Extra Part "What if" | Dua Toddler Hamizan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Hamizan dibuat kelimpungan saat baru saja menyelesaikan kegiatan mencuci pakaian, tak mendapati keberadaan Naqeesya serta Hamsya di ruang tengah. Padahal dia masih mengingat betul bahwa anak dan istrinya sedari tadi tengah anteng main masak-masakan seraya menonton kartun di sana.
Terlebih lagi mainan bekas pakai keduanya pun terlihat cukup berserakan, seperti ditinggalkan begitu saja. Lantas ke mana perginya Naqeesya dan Hamsya?
"Sya?" panggilnya seraya menyusuri kontrakan yang hanya sepetak itu.
Tanpa memedulikan kondisi bajunya yang sedikit basah serta hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut saja, dia pun bergegas keluar guna mencari keberadaan Naqeesya serta Hamsya. Rasa cemas sedikit demi sedikit mulai menyusup.
Jika tak melihat gawai milik Naqeesya yang tergelak mengenaskan di lantai, menghubunginya adalah opsi paling pertama yang Hamizan pilih. Namun, faktanya sang istri cukuplah ceroboh dengan abai pada benda pipih pintar tersebut.
Langkah Hamizan tertahan saat netranya menangkap sosok yang tengah dicari-cari sedang asik menongkrongi penjual kue putu. Dia dibuat geleng-geleng kepala menyaksikan bagaimana tingkah polah sang istri yang sebelas duabelas dengan putrinya.
"Yang satu jangan pakai kelapa ya, Mang, kalau satunya lagi pakai juga nggak papa," ungkap Naqeesya yang tengah berjongkok di samping Hamsya yang juga anteng melihat sang penjual mempersiapkan pesanan mereka.
"Kuenya bisa bunyi ya, Ibu?" celoteh bocah berusia 2.5 tahun itu.
Naqeesya pun dengan telaten menjawab, "Suara itu berasal dari uap kue putu yang melewati celah kecil cetakan kue yang terbuat dari bambu. Suara khas seperti bunyi siulan yang tak henti."
Hamsya manggut-manggut lalu fokusnya beralih pada sang penjual yang begitu lihai serta cekatan. Gerakannya cukup cepat, bahkan mata bocah kecil itu mengerjap berulang kali saking antusiasnya.
Hamizan menepuk lembut pundak Naqeesya dari arah belakang. "Sya!"
Perempuan itu terlonjak dan refleks berdiri sembari putar badan. Dia meringis kecil kala mendapati suaminya di sana.
"Keluar rumah kok nggak bilang Abang dulu?"
Naqeesya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Udah bilang kok, Abangnya aja mungkin yang nggak denger."
Alis Hamizan terangkat satu. "Kapan?"
Naqeesya menarik sang putri agar ikut berdiri di sisinya. "Tadi Ibu bilang dulu, kan sama Buya kalau kita mau jajan kue putu?"
Hamsya mengangguk kecil. "Ibu teliak-teliak sama Buya sebelum minta aku buat ngejal Mamangnya."
Hamizan pun menyamakan tinggi badannya dengan sang putri. "Hamsya ngejar Mamangnya?"
Lagi-lagi bocah itu pun mengangguk polos. "Ibu lali ambil uang, aku juga lali ngejal Mamangnya supaya belhenti."
Pandangan Hamizan beralih pada Naqeesya yang tak sedikit pun merasa bersalah, karena bisa-bisanya menyuruh bocah yang bahkan belum genap tiga tahun berlarian keluar rumah hanya untuk memberhentikan pedagang. Benar-benar tidak habis pikir.
Hamizan bawa Hamsya dalam gendongan lantas berdiri seraya berkata, "Sudah jadi pesanannya, Mang?"
Penjual yang tengah membubuhi kue putu dengan kelapa di atasnya itu pun menjawab, "Sudah, A. Dua, kan?"
Hamizan pun mengangguk kecil. "Uangnya ada, Sya?"
Naqeesya merogoh saku gamisnya lalu menyerahkan uang berwarna hijau itu pada sang penjual, sembari menerima pesanannya yang sudah terbungkus kantung keresek.
Hamizan menggandeng tangan Naqeesya, sedangkan tangan lainnya dia gunakan untuk menopang bobot tubuh sang putri yang berada dalam gendongan. "Abang nggak marah, nggak usah cemberut gitu mukanya."
Naqeesya pun sedikit mendelik. "Sya yang marah, bukan Abang!"
Sontak langkahnya pun terhenti, bahkan genggaman di tangan Naqeesya refleks terlepas. "Harusnya, kan Abang? Kenapa malah jadi Sya?"
Naqeesya menghentakkan kakinya sebal. "Bisa-bisanya Abang keluar rumah cuma pake celana pendek, baju setengah basah, dan sendal jepit. Kalau ada yang lihat gimana? Sengaja? Mau ngumbar aurat?!"
Hamizan meringis kecil.
Naqeesya menonyor lutut Hamizan yang terpampang nyata itu. "Kan Sya udah bilang sama Abang, jangan pake celana pendek kalau keluar. Aurat Abang itu bukan untuk dinikmati berjuta-juta pasang mata, tapi cuma milik Sya seorang aja. Paham?!"
Hamizan dan Hamsya saling beradu pandang, mendengar rentetan ocehan Naqeesya yang kentara sekali dibumbui rasa jengkel. Padahal di sekitar mereka tidak ada satu pun orang, siapa pula yang tertarik untuk melihat lutut seorang laki-laki? Hamizan rasa tidak ada.
"Abang nggak ngeh, Sya. Maaf atuh ya? Panik tadi, jadi nggak sempet merhatiin outfit. Ngocehnya lanjut di rumah atuh ya?"
Naqeesya mendelik sembari bersidekap dada lalu melesat pergi begitu saja.
Helaan napas spontan Hamizan keluarkan.
"Ibu malah ya sama Buya?" celoteh sang putri.
Gelengan kecil dia berikan. "Nggak, Ibu cuma ngomel-ngomel aja, dikit."
"Gala-gala aku ya Buya jadi diomelin Ibu?"
"Kok jadi Hamsya?" sahutnya seraya mengacak gemas puncak kepala sang putri.
"Kan aku yang ajakin Ibu jajan kue putu."
"Lain kali kalau mau jajan sesuatu bilang sama Buya dulu bisa?" ujarnya penuh kehati-hatian.
Bocah itu spontan menggeleng.
"Ngangguk dong harusnya, kenapa malah geleng-geleng?"
"Kelamaan atuh kalau bilang Buya dulu, kebulu pelgi nanti Mamang yang jualnya."
Hamizan terkekeh kecil. "Emangnya kalau bilang sama Ibu nggak lama? Kan sama aja."
"Beda atuh, kalau Ibu punya kekuatan supel. Lalinya kenceng, bisa kelja sama juga, aku yang kejal pedagangnya, Ibu yang ambil uangnya. Kalau Buya bisanya cuma jawab iya-iya aja. Lama!"
"Ya udah atuh, nanti mah Buya akan kayak Ibu. Janji dulu tapi, harus bilang Buya ya?"
Akhirnya Hamsya pun mengangguk patuh.
Lalu Hamizan kembali memacu langkah, sesampainya di rumah dia sudah mendapati Naqeesya yang tengah anteng menikmati kue putu sembari menonton kartun.
Hamsya berlari cepat saat terbebas dari gendongan sang ayah. Dia duduk bersila lalu asik menikmatinya bersama Naqeesya.
"Enak banget kayaknya, sampai belepotan gini ih. Udah kayak Hamsya aja, itu gula merah sampai jatuh-jatuh ke dagu," ungkap Hamizan yang tak sedikit pun Naqeesya tanggapi.
"Hamsya suka?" tanya Naqeesya pada sang putri.
Anggukkan mantap diberikan, lengkap dengan senyum mengembang. "Suka, Ibu."
Naqeesya mencubit gemas pipi gembul sang putri. "Lama-lama kamu yang Ibu makan. Gemesin banget sih."
Hamsya justru tertawa terpingkal-pingkal. Merasa geli karena tindakan sang ibu yang mengecupi hampir seluruh wajahnya.
"Selesai makan jangan lupa dirapikan lagi ya mainannya, Hamsya, Ibu. Bisa?"
Naqeesya mendelik. "Sya masih marah sama Abang. Dilarang merintah-merintah!"
"Abang cuma ngingetin lho ini, nggak merintah-merintah kayak yang Sya bilang. Ya udah kalau emang nggak mau mah, nanti Abang aja yang beresin tapi sebagai gantinya Sya harus jemur pakaian. Deal?"
Naqeesya bangkit berdiri. "Tanpa Abang minta juga Sya akan lakuin. Sya juga tahu diri, masa iya Abang yang nyuci Abang juga yang jemur sih!"
Hamizan berusaha untuk tidak menggelegarkan tawa. Melihat aksi Naqeesya yang tengah mengomel sudah seperti hiburan baginya. Lucu dan menggemaskan saja, terlebih jika istrinya itu sudah mengerucutkan bibir sebal. Sebelas duabelas dengan Hamsya.
"Nggak harus sekarang juga kok jemurnya. Nanti juga nggak papa, Sya," cegah Hamizan berhasil membuat langkah Naqeesya tertahan.
Dia menoleh singkat. "Kalau nanti Sya males!"
Senyum Hamizan terbit tanpa bisa dicegah, dia pun bergegas menghampiri Naqeesya lalu memeluknya dari arah belakang. "Kalau Sya males, ya udah nggak usah," bisiknya pelan tepat di samping telinga sang istri.
Naqeesya berusaha untuk menjauhkan diri dari kungkungan sang suami. "Lepas ih, Abang. Ada Hamsya!"
Dengan usil Hamizan kian mendekatkan wajahnya agar semakin melihat dengan jelas raut jengkel yang ditampilkan Naqeesya.
Tak kehabisan akal, Naqeesya pun menutup permukaan wajah Hamizan dengan telapak tangannya. "Sya nggak suka ya ditatap dengan jarak sedekat ini. Sya nggak suka!"
Detik itu juga tawa Hamizan pecah tak terbendung. "Nggak suka atau salting, hm?"
Naqeesya menghentak kasar kedua kakinya. "Nggak suka!"
Tangan yang semula melingkar apik di pinggang Naqeesya kini beralih melingkari leher sang istri. "Sya ..., lain kali bisa ya izin Abang dulu kalau mau keluar? Abang bukan mau mengekang, Abang cuma khawatir."
Naqeesya terdiam beberapa saat. Tidak menyangka akan menerima teguran sehalus itu dari sang suami.
"Abang tahu Sya itu suka banget jajan, tapi bisa, kan jangan minta putrinya buat ngejar pedagang? Kita teh nggak pernah tahu ada bahaya apa di luar sana. Sya, kan suka teriak-teriak, ya udah teriakin aja dulu pedagangnya, sambil Sya berusaha nyari uang di dompet Abang."
Hamizan mengelus puncak kepala Naqeesya secara perlahan. "Abang cuma khawatir sama istri dan anak abang. Cuma itu aja, jadi bisa ya kalau mau apa-apa bilang dulu sama Abang?"
Naqeesya pun mengangguk patuh. "Maafin Sya ya, Abang."
Hamizan semakin mengeratkan pelukannya. "Abang udah maafin. Sekarang Sya lanjutin dulu aja makan kue putunya, jemur pakaian mah bisa nanti."
"Sekarang juga nggak papa kok."
"Nanti ya."
Padalarang, 29 Desember 2024
Kukasih bonus satu extra part 😚🤫 ... Spesial sebelum ganti tahun 😆 ... Gimana? Suka nggak?
Mau tambah? Ramaikan dulu lah! 🤣✌️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro