HAMSYA || PART 12
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Bukan susah lupa, tapi memang tidak ada kemauan dalam diri saja."
Naqeesya terbangun karena mendengar suara-suara aneh yang bersumber dari arah kamar mandi. Dia pun mengucek-ngucek matanya, lalu berjalan untuk menemui sumber suara.
"Abang kenapa?" tanyanya saat melihat Hamizan tengah berjongkok di depan toilet.
"Nggak tahu, Sya, mual sama pusing bawaannya. Badan Abang juga nggak enak banget, lemes," adunya setelah berhasil memuntahkan sesuatu yang mengocok perut.
"Masuk angin kali, Bang," sahut Naqeesya seraya memijat tengkuk Hamizan secara perlahan.
"Bisa jadi, kerokin bisa nggak, Sya? Biasanya suka mendingan kalau udah dikerokin. Mau minta tolong sama Buna, nggak enak masih subuh."
"Ya udah sok atuh," jawabnya sembari membantu Hamizan untuk berdiri dan berjalan menuju ranjang.
"Minyak anginnya di mana?" tanya Naqeesya saat Hamizan sudah tidur telungkup, dan membuka bajunya.
"Di laci paling atas, Sya."
Naqeesya pun segera mencarinya, lalu mulai untuk mengerok punggung Hamizan. "Sya nggak pernah ngerokin, punggung Abang jadi abstrak gini bentuknya. Nggak papa, kan, ya?"
Hamizan hanya mengangguk saja.
"Udah, Bang, bangun pake lagi bajunya supaya nggak makin masuk angin," ungkap Naqeesya sembari menyerahkan baju milik sang suami.
Merasa iba, Naqeesya pun kembali menyelimuti tubuh Hamizan. "Abang mau mandi air hangat nggak? Sya siapin kalau emang mau mah."
"Boleh, Sya, bentar lagi juga subuh Abang harus siap-siap ke masjid."
Naqeesya pun mengangguk patuh, lalu menyiapkan apa yang dibutuhkan oleh Hamizan.
"Lagi masak air buat apa, Sya?" seloroh Hamna.
Naqeesya pun menoleh lantas menjawab, "Bang Hamizan, Buna."
Kening Hamna mengernyit. "Tumben, nggak biasanya Bang Hamizan mau mandi air hangat, kecuali kalau dianya lagi sakit."
"Emang lagi sakit, Buna, masuk angin katanya."
"Perasaan semalam nggak papa, Sya?"
Naqeesya mengedikkan bahunya. "Sya juga nggak tahu, tiba-tiba aja tadi pas bangun tidur lihat Bang Hamizan muntah-muntah depan toilet."
"Terus sekarang gimana Bang Hamizannya?"
"Sya suruh rebahan dulu aja di kasur sambil nunggu air hangatnya, udah Sya kerokin juga kok, Buna."
"Ya udah mending Sya temenin Bang Hamizan, nanti air panasnya biar Papa yang antar. Buna mau buatin bubur dulu, sekalian masak buat sarapan," ujar Hamna.
"Mau Sya bantuin, Buna?"
Hamna menggeleng kecil. "Nggak usah, mending temenin Bang Hamizan aja, dia suka agak manja kalau lagi sakit."
Naqeesya pun menurut, dan kembali ke kamar. Dia cukup terkejut karena lagi-lagi melihat Hamizan yang tengah muntah-muntah di kamar mandi.
"Mual banget ya, Bang?" tanyanya sembari menghapus peluh di sekitar wajah Hamizan.
"Banget, Sya, biasanya kalau masuk angin nggak sampai mual-mual. Ini baru yang pertama kali," akunya.
"Ngidam kali, Bang," cetus Hamzah yang baru saja datang membawa air panas.
"Mana ada. Yang hamil, kan Naqeesya, Pa."
"Bisa aja atuh, Bang. Mau ditaruh di mana ini air panasnya?"
"Nggak papa di situ aja, Pa," sahut Hamizan.
Hamzah pun mengangguk lantas berlalu pergi.
"Masa sih laki-laki bisa ngidam? Papa mah ada-ada aja, suka ngasal kalau ngomong," gumam Naqeesya keheranan.
"Udah, Sya nggak usah kamu ambil pusing, Abang cuma masuk angin."
"Perlu apalagi, Bang? Sya mau ke dapur bantuin Buna dulu."
"Ambilin handuk sama baju ganti Abang dulu, Sya."
Lagi-lagi Naqeesya pun menurut patuh.
Karena tubuh yang terasa masih lemas, Hamizan memutuskan untuk tidak pergi ke masjid. Dia menunaikan salat berjamaah bersama Naqeesya di kamar.
Setelah mengucap salam, Hamizan justru merebahkan kepalanya di atas pangkuan Naqeesya. Karena kasihan, Naqeesya pun memijat pelipis Hamizan, berharap bisa sedikit mengurangi rasa pening yang dirasakan oleh suaminya.
"Sebelah kiri dikit, Sya ..., nah iya bener di sana agak diteken tapi jangan terlalu kenceng."
"Ihh, malah keenakan, kaki Sya kesemutan tahu, Bang, tangan Sya juga pegel ini. Mau sampai kapan kayak gini terus?"
"Sampai Abang merasa mendingan atuh, Sya."
"Ish, nggak jelas dong itu waktunya sampai kapan!"
"Jangan ngomel-ngomel terus atuh, Sya, yang ikhlas. Abang doain semoga apa yang Sya lakuin sekarang bisa menjadi sebab Sya masuk surga melalui pintu mana saja yang Sya kehendaki."
Naqeesya hanya berdehem dan mengaminkan saja.
"Ihh, geli Bang, apaan sih jauhin kepalanya dari perut Sya!" pekik Naqeesya cukup terkejut.
Bukannya menurut, Hamizan justru semakin erat melingkarkan tangannya di pinggang Naqeesya, mencari posisi paling nyaman.
Refleks Naqeesya pun menggeplak kepala Hamizan. "Jangan modus dan cari kesempatan dalam kesempitan deh, Bang!"
"Kamu pake sabun apa sih, Sya? Wanginya kok Abang suka."
Naqeesya mendelik tajam. "Sabun yang ada di kamar mandi, lha, pake nanya lagi. Udah ih, jangan deket-deket, Sya. Engap tahu, Bang!"
Hamizan mendongak lalu berujar, "Rasa mual Abang hilang pas nyium aroma sabun di badan, Sya."
Perempuan itu merotasi matanya. "Alah modus! Bilang aja mau deket-deket sama, Sya, kan? Kalau khilaf lagi gimana? Sya nggak mau ya!"
"Abang serius, Sya, mana ada Abang modus."
"Bangun ih, buruan, nanti ketangkap basah Buna lagi. Malu tahu!"
"Buat apa Buna masuk kamar kita? Nggak akan."
"Nganterin sarapan, lha buat Abang. Dari subuh Buna udah repot-repot bikinin Abang bubur, mending sekarang kita ke ruang makan aja. Nggak enak tahu, mana ada Kang Hazman sama Hazami lagi."
"Abang maunya sarapan yang berkuah-kuah, Sya, yang pedes, manis, sama asem kayaknya enak."
"Dihhh! Sarapan tuh bubur, nasi uduk, nasi goreng, bukan kayak yang tadi Abang sebutin."
Hamizan menggeleng keras. "Masakin atuh ya, Sya?"
"Nggak mau, apaan. Sya nggak bisa masak!"
Suara ketukan pintu berbunyi cukup nyaring. "Buna boleh masuk, nggak?"
Naqeesya panik setengah mati, dia berusaha untuk melepaskan diri dari Hamizan. Tapi tak membuahkan hasil sama sekali.
"Masuk aja, Buna, nggak dikunci kok," sahut Hamizan begitu enteng.
"Bang Hamizan ih, malah disuruh masuk Bunanya. Malu atuh kalau sampai dilihat Buna!"
"Udah, Sya jangan ngomel-ngomel terus, bantu Abang kali ini aja. Badan Abang berasa enak dan segeran sekarang," katanya memohon.
Hamna tersenyum tipis melihat pemandangan di depannya. "Maaf nih Buna ganggu kalian, Buna cuma mau nganter sarapan aja kok. Sya, jangan lupa diminum ya susu sama vitaminnya."
Naqeesya meringis kecil dan mengangguk kikuk. "Bebasin Sya dari kemodusan Bang Hamizan atuh, Buna. Risih banget ih!"
Hamna tertawa kecil. "Manjanya kumat, Sya kalau lagi sakit."
"Manjanya sama Buna aja sana, Bang. Jangan sama Sya!"
"Lha! Kenapa malah jadi Buna?"
"Buna, kan udah biasa, kalau Sya nggak."
Hamna memegang kening putranya yang memang terasa sedikit hangat. "Bangun yuk, Bang, sarapan dulu. Kasihan itu istrinya udah nggak nyaman, minum obat sekalian ya supaya demamnya reda."
"Mau sarapan yang berkuah-kuah, Buna, tapi yang pedes, manis, asem. Maunya Sya yang masakin, bubur buatan Buna buat Sya aja, Abang nggak berselera," katanya.
"Sya rebusin air, cabe, cuka, sama gula kalau gitu!" kesalnya.
"Ya nggak gitu juga atuh, Sya."
"Ya lagian Abang, udah dibilang Sya nggak bisa masak. Masih aja ngeyel!"
"Hayuk masaknya sama Buna, Sya," ajak Hamna.
Akhirnya Naqeesya pun memilih untuk mengalah. "Ya udah sana minggir, katanya mau Sya masakin."
Wajah Hamizan berbinar seketika, dia pun dengan sukarela melepaskan diri dari istrinya.
"Lepas dulu mukenanya, pake kerudung ya, Sya, ada Hazman sama Hazami soalnya," ungkap Hamizan.
Naqeesya hanya menyahut dengan deheman pelan.
"Kayaknya bener deh, Sya yang Papa bilang, Bang Hamizan itu bukan sakit tapi lagi ngidam," cetus Hamna sembari merangkul Naqeesya saat perjalanan menuju dapur.
"Masa sih, Buna? Aneh tahu!"
"Sya pernah denger nggak istilah kehamilan simpatik? Nah kayaknya itu yang dialami Bang Hamizan sekarang. Atau kata orang dulu mah cinta suaminya jauh lebih besar ketimbang cinta istrinya. Udah mulai ada benih-benih nih kayaknya?" goda Hamna.
"Nggak mungkin cinta bisa tumbuh dalam semalam atuh, lagian nih ya, Buna, Bang Hamizan itu masih susah move on dari Teh Astha. Move on dari perempuan spek Teh Astha itu pasti lama, apalagi yang jadi istrinya modelan Sya. Nggak ada apa-apanya atuh Sya kalau dibandingin sama Teh Astha mah."
"Kok ngomongnya gitu? Buna nggak suka ah, Sya itu yang paling pantas dan cocok untuk mendampingi Bang Hamizan. Nggak usah minder, Sya yang paling terbaik pokoknya," sela Hamna memberi afirmasi positif.
"Terbaik di mata Buna belum tentu terbaik juga, kan di mata Bang Hamizan?"
Padalarang, 07 Oktober 2024
Agak sedikit nyesek di akhir 🤧😬 ... Kira-kira Naqeesya berhasil nggak nih bantu Hamizan buat move on? 🤔🤭
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro