Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HAMSYA || PART 17

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kehangatan dalam sebuah keluarga itu diusahakan bersama, bukan hanya satu pihak saja yang mati-matian berjuang."

"Nggak papa, kan, Sya kalau tinggalnya di rumah yang kecil dulu?" ujar Hamizan kala membuka pintu indekost yang akan menjadi tempat menetap untuk keduanya.

Naqeesya menggandeng tangan Hamizan supaya segera memasuki hunian tersebut. "Cukup kok kalau buat kita berdua. Lagian Sya juga takut kalau tinggal di rumah yang gede, mana kita cuma berdua lagi."

"Kontrakannya masih kosong, kita nyicil buat beli perabotan rumah pelan-pelan ya? Kasurnya juga belum ada, tapi Sya tenang aja Abang udah beli kok tinggal nunggu diantar aja."

"Biasanya ada kontrakan yang udah siap pakai, Bang. Sengaja Abang pilihnya yang kosongan?" tanya Naqeesya saat mereka sudah duduk untuk meluruskan kaki di atas lantai.

"Iya, supaya kita nyaman sama barang-barang milik kita pribadi. Apalagi tempat tidur yang akan kita gunakan untuk istirahat, pasti mau yang nyaman, kan?"

"Iya juga sih, kalau tempat tidurnya udah disediain, nggak kebayang udah berapa banyak orang yang menempati kasur itu. Bukan nggak mau, tapi kayaknya risih aja ya."

Hamizan mengangguk setuju. "Itu juga yang Abang pikirin, Sya. Kontrakannya baru selesai dibangun bulan lalu lho, Sya. Kita yang pertama menempati, semoga kita betah ya tinggal di sini."

"Iya, aamiin, Abang."

"Kamarnya cuma satu, tapi udah ada dapur, sama kamar mandi, ada space untuk ruang tengah juga kalau semisal orang tua kita datang. Lumayan, kan ya?" terang Hamizan.

Naqeesya manggut-manggut paham. "Lingkungannya aman, kan, Bang? Sya takut kalau semisal ditinggal sendirian pas Abang kerja."

"Insyaallah aman, Sya nggak perlu khawatir ya lagian Abang nggak akan full time kerja. Paling sesekali ngontrol kafe aja, waktu Abang insyaallah akan lebih banyak buat Sya."

"Kerja remote kayak waktu ngelola bisnis Papa sama Buna?"

"Iya, sama aja cuma skalanya jauh lebih kecil."

Naqeesya tersenyum tipis. "Bisnis Buna sama Papa juga, kan berawal dari kecil dulu. Nggak ujug-ujug gede, Bang."

"Makasih ya, Sya udah mau menemani Abang berproses," ungkapnya seraya merangkul hangat Naqeesya.

Naqeesya membalasnya tak kalah erat. "Abang nggak usah khawatir, Sya akan selalu ada di samping Abang. Kan katanya mau bertumbuh bareng-bareng."

Obrolan keduanya terhenti saat mendengar deheman cukup kencang, lantas diikuti dengan salam. Ada Hamna, Hamzah, Zanitha, dan juga Dipta di ambang pintu.

"Pantes pindahannya nggak mau dianter, udah nempel-nempel aja kayak perangko. Lain kali pintunya ditutup dulu atuh, Bang, Sya," ujar Dipta menggoda.

Hamizan dan Naqeesya sontak langsung memisahkan diri, lalu berdiri tegak dan menghampiri orang tuanya.

"Mau ke sini nggak bilang-bilang dulu ih," protes Naqeesya setelah menyalami mereka.

"Mau gangguin pengantin baru," timpal Zanitha.

"Ihhh, Bunda mah gitu!"

Hamna terkekeh kecil. "Nggak disuruh masuk ini, hm?"

"Masuk atuh, Buna, tapi ya maaf lesehan dulu aja," sahut Hamizan.

Hamna dan yang lainnya mengangguk maklum.

"Bang, kenapa harus ngontrak atuh? Papa bisa belikan rumah buat kalian berdua padahal, tapi malah ditolak mentah-mentah," tutur Hamzah.

"Kita mau belajar mandiri dan lepas pelan-pelan dari fasilitas orang tua. Mau sampai kapan atuh ketergantungan terus?" sahut Hamizan.

Dipta mengacungkan jempolnya setuju. "Ayah percaya sama Abang, ngontrak setelah nikah nggak papa banget, justru itu bisa membuat kita semakin mandiri dan mengasah kemampuan dalam mengelola keuangan. Nggak harus buru-buru punya rumah, asalkan ada tempat tinggal untuk bernaung itu sudah lebih dari cukup."

"Nggak merasa keberatan putri semata wayangnya diajak hidup sederhana sama putra saya?" cetus Hamzah memastikan. Dia cukup khawatir, karena mau bagaimanapun dia tak ingin sang putra mengajak susah anak besannya.

"Sya keberatan nggak tinggal di sini sama Bang Hamizan?" Dipta malah bertanya pada sang putri.

Naqeesya menggeleng kecil. "Aman kok, Yah, Sya percaya sama keputusan yang diambil Bang Hamizan."

Dipta tersenyum begitu lebar. "Putri saya aja nggak keberatan, Ham, lantas kenapa saya harus keberatan? Selagi putra kamu nggak mengajak Naqeesya bermaksiat dan berbuat dosa, saya setuju-setuju aja."

"Betul apa yang dikatakan Mas Dipta, justru harusnya kita mendukung anak-anak kita, A Hamzah. Doakan dan support aja, itu, kan yang jadi tugasnya orang tua. Janganlah terlalu ikut campur, biarkan mereka yang lebih berperan dalam pernikahan mereka sendiri," timpal Zanitha.

"Iya Papa sama Buna nggak usah khawatir, Sya aman dan baik-baik aja. Bang Hamizan udah janji kok mau mengusahakan yang terbaik buat Sya," imbuh Naqeesya meyakinkan.

"Makasih ya, Sya udah mau menemani putra Buna berproses," ungkap Hamna merasa haru sekaligus lega.

"Nggak usah makasih, kan emang udah seharusnya atuh, Buna. Lagian bener kata Bang Hamizan mau sampai kapan kita ketergantungan terus sama orang tua? Padahal, kan sebentar lagi kita juga mau jadi orang tua."

Zanitha memeluk hangat putrinya. "Senang deh Bunda, sekarang pemikiran Sya sudah jauh lebih matang."

"Iya atuh, kan Sya mau belajar jadi istri dan juga ibu yang baik kayak Bunda. Nggak mau banyak ngeluh dan mencak-mencak lagi," katanya.

"Aamiin, insyaallah ya, Nak."

Naqeesya mengecup singkat pipi sang ibu. "Sya sayang Bunda banyak-banyak."

"Bunda juga sayang Sya banyak-banyak," balas Zanitha.

"Kami punya hadiah buat kalian, harus diterima, nggak boleh nolak dengan alasan apa pun," tutur Dipta mengajak Hamizan dan Naqeesya untuk berjalan keluar.

Di sana ada sebuah mobil pickup berisi lemari, mesin cuci, televisi, dan beberapa perabotan dapur untuk melengkapi kekosongan rumah yang hendak ditempati oleh Hamizan dan juga Naqeesya.

"Buna tahu Sya itu alergi sama detergen, jadi Buna beliin mesin cuci buat Sya," tutur Hamna.

Naqeesya berjingkrak kesenangan lalu memeluk sang mertua. "Sayang banget deh Sya sama Buna, makasih ya."

"Kembali kasih, Sayang," sahut Hamna dengan senang hati membalas pelukannya.

"Televisi 32 inc buat nemenin Sya makan dari Bunda. Sya, kan kalau makan harus sambil nonton kartun," timpal Zanitha.

"Ihh, Bunda mah tontonannya mau diganti kok, Sya nggak akan nonton kartun lagi."

Semuanya tertawa kecil.

"Lemari dari Papa buat nyimpen koleksi crop top sama hotpants Sya yang banyaknya nauduzbilah," ungkap Hamzah.

"Ihhh, Papa mah Sya malu tahu, tapi emang bener sih. Makasih ya, Pa."

Hamzah terkekeh kecil lalu mengangguk singkat.

"Perabotan dapur dari Ayah supaya Sya mau belajar masak, kasihan suaminya kalau nanti disuruh jajan di luar terus," ujar sang ayah.

"Padahal Sya udah buat kesepakatan ih, nggak akan masakin apa-apa buat Bang Hamizan. Ehh, Ayah malah ngasih hadiah perabotan dapur," keluh sang putri.

"Sekarang Sya bisa bilang kayak gitu, lihat aja besok atau lusa pasti berubah pikiran. Buna ngerasain sendiri, dulu juga Buna sama kayak Sya paling anti masuk dapur, tapi pas udah nikah jadi seneng karena lihat Papa yang lahap banget makan masakan Buna, padahal dulu masakan Buna kalah jauh sama masakan Oma," tutur Hamna jujur.

"Masa sih, Buna?" tanya Naqeesya tak percaya.

"Seratus persen valid itu, Sya, Papa masih inget banget dulu Buna pernah masak ayam goreng tapi gosong, dan jadinya malah kayak ayam cemani, padahal tinggal goreng doang, dan itu pun udah dibumbuin sama Oma. Tapi, ya namanya belum terbiasa jadi kayak gitu. Lihat sekarang, sekali kedip aja makanan lezat terhidang di meja," tutur Hamzah menguatkan.

"Berumah tangga memang perlu ilmu, tapi nggak ada sekolahnya, itulah yang dinamakan dengan belajar tanpa batas. Saling berproses dan bertumbuh bersama, kalau ada kurang ya tinggal tambal pake kelebihan. Saling melengkapi itu perlu, Sya. Jadi istri yang baik ya untuk suaminya," pesan Dipta pada sang putri.

Naqeesya mengangguk tanpa ragu, dia memeluk hangat Dipta lalu berbisik pelan tepat di samping telinga sang ayah, "Kayaknya Sya berubah pikiran mau suami kayak Ayah, suami spek Bang Hamizan nggak papa banget malah."

Dipta ikut melakukan hal yang serupa. "Posisi Ayah mulai tergeser rupanya."

"Ayah tetap yang ke-satu, tapi skala prioritas Sya sekarang ada di yang pertama, Bang Hamizan," bisiknya lagi.

Dengan gemas Dipta mengacak Pucak kepala sang putri yang tertutup pashmina merah muda. "Mau bilang cemburu tapi malu. Masa jealous sama mantu sendiri sih."

Padalarang, 13 Oktober 2024

Nggak kebayang gimana adem dan tentramnya hidup kalau punya keluarga sehangat mereka. 😊😚🤲

Okee, triple up done ya guys ... Jangan lupa untuk selalu meramaikan lapak ini ... Terima kasih, semoga suka ☺️🤗😊

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro