HAMSYA || PART 11
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Bijaklah dalam menyikapi sesuatu, terlebih kala dihimpit masalah yang tak kunjung menemukan titik temu."
"Yang katanya kepaksa, mau talak cerai, tahunya kebobolan juga akhirnya. Gimana? Nelen ludah sendiri enak, Bang, Kak?" oceh Hazami kala baru saja menginjakkan kaki kembali di rumah.
Sebuah sandal melayang apik detik itu juga, tapi dengan cepat Hazami menghindar.
"Nggak usah banyak komentar kamu, Zam!" seru Hamizan. Dia sudah cukup pusing dengan fakta kehamilan Naqeesya, lantas sekarang malah ditambah lagi dengan celaan dari adik bungsunya.
Sedangkan Naqeesya hanya diam saja, dia masih sangat shock. Tak sedikit pun berselera untuk menanggapi segala ocehan dari adik iparnya. Kepala perempuan itu pening, bak bola kusut yang sulit untuk diurai.
"Zam, nggak boleh gitu ah," tegur Hamna menengahi.
"Iya, Buna maaf."
"Kenapa Azam ikut pulang sama Kang Hazman? Harusnya, kan di pondok, belajar," ungkap Hamzah.
"Papa nggak suka Azam pulang? Maunya cuma ketemu Akang aja gitu? Nggak kangen sama anak bontotnya?" cecar Hazami.
"Bukan gitu, Zam, tapi kamu jangan seenaknya atuh. Jangan mentang-mentang mondok di tempat ngajarnya Kang Hazman, kamu jadi bisa seenaknya pulang."
"Hazman yang ajak pulang Hazami, Pa. Papa nggak perlu khawatir, kepulangan Azam juga atas persetujuan pengurus pondok kok, nggak kabur kayak waktu itu," terang Hazman.
"Syukurlah, Hazami nggak banyak berulah, kan selama mondok, Kang?" seloroh Hamna.
"Alhamdulillah, aman terkendali di bawah pengawasan Hazman sama Abah."
Hamna pun manggut-manggut paham. "Gimana kondisi Bu Hamidah dan Pak Bima sekarang, Kang?"
Hazman tersenyum tipis. "Alhamdulillah Umi dan Abah dalam kondisi baik, Buna. Teh Astha juga baik, tapi emang nggak lagi di ponpes aja."
"Di mana emang, Kang?" tanya Hamzah penasaran.
"Lagi ibadah di Tanah Suci, sekalian menenangkan diri dan menyembuhkan luka hati. Hazman belum tahu kapan pulangnya, nanti kalau dapat kabar lagi insyaallah secepatnya langsung kasih tahu Papa sama Buna."
"Dari kapan ke Tanah Sucinya?"
"Tepat saat Hazman sama Azam balik ke ponpes, makanya sampai sekarang pun Hazman belum ketemu sama Teh Astha lagi, Buna."
"Umrah-nya Teh Astha lama banget," komentar Naqeesya.
Hazman terkekeh kecil. "Umrah-nya sih udah selesai, kan cuma sekitar dua mingguan. Sisanya dipakai untuk healing mungkin, Sya. Alhamdulillah Umi sama Abah benar-benar memfasilitasi semua kebutuhan Teh Astha selama di sana. Teh Astha-nya juga betah tinggal di sana, ya iya sih siapa pun juga akan memilih untuk berlama-lama di sana, kalau ada uangnya mah."
"Sya mau umrah juga?" tanya Hamizan.
Naqeesya menggeleng kecil. "Maunya haji, tapi sama Ayah."
"Nggak mau sama suaminya sekalian, Sya?" ujar Hamna.
Naqeesya melirik sebal ke arah Hamizan. "Nggak mau ah!"
Hamzah tertawa kecil. "Susah emang ya, Bang, saingannya ayah mertua sendiri."
Hamizan tak sedikit pun menimpali.
"Sya pamit ke kamar dulu ya, Buna, Pa, Kang, ngantuk mau tidur," ungkap Naqeesya seraya bangkit dari duduknya.
Hamna pun mengangguk kecil. "Jangan lupa diminum dulu susu sama vitaminnya, Sya."
"Iya kalau inget," ceplosnya malas-malasan.
Hamna menghela napas singkat. "Bang, siapin dulu gih susu sama vitaminnya. Naqeesya kalau nggak disodorin langsung, suka lupa."
"Bukan lupa, tapi emang sengaja kali Buna," sahut Hamizan lalu pamit ke dapur.
"Lesu dan nggak bersemangat banget perasaan Bang Hamizan sama Naqeesya, padahal harusnya mereka senang sebentar lagi punya keturunan," ujar Hazman merasa heran.
"Duhh, Kang kamu nggak tahu aja gimana drama yang kemarin dilakoni Abang sama ipar kamu. Berhasil bikin pening kepala Buna sama Papa," beritahu sang ibu.
"Emang kenapa?"
"Nggak lihat muka Abang kamu bekas cakaran semua? Ulah istrinya sendiri itu, gara-gara nggak terima udah dihamilin katanya."
Hazami terbahak detik itu juga. "Gila, Kak Sya berani banget ya sama Bang Hamizan."
"Nasib Abang kalian sebelas duabelas, lha sama Papa dulu. Bedanya bukan dicakar, tapi Papa ditendang sampai lebam dan biru-biru," ungkap Hamzah.
Hamna mendelik tajam. "Sekarang mau lagi, A?!"
Sontak Hamzah pun menggeleng cepat. "Jangan atuh, Na."
Hazman dan Hazami mati-matian menahan tawa. Ternyata apa yang sekarang dialami oleh kakaknya, pernah juga dirasakan oleh orang tuanya. Definisi buah jatuh sepohon-pohonnya itu memang benar-benar nyata.
"Bangun dulu, Sya, minum susu sama vitaminnya," ucap Hamizan seraya menarik selimut yang dikenakan oleh Naqeesya untuk menutupi seluruh tubuhnya.
"Sya nggak mau, Abang aja sana yang minum!"
"Kok gitu sih, Sya? Janin yang kamu kandung membutuhkannya lho, Sya."
Naqeesya pun menarik diri untuk kembali duduk. "Jangan maksa atuh, Bang. Udah tahu Sya nggak suka susu, malah dipaksa terus."
"Ini susu sama vitaminnya, kan dibeliin Ayah, Sya. Mubazir atuh kalau nggak dihabisin."
Bukannya menurut, Naqeesya malah menjatuhkan wajahnya di pundak Hamizan.
Dengan penuh perhatian Hamizan pun mengelus puncak kepala Naqeesya. "Mending Sya lampiasin kekesalannya sama Abang aja, jangan kayak gini. Janin yang sekarang tumbuh di dalam rahim, Sya butuh asupan nutrisi. Sya-nya jangan banyak pikiran atuh, nanti bisa mempengaruhi tumbuh kembang janinnya lho."
Tanpa aba-aba Naqeesya menggigit kencang bahu Hamizan, sampai terdengar pekikan cukup nyaring. Tapi, perempuan itu malah semakin melancarkan aksinya.
"Udah tenang sekarang? Mau ya minum susu sama vitaminnya?" tanya Hamizan setelah Naqeesya menghentikan kegiatannya.
Naqeesya pun mengangguk lemah.
Hamizan akhirnya bisa bernapas lega, walau sebetulnya tak benar-benar lega karena dia yakin ritual semacam ini pasti akan setiap hari dilakoni. Bahunya benar-benar jadi korban.
"Salep lukanya mana? Sya obatin," katanya setelah menandaskan susu serta vitamin.
"Abang bisa sendiri, Sya, mending Sya istirahat aja."
Naqeesya menggeleng keras. "Supaya nggak berasa dosa-dosa banget, Sya aja yang obatin, sekalian sama luka-luka yang ada di wajah Abang. Belum kering, pasti masih perih, kan kalau kena air."
Hamizan pun menurut lalu memberikan salep yang berada di atas nakas pada Naqeesya. "Lumayan, Sya."
Dengan telaten Naqeesya mengoleskan salep tersebut pada setiap luka yang ada. Sesekali dia ikut meringis kala Hamizan berdesis.
"Maafin Sya ya, Bang. Sya janji ini yang terakhir, nggak akan kayak gitu lagi," ucapnya merasa sangat bersalah.
Hamizan hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Dia cukup bisa memaklumi, terlebih hormon ibu hamil yang terkadang naik turun. Sabarnya harus extra ditambah lagi.
Mereka pun merebahkan tubuh, dengan pandangan sama-sama lurus menatap langit-langit kamar.
"Bisa nggak ya Sya jadi ibu kayak Bunda sama Buna nantinya?"
Hamizan pun menoleh seketika. "Pertanyaan itu juga yang akhir-akhir ini mampir di kepala Abang, Sya. Bisa nggak Abang jadi orang tua seperti Papa dan Ayah?"
"Buat ngurus diri sendiri aja, Sya belum bisa, apalagi nanti harus ngurus bayi?"
"Melahirkan itu sakit pasti, kan ya, Bang? Lihat video-video orang melahirkan buat Sya makin takut dan merinding."
Hamizan menyelipkan tangannya di bawah leher Naqeesya, lalu merengkuh tubuh sang istri lembut. "Bismillah, Sya kita lewatin semuanya bareng-bareng ya? Meskipun sampai sekarang Abang juga masih belum yakin."
Naqeesya melesak masuk ke dalam pelukan hangat yang diberikan oleh Hamizan, bahkan dia pun menjadikan dada bidang sang suami sebagai sandaran.
Padalarang, 05 Oktober 2024
Ditutup dengan yang manis-manis dikit ah, untuk menjaga tensi darah agar tetap aman terkendali. 🤣😂✌️
Double up done ya ... Dua hari berturut-turut nih, jangan lupa ramaikan selalu lapaknya ya ☺️ 🤗
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro