HAMSYA || PART 24
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Manusia jika sudah menjadikan Allah yang utama, masalah seolah hanya sebatas singgah yang cepat atau lambat akan berlalu seiring dengan berjalannya waktu."
Hanya diperkenankan untuk melihat sang putri dari kejauhan, bahkan sekadar menggendong serta mengadzani tepat di samping telinganya pun tak mampu dia lakukan.
Hamizan sebatas bisa menyaksikan tubuh mungil yang dipenuhi oleh alat-alat medis yang tertempel apik hampir di sekujur tubuh itu dengan kepiluan.
Bayi perempuan dengan berat 1.8 kg serta panjang 38 cm itu harus mendapat penanganan intensif di ruang perina. Hamizan sama sekali tak bisa menahan air mata, terlebih jika mengingat akan kondisi Naqeesya yang dinyatakan koma.
"Abang kalau anaknya Sya lahir, mau laki-laki ataupun perempuan harus ada kata Hamsya-nya ya?"
"Anak Abang juga itu ih, bukan cuma anaknya Sya."
Naqeesya mendengus kasar. "Malah protes, boleh nggak kalau namanya Hamsya?"
"Kenapa harus Hamsya?"
"Namanya bagus tahu, Abang, Hamsya singkatan dari Hamizan sama Naqeesya."
Hamizan terkekeh kecil. "Harus banget disingkat-singkat ya buat nama anaknya, hm?"
"Ya harus atuh, supaya berciri khas. Lain daripada yang lain," katanya begitu bersemangat.
"Abang mah ngikut aja apa maunya Sya."
Hamizan tersenyum getir kala bayangan itu sekelebat datang. Dadanya terasa sesak bukan main, masih terekam jelas bagaimana raut sumringah Naqeesya kala itu.
"Sya ..., putri kita sudah lahir, cantik seperti ibunya. Abang bingung antara harus sedih atau senang, karena Sya nggak ada di samping Abang untuk melihat putri kecil kita," gumam Hamizan sendu.
"Mau Abang kasih nama Hamsya sesuai keinginan Sya. Tapi bisa nggak sekarang Sya bangun buat nurutin maunya Abang?" celotehnya.
Helaan napas sedari tadi tak henti meluncur bebas. "Perasaan Sya deh yang minta kejutan pasca lahiran ke Abang, tapi kenapa sekarang malah Sya yang kasih kejutan buat Abang?"
Hamizan terdiam dan termenung dengan pandangan lurus menatap sang putri. Tubuh sekecil itu dipaksa untuk berjuang, jika memang bisa, dengan ikhlas dan tak keberatan dia akan menggantikan posisi anak serta istrinya.
Kakinya enggan untuk beranjak, tapi dia tidak bisa terus memaku diri karena tenaga medis sudah memintanya untuk keluar. Alhasil dengan berat hati dia pun memutar tubuh dengan tidak rela.
"Hanya satu orang yang boleh menunggu Naqeesya, itu pun nggak bisa menunggu tepat di samping bangsalnya. Hanya sebatas menunggu di ruang tunggu khusus untuk keluarga. Lebih baik sekarang Abang pulang dulu, istirahat sama makan ya? Naqeesya biar dijaga Bunda," ungkap Zanitha saat sang menantu baru saja tiba di depan ruang ICU, tempat Naqeesya dirawat.
Hamizan menggeleng lemah. "Abang mau di sini sama Naqeesya. Nggak papa kalau Bunda, Ayah, Buna, sama Papa mau pulang mah."
"Makan dulu atuh ya, nanti Papa sekalian bawain baju ganti buat Abang," bujuk Hamzah.
"Iya, nanti kalau lapar Abang pasti makan."
"Dari kemarin jawabnya gitu terus, tapi sampai sekarang nggak makan-makan. Jangan abai atuh sama kesehatan sendiri, kalau Abang ikutan sakit gimana? Siapa yang mau jaga dan rawat istri sama anaknya?" cecar Hamna.
"Dengerin atuh Bunanya. Makan dulu, nggak papa sedikit yang penting ada yang masuk," imbuh Dipta.
Hamizan pun akhirnya mengangguk patuh.
"Kita cari makan dulu kalau gitu, di kantin rumah sakit aja," ujar Zanitha, karena memang mereka pun sama-sama belum sempat untuk mengisi perut.
Tidak sedikit pun berselera, karena rasa cemas dan khawatir yang saling tumpang tindih memenuhi isi kepala.
Hanya sebatas diam dan termenung, tidak bisa leluasa untuk melihat langsung. Hamizan berulang kali membuang napas berat, bahkan kepalanya tertunduk dalam.
Sudah dua minggu menunggu, tapi Naqeesya seolah tak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda akan pulih dari koma. Hanya sesekali menggerakkan jari-jemari kala tengah disuntik, selebihnya tidak ada.
Hamizan menjambak kasar rambutnya, terlihat jelas dia sudah cukup putus asa dan frustrasi. Rasa takut dan cemas menjadi perpaduan paling apik yang menyesakkan dada.
"Mau sampai kapan Sya nggak bangun-bangun? Sya nggak mau gitu ketemu Abang? Ketemu putri kecil kita?" celotehnya dengan pandangan kosong ke arah langit-langit rumah sakit.
Dia diperkenankan untuk menuggu di bangsal Naqeesya hanya di jam-jam tertentu saja, itu pun tidak lama. Selebihnya waktu pria itu habis di ruang tunggu dengan keheningan dan kehampaan yang begitu nyata.
Hari demi hari terasa bergerak lambat tak seperti biasanya. Kadang bergantian dengan orang tua dan juga mertua di kala ada pekerjaan yang cukup mendesak. Sisanya dia yang setia menunggu Naqeesya.
Terkait kondisi sang putri yang masih berada di ruang perina, dia bisa sedikit bernapas lega karena putrinya tidak mengalami kesulitan bernapas, bahkan bobot tubuhnya pun meningkat hingga kemungkinan besar akan bisa segera dibawa pulang.
Lamunan Hamizan buyar saat melihat kedatangan Zanitha. Ibu mertuanya itu hadir dengan senyum mengembang, seakan tidak pernah terjadi hal buruk. Pancaran aura positif begitu terpampang nyata.
"Sekarang giliran Bunda yang jaga Naqeesya, Abang mau pulang sekarang atau mau lihat putrinya dulu? Ayah, Papa, sama Buna lagi di ruang perina."
Hamizan bangkit dari duduknya lalu menyalami Zanitha. "Makasih ya Bunda, karena masih mau direpotin sama Abang. Maaf Abang cuma bisa nyusahin Bun---"
Zanitha menggeleng cepat. "Tuh, kan kumat lagi ih. Udah Abang teh jangan banyak pikiran, jangan apa-apa teh dibawa beban. Serahin semua sama Allah Yang Maha Menyembuhkan."
Dipegangnya kedua pundak sang menantu. "Bunda ada kabar baik, alhamdulilah putrinya Abang sama Sya udah bisa dibawa pulang."
"Bunda serius?"
Zanitha mengangguk semangat dengan disertai senyum sumringah. "Serius atuh, pulangnya ke rumah Buna sama Papa dulu ya? Supaya ada yang merawat dan menjaga putri kalian. Kalau di kontrakan, kasihan Abangnya nanti kerepotan sendiri, mana belum berpengalaman juga, kan."
Hamizan malah berkawan geming.
"Atau mau tinggal di rumah Bunda sama Ayah aja? Yang nunggu Naqeesya biar Buna atau Papa dulu. Abang masih enggan untuk tinggal satu atap sama Tetehnya, ya?"
Sontak Hamizan pun mendongak, dan menggeleng cepat. "Boleh nggak kalau Abang bawa pulang Hamsya ke kontrakan aja? Insyaallah Abang bisa, udah cukup ngerepotin Bunda, Ayah, Buna sama Papanya. Nggak mau ditambah lagi."
"Hamsya?" Kening Zanitha mengernyit.
Hamizan tersenyum tipis. "Nama cucunya Bunda, Niskala Hamsya Alshameyzea."
"Masyaallah, cantik namanya, Bang."
Lagi-lagi Hamizan menarik lepas kedua sudut bibirnya. "Artinya juga bagus Bunda. Putri dari Hamizan dan Naqeesya yang bersinar dan kuat. Abang harap doa yang terselip dalam nama itu bisa menjadi nyata. Di mana kelak putri kami bisa menjadi perempuan yang mampu menyinari kegelapan, menjadi pelipur lara di tengah kepiluan, dan juga memiliki perangai yang kuat, tidak mudah goyah serta berprinsip hebat."
"Aamiin, insyallah ya, Bang," sahut Zanitha penuh harap.
Zanitha merangkul bahu Hamizan. "Kalau memang pilihan Abang untuk membawa Hamsya ke kontrakan adalah sebaik-baiknya keputusan, Bunda nggak merasa keberatan. Dijaga dan dirawat baik-baik putrinya ya? Insyaallah Bunda percaya kalau Abang mampu menjadi figur ayah terbaik."
Hamizan pun mendongak. "Makasih ya Bunda atas support dan kepercayaannya. Abang beruntung karena dikaruniai mertua sebaik Ayah dan juga Bunda yang nggak pernah men-judge buruk pilihan Abang, bahkan disaat-saat seperti sekarang pun dukungan dan kasih sayang kalian nggak sedikit pun berkurang."
Zanitha terkekeh kecil. "Nggak ada alasan untuk Bunda dan Ayah menghakimi ataupun menyalahkan Abang. Memangnya kami ini siapa? Apa yang terjadi sudah merupakan suratan, garis takdir yang nggak bisa ditawar-tawar."
"Lagi pula ni ya, Bang, Naqeesya itu pernah bilang sama Bunda kalau suami yang menikahi dia dengan cara langka ternyata sosok yang lembut dan penuh cinta. Sukses banget ini bikin bucin anak semata wayang bunda yang dari kecil cita-citanya mau punya suami kayak Ayah. Masyaallah-nya dapat Abang yang insyaallah bisa lebih baik dari Ayah, ya?"
Hamizan menggeleng lemah. "Bucin Bunda bilang? Masa iya? Naqeesya bucin sama Abang gitu? Nggak mungkin ah, orang bilang sayang atau cinta aja nggak pernah."
"Abangnya nggak peka. Sama perasaan sendiri aja masih denial, apalagi buat mencari tahu perasaan orang lain. Mata itu jendela hati manusia, hanya dari pancarannya udah bisa kebaca kalau cinta udah tumbuh di hati Naqeesya. Sekarang Bunda tanya sama Abang, hati Abang masih di orang yang lama atau udah beralih ke sosok perempuan yang sekarang terbaring koma?" ujar Zanitha blak-blakan.
Padalarang, 04 November 2024
Kalau ada yang kurang bilang ya. Kalau sekiranya kurang nge-feel juga sok weu silakan jujur-jujuran di kolom komentar. Semenjak libur agak panjang, rada kagok lagi nulis cerita ini, hehe 🤭😊🙏
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro