HAMSYA || PART 10
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Penyakit hampir kebanyakan wanita ialah selalu mengungkit kejadian yang sudah-sudah."
Hamizan terduduk lesu di atas ranjang, membiarkan Naqeesya puas untuk melampiaskan kekesalannya. Dari mulai dipukul menggunakan bantal, bahu yang jadi korban gigitan, bahkan wajahnya pun kena imbas cakar maut jari-jari lentik sang istri.
Dia hanya bisa pasrah, padahal jika melihat kilas balik jelas-jelas dia pun merupakan korban. Dalang utamanya sang mertua, tapi kini malah dia juga yang jadi bahan kebengisan anak mertuanya.
Setelah dirasa Naqeesya cukup tenang, hanya tersisa napas yang tersengal-sengal, Hamizan pun memberanikan diri untuk berkata, "Sudah merasa lebih baik?"
Mata Naqeesya mendelik seketika. "Lebih baik apanya, yang ada juga lebih parah!"
"Sya, kamu hamil juga ada suaminya kenapa harus seputus asa itu sih? Abang, kan nggak lari dari tanggung jawab juga."
"Abang bisa ngomong gitu karena bukan Abang yang hamil. Coba kalau Abang yang ada di posisi Sya sekarang?!"
"Nauduzbilahimindzalik atuh, Sya, menyalahi kodrat itu namanya. Mana ada laki-laki hamil."
"Tuh, kan Abang aja nggak mau hamil!"
Hamizan hanya mengembuskan napas pasrah. Serba salah rasanya, setiap kalimat yang dia ungkapkan selalu keliru di mata Naqeesya.
"Sya mau ke rumah Bunda sekarang!" katanya.
"Besok lagi aja atuh, ya? Nggak baik, udah malam ini."
"Nggak mau besok, maunya sekarang. Sya mau aduin kelakuan Bunda sama Ayah. Pokoknya Bunda harus diadili, bisa-bisanya buat Sya jadi kayak gini!"
Hamizan dibuat geleng-geleng kepala. "Itu Bunda kandung kamu sendiri lho, Sya, kok ngomongnya sembarangan gitu. Nggak boleh atuh."
Naqeesya berteriak frustrasi.
"Mending kamu lampiasin ke Abang lagi, daripada ngomong ngaco nggak jelas. Sok mau bagian mana lagi yang mau kamu aniaya. Abang ikhlas, Abang rida, Sya."
Bukannya mengikuti titah Hamizan, perempuan itu malah kembali menangis. Dengan sabar Hamizan bawa Naqeesya dalam pelukan, mengelus punggung istrinya untuk menenangkan.
"Katanya mau saling menata hati di jalan takdir yang Allah ridai? Kok sekarang malah kayak gini? Sya, apa yang terjadi sekarang memang sudah sesuai sama inginnya Allah. Kita ini hanya sebatas hamba, tugasnya ya hanya menjalani aja."
Naqeesya mendongak dan menghapus kasar air matanya. "Sya mode gitar spanyol aja nggak berhasil narik perhatian Abang. Apa kabar nanti kalau bentukan Sya kayak busung lapar yang perutnya segede gaban? Belum lagi pasti bakal dighibahin orang-orang yang ngiranya Sya hamil di luar nikah, sanksi sosial jauh lebih mengerikan, Bang Hamizan. Kuliah Sya gimana? Masih muter-muter di skripsi ihh, lagi nggak hamil aja males buat ngerjain, apalagi pas tahu lagi hamil. Makin nggak mood atuh buat ngerjainnya!"
Antara iba dan ingin tertawa mendengar rentetan alasan Naqeesya, alhasil Hamizan hanya diam saja.
"Bang ...! Sya ...!" seru Hamna di balik pintu dengan dibarengi ketukan.
"Sebentar, Buna," sahut Hamizan hendak turun dari ranjang.
"Buna tunggu di ruang keluarga ya, Bang, jangan lama-lama ada Ayah sama Bunda juga yang nungguin kalian," ujar Hamna lantas berlalu sebelum mendapat sahutan apa pun.
Naqeesya langsung meloncat dari tempat tidur, berlari secepat mungkin untuk menemui orang tuanya. Sedangkan Hamizan hanya bisa mengelus dada sabar melihat kelakuan bar-bar sang istri.
"Ya Allah, Sya, lagi hamil muda jangan kayak laki atuh. Apa nggak pusing itu anak saya yang ada di perut kamu," gumamnya lalu berjalan cepat untuk menyusul Naqeesya.
Hamizan meringis kecil saat melihat Naqeesya tengah duduk di pangkuan Dipta, bergelendotan tanpa sedikit pun rasa malu, dan menangis tersedu-sedu di dada bidang ayah kandungnya.
"Ayah harus janji sama Sya ya?" katanya setelah puas menumpahkan air mata.
"Janji apa?"
"Bakar habis novel-novel Bunda, musnahkan perpustakaan yang ada di rumah. Pokoknya Ayah harus janji, nggak boleh ingkar, harus ditepati!"
Zanitha membulatkan matanya seketika. "Jangan ngaco deh, Sya!"
"Bunda yang ngaco. Gara-gara ulah Bunda, Sya jadi hamil sekarang!"
Zanitha menyentil kening putrinya. "Harusnya Sya bersyukur, bukan malah kayak gini. Bunda perlu waktu hampir 10 tahun buat hamil. Nggak baik nentang takdir Allah!"
Dipta mengangguk setuju, dia rapikan surai sang putri yang berantakan. "Bener apa kata, Bunda, Sya ..., harus legowo, ikhlas, emang udah jalannya kayak gini. Yang penting itu sekarang Sya fokus sama kehamilannya, dijaga baik-baik ya, apalagi masih trimester pertama."
"Tapi, kan ini gara-gara Bunda, Yah, kalau Bunda nggak usil pasti nggak akan sampai sejauh ini," sangkal Naqeesya.
"Iya Ayah tahu, dimaafin atuh Bundanya, jangan diungkit-ungkit terus."
Naqeesya menggeleng keras.
"Kok gitu? Sama bunda sendiri lho, Sya."
"Habisnya Bunda jahat sama Sya, Yah!"
"Justru Bunda baik, Bunda nggak mau Sya jatuh ke pelukan lelaki yang nggak Bunda tahu jelas karakternya seperti apa. Kalau sama Bang Hamizan, Bunda lega ngelepas Sya. Iya Bunda akui kok kalau cara Bunda emang salah, tapi, kan nggak sepenuhnya salah. Toh yang kalian lakukan pun bernilai ibadah, dapat pahala, kenapa harus marah-marah dan nggak terima?" ujar Zanitha.
"Sya, sekarang itu bukan waktunya buat salah-salahan, tapi waktunya buat kita cari solusi bareng-bareng. Yang udah ya udah, nggak usah diungkit-ungkit lagi, nggak akan bisa ngerubah apa pun juga," ujar Hamizan menengahi.
"Dengerin itu kata suaminya, udah ya? Turun sekarang, duduk di samping suaminya sana," titah Dipta.
Naqeesya pun menurut walau masih sesekali menggerutu.
"Jadi gimana baiknya, Dip? Pernikahan ulangnya mau dimajukan atau dimundurkan sampai Naqeesya lahiran?" cetus Hamzah.
Dipta menoleh ke arah Zanitha yang juga tengah menatapnya. "Saya rasa akan jauh lebih baik kalau acara pernikahannya dilangsungkan setelah Naqeesya lahiran. Kalau sekarang-sekarang saya khawatir dengan kandungan Naqeesya yang masih muda, takutnya kelelahan dan malah terjadi sesuatu yang nggak diinginkan."
"Saya juga setuju sama usul Mas Dipta, kalau nikahnya sekarang-sekarang justru malah bisa bikin gempar orang-orang karena pasti asumsi hamil duluan akan semakin liar terdengar. Khawatirnya akan mengganggu psikis Naqeesya, hamil muda itu rentan, apalagi ini yang pertama, dan usia Naqeesya baru awal dua puluhan."
Hamna dan Hamzah pun mengangguk setuju.
"Besok kita ke rumah sakit ya buat check up kehamilannya, supaya tahu jelas sudah memasuki minggu ke berapa," ujar Hamna pada sang menantu.
"Terserah, Buna," sahut Naqeesya seadanya.
"Sya kalau ada keluhan bilang sama Bunda atau Buna ya? Makanannya harus lebih dijaga, nggak boleh makan susi dulu," peringat Zanitha.
Naqeesya hanya mengangguk saja. Dia sudah tidak berselera untuk mengeluarkan kata-kata.
"Muka kamu kenapa, Bang?" tanya Dipta saat menyadari wajah menantunya yang dihiasi garis-garis merah.
"Perasaan tadi pagi nggak papa?" ujar Hamzah ikut memerhatikan wajah putranya.
"Ulah anaknya mertua, Pa," jawab Hamizan sekenanya.
Semua pasang mata sontak melihat ke arah Naqeesya.
"Sya apain sih suaminya sampai kayak gini?" seloroh Zanitha tak habis pikir.
Naqeesya menunjukkan kuku jarinya yang panjang. "Sya cakarin, lha. Siapa suruh ngehamilin Sya tanpa izin!"
Para tetua dibuat geleng-geleng kepala.
"Apa? Abang mau nyalahin Sya? Mau membela diri? Mau Sya tambahin lagi?!" sembur Naqeesya saat melihat Hamizan yang hendak buka suara.
Hamizan menggeleng pelan. "Salah Abang kok, Sya. Perempuan mah nggak pernah salah, apalagi Sya, selalu benar."
Naqeesya mengacungkan jempolnya. "Pertebal lagi iman dan syahwat Abang, supaya nggak ada khilaf jilid dua!"
Padalarang, 05 Oktober 2024
Kalau lihat besan pada akur dan apa-apa dirundingkan bersama, kan enak ya dilihatnya. ☺️🤗
Double up? Boom vote sama komen dulu atuh ya, hehe 🤭 😅✌️
Gaskennn???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro