HAMSYA || PART 25
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Cinta datang karena terbiasa itu nyata adanya, bukan hanya sebatas hisapan jempol belaka."
"Izin gantiin popoknya ya, Shalihah," tutur Hamna sebelum membuka bedong serta popok yang dikenakan oleh cucunya.
"Kenapa harus izin dulu, Buna?" tanya Hamizan yang dengan seksama melihat bagaimana cara sang ibu dalam mengurus buah hatinya.
Hamna menoleh singkat lantas berujar, "Emang harus atuh, Bang, supaya kelak kalau dewasa dia tahu jika tubuhnya ini hanya berhak untuk dia lihat seorang diri, bahkan sekelas ibu dan ayahnya saja harus meminta izin terlebih dahulu. Terlebih anak abang ini perempuan, di mana seluruh anggota tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala merupakan aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Agar nantinya dia paham, bahwa tidak sembarang orang dapat melihat tubuhnya."
Hamizan manggut-manggut paham. "Jadi kalau mau apa-apa itu harus izin dulu ya, Buna? Termasuk kalau dimandiin?"
"Iya betul banget, Bang. Hal-hal kecil seperti ini kadang luput dari perhatian orang tua, padahal ini adalah hal paling mendasar agar anak-anak kita bisa menghargai tubuhnya dari sedini mungkin. Sebagaimana kita sebagai orang tua yang juga menghargai apa yang ada pada tubuh anak kita."
Hamizan pun mengangguk paham.
"Kalau ada yang Abang nggak tahu, ada yang kurang paham, bilang Buna ya. Insyaallah Buna akan bantu untuk merawat Hamsya. Coba kalau Abangnya mau tinggal sementara di rumah, dengan senang hati Buna akan mengurus semua kebutuhan Hamsya," ujar Hamna kemudian.
"Buna udah nggak muda lagi, udah saatnya untuk menikmati masa-masa tua. Abang nggak mau merepotkan Buna dengan hadirnya Hamsya di rumah, biarkan Abang berperan selayaknya seorang ayah."
"Tapi Buna takut Abang repot, belum lagi harus bolak-balik ke rumah sakit," sangkal sang ibu.
"Buna kasih Abang kepercayaan penuh sebagaimana Bunda dan Ayah ya? Insyaallah, Abang bisa kok."
Akhirnya Hamna pun mengangguk kecil. "Semoga Naqeesya segera sadar dari koma. Buna udah kangen banget sama kecerewetan dan sikap manjanya. Berasa hampa hidup Buna, kosong dan sedih setiap kali melihat matanya masih menutup dengan rapat."
"Aamiin, Buna," singkatnya.
Setelah menyelesaikan kegiatannya mengganti popok, Hamna dengan cekatan memindahkan tubuh sang cucu agar tidur di tempat yang lebih nyaman.
"Cantik, sama persis seperti ibunya," gumam Hamna diakhiri sunggingan tipis.
Hamizan pun mengarahkan pandangan pada putri kecilnya yang begitu lelap tertidur, dia mengangguk setuju dengan apa yang baru saja dituturkan sang ibu.
Pahatan wajahnya memang sangat serupa dengan Naqeesya, benar-benar sudah seperti Naqeesya dalam bentuk sachet.
"Yang ngidam dan mabok parah Abang, pas lahir ibunya banget," ujar Hamizan terkekeh kecil.
"Abang masih kebagian kok. Itu alis sama bulu matanya Abang banget malah," timpal Hamna.
"Kebagian dikit doang, Buna."
Hamna terkekeh kecil seraya menepuk pundak sang putra. "Kalau kata orang zaman dulu anak yang mirip sama ibunya itu pertanda kalau si suami kecintaan banget sama istrinya. Pantes sih, orang Buna menyaksikan sendiri gimana parahnya mabok Abang pas Naqeesya hamil muda. Ngidamnya apalagi, aneh-aneh."
Hamizan terdiam, menelaah lebih dalam apa yang baru saja diungkapkan oleh sang ibu.
"Kenapa malah bengong? Ada yang salah sama omongan Buna, Bang?"
Hamizan menggeleng kecil. "Wajar nggak sih Buna kalau sampai detik ini Abang masih mempertanyakan, sudahkan Abang mencintai Naqeesya sebagaimana yang Bunda bilang?"
Kening Hamna mengernyit. "Abang masih mempertanyakannya?"-dia menunjuk ke arah sang cucu sekilas lalu kembali menatap putranya-"Belum cukup ini bukti nyatanya? Hamsya itu buah cinta kalian berdua."
Lagi-lagi Hamizan terdiam dan merenung.
Hamna dengan lembut merangkul sang putra. "Apa sih yang buat Abang merasa denial sampai sekarang?"
"Nggak ada perasaan berdebar yang Abang rasa kalau deket Naqeesya, sebagaimana yang dulu pernah Abang rasakan ke Teh Astha. Sama Naqeesya biasa aja, Buna. Abang men-treatment dia dengan baik dan lembut ya karena sebagai bentuk tanggung jawab Abang sebagai suami."
"Emang kalau jatuh cinta tandanya cuma berdebar aja?" sahut Hamna malah bertanya.
"Mungkin, karena itu yang dulu pernah Abang rasakan."
"Bang, terkadang dada kita berdegup kencang saat dekat dengan seseorang itu bukan berarti kita mencintainya, menyukainya, bisa saja itu hanya sebatas kagum dan gugup. Yang biasanya hanya melihat dari jauh, tiba-tiba bisa dekat dan akrab, itu perasaan yang lumrah terjadi. Kalau Abang mempertanyakan kenapa bisa Abang nggak berdebar-debar saat bersama Naqeesya. Kemungkinan besar Abang sudah terlanjur nyaman dan teramat terbiasa dengan kehadiran Naqeesya."
"Kenyamanan itu standarnya udah melebihi dari rasa suka dan cinta. Bahkan yang Buna lihat, ada pacaran kasih sayang yang begitu tulus dari mata Abang untuk Naqeesya. Cinta nggak bisa menghadirkan rasa nyaman, tapi rasa nyaman bisa menghadirkan cinta. Sebagaimana yang Abang alami sekarang, Buna tanya deh, apa yang Abang rasain saat melihat Naqeesya nggak sadarkan diri?"
Dengan tanpa berpikir panjang dia pun menjawab, "Abang ingin menggantikan posisi Naqeesya yang lagi terbaring koma."
Hamna mengukir senyum tipis. "Itulah cinta yang tadi Abang pertanyakan. Masih mau menyangkal? Masih mau bersembunyi di balik kata denial?"
"Nggak perlu deg-degan dulu untuk jatuh cinta, karena terkadang kitanya aja yang kurang peka. Saking udah terbiasanya bersama, rasa berdebar itu kadang ketutup sama perasaan nyaman."
Hamizan kembali berkawan geming, lalu refleks tersenyum. Bayangan Naqeesya seolah mampir begitu saja.
Dengan usil Hamna menyenggol tubuh sang putra. "Reaksinya telat, delay banget sih, Bang. Nanti kalau istrinya udah siuman diungkapkan kata-kata cintanya, bukan hanya sebatas perlakuan aja. Perempuan itu kadang haus akan validasi, mau se-effort apa pun tindakan Abang kalau belum ada kata cinta yang terlontar berasa ada yang kurang."
"Malu atuh Buna, udah kayak anak muda yang baru pacaran aja bilang cinta-cintaan. Bukan Abang banget."
Hamna tertawa kecil. "Gengsian banget sih, Bang, padahal sama istri sendiri."
"Buna juga sama gengsian parah."
"Jangan ditiru atuh, Buna mah wajar perempuan. Kalau laki-laki jangan gitu, harus kayak Papa yang full effort, baik dari ucapan maupun tindakan."
Hamizan geleng-geleng kepala. "Iya deh iya yang udah kebucinan banget sama Papa."
"Bucin sama suami sendiri itu nggak papa banget, malah bagus," kekehnya.
Hamizan melirik ke arah arloji yang sudah menunjukkan sore hari. "Ngomong-ngomong kapan Papa jemput Buna? Abang nggak bisa nganterin Buna sekarang mah."
"Paling juga masih di jalan, Bang. Kenapa emang? Abang mau ngusir Buna, hm?"
Sontak Hamizan pun menggeleng cepat. "Mana berani Abang mengusir Nona Mudanya Papa, ngeri bakal dijadikan samsak kali. Abang cuma mau mastiin aja, kalau Papa beneran mau jemput Buna atau nggak."
"Pasti dijemput, Papa nggak pernah ingkar janji. Selalu siap sedia jadi sopir pribadi Buna."
Hamizan memeluk Hamna dari samping, dia mendongak lantas berucap, "Makasih ya Buna udah repot-repot datang ke sini, mau-maunya lagi dengerin curhatan Abang."
Hamna tersenyum begitu lebar, dia tangkup wajah sang putra lalu mendaratkan beberapa kecupan di sana. "Titip Mantu Buna yang cerewet dan manja itu ya, Bang? Kalau nanti istrinya udah sembuh jangan lalai lagi, harus dijaga ektra. Apalagi sekarang udah ada Hamsya, tanggung jawab Abang semakin berat tapi insyallah Putra Buna ini hebat dan mampu memerankan perannya dengan baik sesuai syariat."
"Aamiin insyallah Buna," sahut Hamizan semakin mengeratkan pelukannya.
Padalarang, 06 November 2024
Setidaknya kalau sekarang bukan berada di tengah-tengah keluarga cemara, mari ciptakan keluarga cemara itu di masa mendatang 😊🤗 ... Mau sama ibu kandung, ataupun ibu mertua kehangatannya masih sama 🤭
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro