HAMSYA || PART 27
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Meyakinkan seseorang hanya dengan bermodalkan ucapan memang tidaklah gampang."
Saat kakinya menapaki rumah yang diakui merupakan tempat tinggal mereka setelah menikah, mata Naqeesya memonitor ke segala penjuru.
Mencari setitik bukti yang sekiranya bisa menguatkan kepercayaan, tapi ternyata tidak ada sama sekali. Walau hanya untuk sebatas bingkai foto, dia tidak berhasil menjumpai.
"Sya duduk dulu, Abang ambilin minum ya. Haus pasti kan," cetus Hamizan begitu sigap.
Naqeesya menggeleng keras. "Saya ingin menagih janji Anda saat di rumah sakit. Apa buktinya jika kita sudah menikah?"
"Iya, sabar dulu atuh. Buktinya sebentar lagi juga Abang tunjukkin sama Sya. Sekarang Sya duduk dulu, mau nonton kartun kesukaan Sya nggak? Kalau iya Abang nyalain televisinya."
Lagi-lagi Naqeesya pun menggeleng.
Hamizan menghela napas berat, lalu bergegas untuk mengambilkan Naqeesya minum. "Sok atuh diminum dulu, atau Sya lapar? Mau makan? Abang masakin dulu kalau emang mau mah."
"Tidak, terima kasih."
Hamizan berusaha untuk melebarkan senyumnya, dia duduk berjarak di samping Naqeesya. "Sya nyari apa, hm? Di rumah ini nggak ada apa-apa. Kita, kan baru tinggal di sini karena alasan mau mandiri dan lepas dari fasilitas orang tua."
"Apa nggak ada satu pun foto pernikahan yang dipajang di sini? Saya semakin sanksi jika apa yang Anda tuturkan merupakan kebohongan!"
"Kita belum sempat menggelar resepsi, baru akad itu pun tanpa ada dokumentasi karena situasi dan kondisi."
"Buku nikah?"
Hamizan menggeleng lemah. "Pernikahan kita hanya sah di mata agama, belum sah di mata negara."
Naqeesya membulatkan matanya tak percaya, detik itu juga dia bangkit berdiri. "Lantas bukti apa yang telah Anda janjikan saat di rumah sakit? Bagaimana mungkin Anda meng-klaim saya sebagai istri, padahal Anda tidak memiliki buku nikah untuk dijadikan sebagai bukti!"
Hamizan pun ikut berdiri dan refleks memegang kedua pundak Naqeesya. Perempuan itu beringsut mundur, raut keengganan dan ketakutan terpancar nyata.
Menyadari kelancangannya, Hamizan pun segera menjauhkan diri. "Sya dengerin dulu penjelasan Abang, Sya yang tenang. Abang nggak akan nyakitin Sya."
Mata yang dulu selalu berbinar cerah, kini berubah menjadi tajam dan menyiratkan sebuah ketakutan. Jujur, dia merasa putus asa kala tatapan tulusnya tak berbalas.
"Jangan mendekat!" seru Naqeesya telak.
Hamizan pun menahan gerak tungkai, dia memaksakan diri untuk tersenyum dengan helaan napas panjang. "Sya---"
Suara salam menguar, berhasil memotong perkataan Hamizan. Di ambang pintu terlihat ada Zanitha, Dipta, Hamzah, dan juga Hamna yang tengah menggendong Hamsya. Hanya Hamizan yang menjemput Naqeesya di rumah sakit, karena memang itu merupakan keinginannya.
"Assalamualaikum."
"Wa-wa'alaikumusalam," jawab Hamizan.
Dia lebih dulu menyambut kedatangan orang tua dan mertuanya. Lain hal dengan Naqeesya yang semakin memojokkan diri, menjauh dari orang-orang.
"Sya kenapa, Sayang?" seloroh Zanitha lembut, dia hendak memeluk sang putri tapi tak jadi karena khawatir akan membuat anak semata wayangnya semakin ketakutan.
Di luar dugaan, Naqeesya justru berhambur ke dalam pelukan Zanitha. Napasnya yang tersengal-sengal, dengan dada yang naik turun sudah cukup menggambarkan bahwa kondisinya jauh dari kata baik-baik saja.
Zanitha mengelus sayang puncak kepala Naqeesya. "Kenapa, hm? Ini Bunda, Sayang ..., Bundanya Sya."
Naqeesya mendongak, matanya menatap dengan tatapan penuh tanya. Seakan ingin menuntut penjelasan lebih, ingin meyakinkan diri, jika perempuan yang kini tengah merengkuhnya memanglah sang ibu kandung.
Zanitha menangkup wajah sang putri, dia kecup keningnya singkat. Dia rogoh saku gamis dan mengambil gawai, lalu memperlihatkan benda canggih tersebut pada Naqeesya. "Coba Sya lihat, di sini banyak banget foto-foto kita berdua. Foto bertiga sama Ayah juga nggak kalah banyak. Bunda juga bawa album foto Sya dari masih bayi sampai remaja. Sya mau lihat, Nak?"
Naqeesya mengangguk kecil.
Zanitha menyambutnya dengan senyum lebar, dia tuntun putrinya agar duduk bersama dengan yang lain. Mengambil album foto yang tadi dijanjikan, dan menunjukkannya pada Naqeesya.
Gerak tangan Zanitha terhenti pada sebuah bingkai, dia menunjuknya dengan jari jempol. "Yang di samping kanan ini Bang Hamizan pas masih kecil, sekarang udah jadi suaminya Sya. Nah kalau yang samping kiri itu Kang Hazman, adik iparnya Sya yang juga merupakan saudara kandung dari Bang Hamizan. Foto ini diambil pas kalian lagi main ayunan di Rumah Sang Pemimpi, yang ngambil fotonya Papa, mertuanya Sya sekarang mah."
Pandangan Naqeesya jatuh pada Hamzah yang kebetulan tengah melihat ke arahnya. "Ini Papa, Sya ..., Papa Hamzah."
Hamna yang duduk di sisi Hamzah pun ikut bersuara. "Ini Buna, Sayang ..., Buna Hamna."
Zanitha menarik tangan Naqeesya dan juga tangan Dipta hingga ketiganya saling menggenggam. "Ini Ayah sama Bunda, orang tua kandungnya Sya," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kalimat-kalimat perkenalan semacam itu selalu menjadi pembuka obrolan, memastikan agar Naqeesya bisa mengingat siapa saja orang-orang yang berada di sekelilingnya. Setidaknya bisa mengetahui nama masing-masing, agar tatapan asing yang ada di mata Naqeesya lambat laun bisa tersamarkan.
"Ayah bawain berkas-berkas penting buat, Sya, supaya Sya yakin kalau memang kita ini keluarga. Ayah bawain kartu keluarga, akta kelahiran Sya, kartu tanda pengenal, bahkan tumpukan sampah bekas skripsi Sya juga Ayah bawain," ungkap Dipta berusaha untuk setegar mungkin.
Naqeesya mengambil berkas-berkas tersebut dengan ragu, dan dia membacanya dengan penuh kehati-hatian. Memastikan jika memang dua orang yang sekarang berada di sisi kanan dan kirinya merupakan orang tua kandung asli.
Naqeesya melihat ke arah Zanitha dan juga Dipta secara bergantian lalu berbisik, "Ayah? Bunda?"
Keduanya mengangguk cepat, walau sang putri belum berhasil mengingat mereka. Setidaknya mereka bisa kembali mendengar kata sapaan itu meluncur bebas dari sela bibir sang putri.
"Saya takut di sini, saya tidak nyaman tinggal bersama pria asing yang lancang mengakui saya sebagai istrinya," cicit Naqeesya mengadu.
Pandangan Zanitha jatuh pada Hamizan yang terlihat murung. "Bang Hamizan memang suaminya, Sya, bukan orang asing seperti yang Sya bilang, Nak."
"Kalau memang ada pernikahan, seharusnya ada buku nikah. Tapi pria asing itu tidak bisa menunjukkannya, bahkan hanya untuk sekadar foto nikah pun dia tidak memilikinya!"
Dipta menarik napas dalam-dalam lantas berujar, "Pernikahan kalian memang belum tercatat di negara, oleh sebab itu belum punya buku nikah. Hanya sah di mata agama, Sayang."
"Kenapa bisa?!"
"Karena situasi dan kondisi yang nggak memungkinkan, Sya. Pernikahan di antara Sya sama Bang Hamizan mendadak tanpa adanya persiapan. Jangankan kepikiran untuk mengabadikan momen ijab kabul, kami bisa membawa pulang kalian ke rumah dengan selamat pun sudah sangat alhamdulilah," terang Zanitha hati-hati.
"Sya ..., Abang emang nggak bisa menunjukkan bukti-bukti kuat sebagaimana yang dilakukan Ayah sama Bunda. Baik dari segi dokumen kenegaraan ataupun dokumentasi momen kebersamaan. Tapi, Sya, Abang bisa tunjukkan bukti nyata kalau kita memang sudah menikah," katanya diakhiri embusan napas kasar.
Hamizan mengambil alih Hamsya yang tengah berada dalam gendongan Hamna, lantas kembali berucap, "Ini adalah putri kandung kita. Buah hati yang Sya kandung, yang Sya lahirkan di tengah ketidaksadaran. Namanya Niskala Hamsya Alshameyzea. Sebagaimana permintaan Sya waktu itu, Abang membubuhkan kata 'hamsya' untuk putri kecil kita."
"Sya boleh merasa ragu, bahkan sanksi atas pernikahan kita. Tapi, Sya nggak bisa menyangkal kalau bayi mungil yang berada dalam gendongan Abang ini merupakan darah daging kita berdua, bahkan wajahnya serupa dengan Sya, sangat amat mirip," jelas Hamizan dengan suara bergetar.
Padalarang, 10 November 2024
Double up done nih, nggak mau tahu harus spam vote sama komen 😅😂✌️
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro