HAMSYA || PART 13
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Saling mengerti dan memahami antar pasangan itu bukan suatu pilihan melainkan sebuah keharusan."
Tidak pernah terbayangkan akan berada di posisi sekarang, dia hanya berani melihat dari kejauhan, tanpa sedikit pun ada keinginan untuk mendekat. Memaku diri dengan pandangan lurus ke depan, bahkan rasanya perasaan di dada saling berkecamuk hebat.
"Sekarang bukan seandainya lagi, Bang, Teh Astha benar-benar pulang," gumam Naqeesya melirih.
Ada rasa bahagia bercampur haru, terlebih saat melihat hangatnya rengkuhan di antara Harastha dan Hamna. Namun, tak dapat dipungkiri, ada rasa perih yang menggerogoti kala melihat secara langsung bagaimana Hamizan menatap penuh damba pada sang ipar.
Naqeesya memilih untuk memutar tubuh, kembali memasuki kamar dan berdiam diri di sana. "Sya kira nggak akan ngerasain sakit, tapi nyatanya lumayan perih juga, Bang."
Terlalu asik melamun, tanpa sadar ada Hamizan yang memeluknya dari arah belakang. Naqeesya cukup tersentak, tapi dengan cepat dia mencoba untuk menguasai diri.
"Teh Astha pulang, Bang?" Tanyanya berbasa-basi. Dia sandarkan kepalanya di dada bidang sang suami, serta mendongak untuk menatap manik hitam legam itu.
"Kenapa Sya malah di sini? Nggak mau ketemu Teh Astha?"
Naqeesya tersenyum samar. "Mau kok, Sya juga kangen banget sama Teh Astha. Tapi, Sya nggak mau merusak suasana, biarkan Papa sama Buna dulu yang saling melepas rindu. Abang baik-baik aja, kan?"
Hamizan tak menjawab, dia justru semakin mengeratkan pelukannya. "Kita mulai cari indekost dari sekarang ya, Sya?"
Naqeesya mengangguk pelan. "Sya emang nggak akan pernah bisa gantiin posisi Teh Astha di hati Abang, tapi Sya harap Abang nggak terus-menerus terbelenggu perasaan terlarang itu. Pelan-pelan bisa ya, Bang? Ubah perasaan cinta itu jadi kasih sayang layaknya sepasang saudara."
"Tanpa Sya minta pun Abang selalu mengusahakannya. Malam ini kita nginep di rumah Ayah sama Bunda ya, Sya?"
Lagi-lagi Naqeesya mengangguk patuh. "Emang udah jadwalnya juga, kan. Bunda udah teleponin Sya dari tadi, kangen sama mantunya ceunah."
"Ya udah Abang siapin dulu barang-barang yang sekiranya kita butuhkan. Sya pamit duluan sama Buna dan Papa gih, sekalian ketemu sama Teh Astha."
Naqeesya tersenyum tipis lalu mengecup singkat pipi Hamizan. Perempuan itu berjalan cepat meninggalkan sang suami yang terdiam linglung mendapat serangan mendadak.
"Sya boleh ikut gabung nggak nih?" katanya saat mendapati Hamna dan Harastha tengah asik berkutat di dapur.
"Boleh sini, Sya," sahut Harastha antusias.
"Teteh apa kabar? Ke mana aja ih?"
"Kabar baik. Sya sendiri gimana?"
"Baik atuh, Teh."
"Syukurlah."
"Oh, ya Buna, Sya mau pamit ya? Udah ditungguin Bunda sama Ayah di rumah."
"Harus sekarang banget? Buna sengaja masak banyak buat kita makan bareng. Rumah Buna sekarang makin rame, anak sama mantu udah kumpul semua," sahut Hamna menghentikan sejenak kegiatannya.
"Mumpung Bang Hamizannya mendingan, Buna, kalau dinanti-nanti malah kambuh lagi mual sama pusingnya. Tadi pagi juga, kan repot," kilahnya diakhiri kekehan ringan.
"Lho emangnya Hamizan kenapa, Sya?"
"Biasa, Teh masuk angin."
"Bukan masuk angin, kembarannya lagi ngidam itu," sela Hamna meluruskan.
"Ngidam?"
Hamna mengangguk cepat. "Naqeesya lagi hamil muda, tapi malah suaminya yang mabok dan muntah-muntah."
"Masyaallah, Teteh mau dapat ponakan atuh," ujar Harastha begitu sumringah.
"Insyaallah, Teh, masih lama kok baru jalan trimester pertama," jawabnya kikuk.
Harastha mengelus perut Naqeesya yang masih rata. "Teteh doakan semoga kandungannya sehat dan lancar sampai nanti lahiran. Rumah tangganya selalu diberkahi Allah, dipermudah segala urusannya, bahagia selalu pokoknya ya adik ipar."
Naqeesya merasa haru dan langsung memeluk hangat Harastha. "Makasih banyak ya, Teteh."
Harastha mengacak gemas puncak kepala Naqeesya yang tertutup pashmina hitam. "Kembali kasih, Sayang."
"Nggak mau di-cancel dulu aja nginep di rumah Bundanya, Sya? Seneng banget Buna lihat kedekatan kalian berdua, kita girls time dulu atuh ih."
"Minggu depan insyaallah ya, Buna. Teh Astha mau tinggal menetap di sini, kan?"
Hamna pun mengangguk pelan.
Sedangkan Harastha tersenyum di balik cadarnya. "Insyaallah, Sya. Nggak papa, kan? Sya nggak keberatan?"
"Teteh mah aneh, pake acara nanya sama Sya segala. Ini rumah Buna sama Papa, orang tua kandung Teteh, yang ada juga Sya kali yang numpang di sini."
Hamna menggeleng tak suka. "Kok numpang, tinggal bareng atuh, Sya. Ini rumah kita bersama. Nggak boleh ngomong gitu lagi ah."
"Iya, Buna ..., iya ...," singkatnya.
"Pamitnya udah, Sya? Yuk berangkat sekarang," ajak Hamizan hanya berada di ambang pintu dapur.
"Sebentar," sahut Naqeesya.
"Sya pamit dulu ya, Buna," sambungnya seraya menyalami Hamna, tak lupa juga untuk mengecup kedua pipi sang mertua secara bergantian.
Hal yang sama pun Naqeesya lakukan pada Harastha, bahkan mereka kembali saling berpelukan.
"Fii amanillah, adik ipar," bisik Harastha tepat di samping telinga Naqeesya.
Naqeesya mengangguk dengan dihiasi senyum mengembang.
Hamizan melangkah sedikit ragu, lalu menyalami Hamna seraya berkata, "Abang pamit dulu, Buna."
"Abang hati-hati di jalannya, kalau sudah sampai kabari Buna. Jangan ngebut-ngebut juga, dijaga istri dan calon buah hatinya," ungkap Hamna penuh akan petuah.
Hamizan pun mengangguk patuh.
Pandangannya tertuju pada Harastha yang tengah menunduk dalam. Dia sedikit berdehem dan menangkupkan tangannya di depan dada, sebagai bentuk hormat karena rasa canggung yang masih cukup kuat menggerogoti. "Pamit, Teh."
Harastha hanya menanggapi dengan anggukan kecil.
Tak ingin terlalu berlama-lama dilanda kecanggungan, Naqeesya pun dengan santai menggandeng tangan Hamizan. "Dadahhh, Buna, Teteh, assalamualaikum."
"Wa'alaikumusalam," sahut keduanya.
"Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga, gimana? Aman perjalanannya?" sambut Dipta hangat. Dia peluk dan cium anak perempuannya yang kelewat manja itu.
"Aman terkendali, Pa," jawab Hamizan mengambil alih.
"Anteng banget bergaul sama cobek dan ulekan, Bun," seru Naqeesya lalu duduk bergabung dengan sang ibu yang tengah duduk lesehan di teras rumah.
"Sini, Sya, Bunda lagi bikin bumbu rujak buat pendamping cireng," ujar Zanitha.
Hamizan lebih dulu menyambar. "Ditambah mangga muda makin enak kayaknya, Bun."
Zanitha pun mengangguk setuju. "Ngambil dulu atuh gih. Bisa manjat pohon, kan? Sekalian sama jambu airnya ya, Bang. Ngerujak kita."
Hamizan mengangguk cepat, lalu melesat pergi ke belakang rumah sang mertua.
"Yang hamil siapa, yang ngidamnya siapa," cetus Dipta geleng-geleng kepala.
"Emang aneh, Yah. Bunda sama Bang Hamizan kayaknya sefrekuensi."
"Kamu nggak tahu aja, Sya, dulu Bunda kamu tuh anti banget sama makanan yang pedas-pedas. Semenjak hamil kamu, nggak tahu deh tiba-tiba doyan, hampir tiap hari ngerujak, makanya sampai Ayah bela-belain nanem pohon mangga sama jambu air di belakang rumah."
"Udah, Mas, jangan nostalgia terus. Temenin dulu mantunya itu manjat pohon," sela Zanitha.
"Iya ih, susulin Bang Hamizan dulu, Yah. Berabe kalau sampe jatoh, mana baru pulih dari sakit lagi."
"Hamizan sakit apa emang, Sya?" seloroh sang ibu.
"Demam, mual, pusing, sama muntah-muntah dari tadi subuh."
"Itu mah sih ngidam, bukan sakit," ungkap Dipta.
"Omongan Ayah sama persis kayak Buna dan Papa."
Dipta mengacak penuh sayang puncak kepala sang putri. "Itu artinya Bang Hamizan kelewat sayang dan perhatian sama Sya. Tingkat care-nya patut diacungi jempol, jarang lho ada suami yang ngalamin kayak gitu pas istrinya lagi hamil."
"Tuh dengerin, Sya, makanya jangan anarkis lagi sama suaminya. Muka semulus dan seganteng itu kamu nodai pake cakaran kuku siluman."
Naqeesya mencebik sebal. "Masa Bunda nyamain kuku Sya sama siluman sih!"
"Ya abisnya panjang dan tajam banget, udah kayak nggak pernah dipotong aja!"
Naqeesya mendengus kasar lalu berlari cepat untuk menyusul suaminya. "Sya mau ikutan naik pohon mangga sama Bang Hamizan!"
Zanitha dan Dipta saling berpandangan, lalu mereka berlari tunggang langgang untuk mencegah kenekatan sang putri.
"Cucu Bunda ada di perut kamu itu, Naqeesya. Awas ya kalau sampai kenapa-kenapa!"
Padalarang, 09 Oktober 2024
Finally, Harastha muncul lagi, walau hanya sekilas 🤭😅 ... Angkat tangan yang kangen sama Harastha 👆
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro