HAMSYA || PART 21
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Rasa cinta itu bertumbuh dan bertambah, terlebih jika dipupuk dengan kasih sayang dan kesabaran."
Naqeesya berhambur ke dalam pelukan Hamna, saat dia baru saja memasuki rumah dan mendapati ibu mertuanya tengah duduk bersantai seraya menonton acara kajian di televisi. Dengan hangat Hamna pun membalas pelukan sang menantu, rasanya sudah lama sekali mereka tidak saling bertemu.
"Sya sehat, Nak?" tanyanya setelah mendaratkan kecupan singkat di dahi Naqeesya.
Naqeesya mengangguk dan tersenyum sumringah. "Sehat banget, nih Buna lihat badan Sya melarnya berkali-kali lipat, apalagi perut Sya yang udah kayak balon mau meletus."
Hamna terkekeh kecil. "Ya iya atuh, udah masuk delapan bulan juga. Aman dan lancar-lancar, kan kehamilannya?"
"Alhamdulillah, Buna," singkatnya.
Hamna beralih pada sang putra. "Abang udah nggak mabok lagi?"
Hamizan pun menggeleng kecil. "Udah nggak, Buna."
"Maboknya sembuh, manjanya kambuh!" adu Naqeesya.
Hamizan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Masih aja diungkit, Sya."
Naqeesya mendengus kasar. "Padahal Sya teh suka pusing kalau Bang Hamizan udah nempel-nempel, aroma tubuhnya bikin Sya mual, parfume yang Bang Hamizan pake nggak enak banget baunya. Tapi, dengan nggak tahu dirinya Bang Hamizan malah mau dikelonin terus kayak bocah. Sya, kan sebel, Buna!"
Hamna terkekeh kecil. "Jangan terlalu sebel sama suami sendiri, nanti anaknya plek-ketiplek bapaknya banget lagi. Mau kalau Sya cuma kebagian hikmahnya doang?"
"Ya jangan atuh, Buna. Ngontrak sembilan bulan di perut Sya, masa pas lahir malah mirip Bang Hamizan. Nggak adil atuh!"
Dielusnya lembut puncak kepala Naqeesya. "Harus disayang-sayang suaminya ya?"
"Kesenangan atuh Bang Hamizannya kalau gitu mah."
"Bagus atuh, dalam rumah tangga emang harus saling menyenangkan satu sama lain, agar tercipta yang namanya sakinah, mawadah, warahmah. Masyaallah, bahagianya Buna kalau lihat anak mantu rukun-rukun terus."
Hamizan tersenyum lebar mendengar penuturan sang ibu. "Tuh, Sya dipahami dengan seksama ya pesan Buna. Disayang-sayang suaminya."
"Besar kepala nanti Abang!"
Hamizan hanya geleng-geleng saja.
"Sudah ah, malah ribut. Hasil USG-nya gimana? Bagus, kan?"
"Alhamdulillah Buna, semuanya bagus. Kepalanya juga udah turun ke jalan lahir," terang Hamizan begitu sumringah.
Hamna pun mengelus sayang perut buncit sang menantu. "Buna nggak sabar mau ketemu cucu. Sya-nya harus jaga kesehatan supaya tetap fit. Sya harus sehat-sehat pokoknya."
"Sya takut, Buna. Lahiran sakit banget kan, ya?"
"Bohong kalau Buna bilang nggak sakit, tapi ya mau gimana lagi melahirkan udah jadi kodratnya perempuan. Jangan mikirin sakit dan takutnya, tapi fokus aja kalau Sya lagi jihad di jalan Allah. Rasa sakitnya nggak akan sebanding sama rasa lega dan bahagianya saat mendengar tangisan buah hati kita."
"Gitu ya, Buna?"
Hamna pun mengangguk kecil. "Iya atuh. Disiapkan barang-barang buat lahiran nanti, supaya pas kontraksi tinggal berangkat. Jadi mau lahiran di bidannya?"
"Kalau itu udah disiapin sama Bang Hamizan, Buna. Jadi atuh, Sya malu kalau lahirannya di rumah sakit, kebanyakan dokternya cowok."
"Gimana Sya aja, yang penting itu Sya-nya sehat dan selamat."
Sepasang suami istri itu pun mengangguk patuh.
"Dijaga baik-baik istrinya ya, Bang. Kalau udah ada tanda-tanda mau melahirkan langsung kabari Buna. Jangan panikan kayak Papa, harus tenang supaya istrinya juga bisa rileks," petuah Hamna.
"Insyaallah, Buna."
"Ternyata Papa bisa panik juga ya, Buna," cicit Naqeesya terkekeh kecil.
"Ya bisa atuh, apalagi dulu pas Buna ngelahirin Bang Hamizan sama Teh Astha kondisinya cukup nggak kondusif dan rumit. Udah mah panik, masih dalam situasi berduka pula, setelah lahiran malah dapat kejutan tak terduga. Subhanallah banget pokoknya, Sya, kalau inget masa itu kayak nggak percaya ternyata kita bisa melalui badai besar itu bersama," ungkapnya diakhiri senyuman lebar.
Naqeesya memeluk Hamna dari samping. "Semoga Sya bisa kayak Buna ya, yang tetap bertahan di tengah beratnya ujian pernikahan."
Hamna mengangguk cepat, dia elus sayang puncak kepala sang menantu. "Harus bisa saling menitipkan diri, saling melengkapi, dan juga senantiasa merasa cukup dengan apa yang saat ini kalian miliki. Putra Buna nggak sempurna, masih banyak kurangnya pasti, tapi Buna harap Sya bisa legowo untuk menerima baik dan buruknya Bang Hamizan."
"Iya, Buna insyaallah."
Peran orang tua dalam rumah tangga seorang anak hanyalah sebagai pengingat, sebatas menjadi rambu di kala situasi darurat, bukan yang setiap saat ada hanya untuk mencampuri saja. Kadang kala orang ketiga bukan hanya perihal wanita atau pria idaman lain, tapi bisa juga bersumber dari orang tua dan keluarga.
"Abang pulangnya bawa mobil Papa ya, motornya biar tinggal di sini," titah Hamna pada sang putra.
"Nggak usah ah, pake motor juga cukup atuh, Buna."
Hamna menggeleng tegas. "Perut istrinya udah segede ini masih aja diajak motoran, kurang baik atuh ah."
"Perasaan Abang ngontrak biar bisa mandiri, tapi tetap aja masih Buna fasilitasi. Kapan bisa benar-benar mandirinya atuh kalau kayak gini terus."
"Abang itu akan tetap dan selalu jadi tanggung jawabnya Buna sama Papa. Kami harus memastikan kalau Abang memberikan kehidupan yang layak untuk istri dan anaknya. Buna menghargai keputusan Abang untuk mandiri, silakan, Buna dukung sepenuhnya. Tapi bukan berarti Buna sama Papa lepas tangan gitu aja, kan?"
"Ya udah iya, Buna, Abang nurut apa kata Buna," putus Hamizan pada akhirnya.
"Seharusnya spek mertua kayak Buna gini yang harus dilestarikan, jangan sampai mengalami kepunahan. Nggak banyak orang tua yang bisa menjalani peran mertua sebaik dan sehangat Buna dalam menerima kehadiran menantu dalam keluarganya. Buna yang nggak merasa tersaingi sama sekali, bahkan Buna selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk kami. Sya tuh sayang banget sama Buna," ujar Naqeesya begitu tulus.
Hamna terkekeh kecil. "Buat apa Buna merasa tersaingi, kalau Buna sudah sangat merasa cukup dengan apa yang saat ini Buna miliki."
Dengan gemasnya Naqeesya mengecup salah satu pipi Hamna. "Sya mau bilang sesuatu sama Buna," bisiknya pelan.
"Apa, hm?"
Naqeesya kembali mendekatkan bibirnya ke arah telinga Hamna. "Dulu, Sya pernah bilang sama Buna gini, 'Mau ibunya tapi nggak mau anaknya'. Sekarang Sya mau tarik ucapan itu, 'Sya menginginkan keduanya'. Nggak papa, kan?"
Hamna tersenyum begitu manis, dia tangkup lembut wajah sang menantu. "Ya nggak papa banget atuh, silakan Sya miliki secara puas dan utuh Putra Buna sepaket sama ibunya juga ya?"
"Bundling nih ceritanya Buna," kekeh Naqeesya.
"Paket eksklusif ini, Sya, cuma buat Sya seorang aja," timpal Hamna.
"Sudah selesai bisik-bisiknya, Buna, Sya? Ghibahin Abang depan muka banget ih," keluh Hamizan.
"Abang nggak diajak ya, nggak usah ikut-ikutan!"
Hamizan geleng-geleng kepala. "Ya udah iya gimana baiknya Istri aja."
Naqeesya bersemu merah, dia menyenggol pelan tubuh Hamizan. "Panggil 'Sya' aja atuh ih kayak biasa, jangan pake istri-istri segala. Malu sama Buna."
Hamna menahan senyumnya melihat kegemasan yang tengah dilakoni oleh putra serta menantunya. "Buna nggak denger dan nggak lihat apa-apa kok. Nih Buna tutup mata sama kupingnya sekalian."
"Istri ..., Istri ..., Istrinya Abang ...," goda Hamizan semakin menjadi.
"Abang mah ihhh, Sya baper masa," cicitnya seraya menggigit ujung pashmina.
Hamizan tertawa puas saat melihat wajah Naqeesya yang sudah semerah kepiting rebus, serta suara yang tercekat antara menahan malu dan salah tingkah dalam waktu yang bersamaan.
Padalarang, 27 Oktober 2024
Maafkan lama, akunya rehat sejenak dan healing dulu guys 🤭😅 ... Gimana masih mau lanjut? Disudahi jangan keuwuan ini 😚😜
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro