HAMSYA || PART 2
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Bisa jadi apa yang kita sesali hari ini, kelak akan kita syukuri di kemudian hari."
Hamna mengetuk pintu kamar yang Naqeesya tempati secara perlahan. Tangannya memegang sebuah nampan yang sudah terdapat piring berisi nasi dengan dilengkapi lauk pauk lengkap, tak ketinggalan ada juga segelas air putih, serta jus buah naga kesukaan sang menantu.
"Sya bisa ambil sendiri lho, Buna. Nggak usah repot-repot ih, kayak Tuan Putri aja," ujar Naqeesya seraya mengambil alih nampannya.
Dia persilakan Hamna untuk memasuki kamar, sebelumnya dia letakkan terlebih dahulu nampan tersebut di atas nakas. Lalu, ikut duduk di tepian ranjang bersama mertuanya.
"Buna sudah merasa lebih baik?" tanyanya penuh perhatian.
"Alhamdulillah, makasih ya, Sya udah mau direpotkan buat ngerawat Buna," sahut Hamna tulus.
"Kok ngomongnya gitu, emang udah seharusnya, kan? Buna harusnya lebih banyak istirahat lagi, bukan malah kayak gini. Sya kalau lapar bisa ngambil sendiri, nggak perlu dianter-anter ke kamar segala. Ngerepotin Buna atuh."
Hamna menggeleng kecil. "Nggak repot, sekalian juga ada yang mau Buna obrolin sama, Sya."
"Apa?"
"Besok kita adakan pertemuan keluarga ya sama Ayah dan Bunda juga, untuk membahas lebih lanjut perihal hubungan Sya sama Bang Hamizan," jelas Hamna.
Naqeesya mengukir senyum tipis. "Nggak harus besok juga nggak papa, Sya bisa ngerti kok kalau internal keluarga Buna sedang nggak baik-baik aja. Sya nggak mau menambah beban pikiran Buna dan Papa."
"Mau ditunda berapa lama lagi, hm? Lebih cepat lebih baik, kan. Sekarang Sya makan yang banyak, supaya nanti malam tidurnya nyenyak, jangan begadang, supaya pikirannya tetap fresh," ucap Hamna mengingatkan.
Naqeesya menatap Hamna cukup lekat. "Sya bisa nego nggak sih, Buna?"
Kening Hamna mengernyit. "Maksud Sya apa?"
"Sya nggak papa banget nikah muda, dengan cara memalukan kayak waktu itu juga oke-oke aja, asalkan mertuanya Buna. Tapi bisa nggak suaminya jangan Bang Hamizan?"
"Emang kenapa sama Bang Hamizan?"
"Bang Hamizan tuh pahit, kaku, dingin, nggak ada manis-manisnya deh. Ekspektasi Sya tentang pernikahan runtuh karena ternyata Bang Hamizan nggak sama kayak Ayah. Standar Sya ketinggian kali ya? Maunya suami kayak Ayah, tapi Sya-nya belum bisa kayak Bunda," keluhnya blak-blakan.
Hamna tersenyum samar, dia sangat bisa mengerti. Karena dulu, dia pun pernah dibuat kagum dengan cara Dipta dalam men-treatment Zanitha, yang jujur sangat amat manis serta romantis. Maka sangat wajar, jika sekarang Naqeesya banyak berkeluh-kesah, karena memang seharmonis itu gambaran rumah tangga yang diperlihatkan oleh ayah dan bundanya.
"Masih dalam tahap adaptasi mungkin, Sya, sama Buna Bang Hamizan manisnya nggak kira-kira, masa sama istrinya sendiri nggak bisa? Mungkin masih kagok aja, nanti juga biasa. Insyaallah."
Naqeesya pun mengangguk pelan. "Menurut Buna wajar nggak kalau pisah setelah seminggu menikah?"
"Sya berniat untuk pisah?"
"Mungkin, nggak ada potensi baik juga untuk dilanjutkan. Tapi Buna nggak papa, kan? Nggak akan benci Sya nantinya, kan?"
Digenggamnya tangan sang menantu lantas berucap, "Buna nggak punya kuasa lebih untuk melarang, karena yang menjalani Sya dan Bang Hamizan. Ya terserah kalian. Dulu pas awal-awal nikah juga Buna sering kok minta pisah sama Papa, tapi lihat sekarang? Alhamdulillah kita masih langgeng sampai mau menginjak usia pernikahan 26 tahun."
"Dalam berumah tangga, terlebih di tahun pertama ujiannya pasti ada aja. Nggak mungkin mulus lurus tanpa hambatan, apalagi kalian menikah tanpa rencana dan atas desakan warga. Buna bisa paham kok, Buna tahu banget gimana nggak enaknya hidup sama orang yang nggak kita sukai, karena Buna juga dulu pernah ada di posisi itu."
"Sya ..., Allah itu nggak pernah salah dalam memilihkan pasangan untuk setiap hamba-Nya. Sekarang mungkin kesannya nggak banget, kayak nggak adil aja gitu. Tapi, siapa yang tahu ke depannya coba? Bisa jadi apa yang kita sesali hari ini, kelak akan kita syukuri di kemudian hari. Pelajaran hidup itu nggak instan, nggak hanya cukup dengan bermodalkan sabar, tapi juga harus dibarengi dengan ikhtiar," tukas Hamna panjang lebar.
Dia elus puncak kepala Naqeesya pelan. "Mungkin kalau Harastha nggak menghubungi Sya, nggak minta Sya untuk datang, pernikahan di antara mereka akan tergelar. Dan Buna nggak pernah bisa bayangkan kalau sampai hal itu terjadi, alhamdulillahnya nggak sampai terealisasi. Walau Buna harus menerima fakta, kalau putri kandung Buna sendiri membenci ibu kandungnya, tapi ya nggak papa. Itu juga, kan salah Buna yang terlalu mengedepankan emosi, tapi mungkin jalannya emang udah gini. Kalau kesalahpahaman itu nggak ikut mewarnai, Harastha dan Hamizan bisa saja menikah. Naudzubillah, Sya."
"Buna egois ya? Nyari solusi tapi menumbalkan Sya yang nggak tahu apa-apa. Jahat banget ya Buna sama Sya?" katanya diakhiri senyum getir.
Naqeesya refleks langsung memeluk Hamna, dia menggeleng kecil seraya mendongak. "Buna nggak jahat, mungkin kalau Sya ada di posisi Buna pun Saya akan melakukan hal yang sama."
Hamna memeluk erat tubuh Naqeesya, dia menjatuhkan dagunya tepat di atas puncak kepala gadis tersebut. "Allah ambil Haleeza, lalu digantikan Harastha, tapi setelah lahir Allah memisahkan kita, sekarang Allah kembali pertemukan kami, tapi dalam waktu singkat Allah pisahkan lagi. Mungkin Buna harus lebih bersyukur, karena Allah masih berkenan untuk menitipkan amanah seorang putri yang begitu Buna dambakan, dengan menjadikan Sya sebagai Menantu Buna, Putri Kesayangan Buna. Tapi Buna nggak bisa menahan Sya jauh lebih lama, kalau memang maunya Sya pisah, Buna bisa apa?"
Naqeesya kembali mendongak, dia tatap mata Hamna yang sudah memerah dihiasi kabut, cairan bening itu seolah akan tumpah dalam waktu dekat. "Sya sayang banget sama Buna, jangan sedih dan nangis lagi ya? Sya nggak mau jadi sebab kesedihan Buna."
Hamna memaksakan diri untuk tersenyum, dia pun mengecup pelan kening Naqeesya. "Betapa beruntungnya Buna bisa memiliki menantu seperti Sya."
"Cuma Buna satu-satunya ekspektasi yang nggak gagal, karena memiliki mertua yang tulus dan penuh kasih sayang adalah impian hampir semua perempuan. Dan, Sya merasa beruntung bisa menjadi salah satunya."
Dengan gemas Hamna mengacak rambut Naqeesya yang tak tertutup hijab. "Kalau merasa beruntung kontrak jadi menantu Bunanya harus diperpanjang atuh, harus dilegalkan."
Naqeesya sontak mengurai pelukan. "Nah itu yang berat, karena kontraknya melibatkan Bang Hamizan yang pahit, kaku, dan dinginnya nggak ketulungan."
Hamna terkekeh kecil. "Asal Sya tahu yang pahit itu menyembuhkan."
"Kata siapa?"
"Obat itu pahit, tapi ampuh menyembuhkan berbagai penyakit. Mungkin Bang Hamizan juga kayak gitu."
"Buna ini bisa aja jawabnya," sahut Naqeesya asal.
Hamna tertawa pelan, dia tak ingin terlalu lama menunjukkan kesedihan. Sebisa mungkin harus terlihat tegar, jangan sampai lemah di depan Naqeesya.
"Sekarang mending Sya makan dulu, dihabiskan makannya. Jangan lupa jusnya juga ya," titahnya.
"Iya siap, laksanakan!"
Hamna bangkit berdiri. "Kalau gitu Buna pamit dulu, mau bantu Kang Hazman sama Hazami yang lagi packing."
"Mau balik ponpes ya?"
"Iya."
"Apa nggak bisa ditunda dulu? Emangnya Buna nggak papa ditinggal lagi?"
"Nggak papa, kan masih ada Sya sama Bang Hamizan."
Naqeesya hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Dia menatap punggung Hamna yang kian menjauh, lalu menghilang ditelan pintu.
"Definisi mau ibunya, tapi nggak mau anaknya," lirihnya.
Padalarang, 21 September 2024
Bedanya Hamna sama Naqeesya, dulu Hamna mau anaknya nggak mau ibunya. Sekarang Naqeesya justru mau ibunya, tapi nggak mau anaknya. 😂🤣😭
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro