untuk menggapai tubuh Naqeesya.

Padalarang, 11 November 2024

Hamizan itu sabar, tapi nggak sesabar Hamzah dan juga Dipta. Kalau ditanya kenapa, ya karena faktor usia yang masih muda. Masih cukup sulit untuk mengendalikan diri, wajar baru 24 tahun. Ego dan jiwa mudanya masih cukup kuat.

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro