Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

Kalau kata Blorong Cilik, yang sesuai juga dengan apa yang pernah dibaca Hamlin Murai di suatu buku, kalau tujuanmu menggasak kakap, incar dulu teri. Dan itulah yang dilakukan Hamlin Murai setahun lamanya. Sampai ia benar-benar yakin dapat masuk ke pikiran orang dengan mudah, tanpa perlu bertatapan mata.

Hamlin Murai melakukan hal-hal kecil, dimulai aksinya dengan beraksi sulap tebak kartu. Sulap tebak kartu dilakukannya selama hampir satu bulan. Untuk perkenalan dan membangun nama. Setelah tebak kartu, Hamlin Murai melancarkan aksi membaca pikiran, seperti angka acak, tanggal ulang tahun dan apa yang tadi pagi dimakan. Di sekolah ia jadi topik pembicaraan. Bahkan pernah di suatu kelas, Hamlin Murai diundang oleh si guru kelas dan diminta mempraktikkan kemampuan mengingat yang mumpuni. Guru kelas itu menganggap apa yang dilakukan Hamlin Murai adalah karena kapasitas memori dalam kepalanya besar. Halmin Murai tidak menolak. Justru bagus, ia jadi bisa latihan lebih sering. Guru kelas itu menjejerkan sepuluh muridnya di depan kelas. Mereka diminta untuk menuliskan tanggal lahir di sebuah kertas. Tugas Hamlin Murai kemudian adalah mengingat tanggal itu. Lalu membacakannya satu per satu dengan kertas tertutup. Itu masalah gampang buat Hamlin Murai. Ia bahkan tak perlu repot-repot menghapal. Semua tinggal dibaca melalui mata. Guru kelas kemudian menambah lagi jumlah murid di depan menjadi dua puluh. Hamlin Murai ulangi lagi yang barusan. Selesai dengan mudah dan cepat. Tapi ada yang unik, Hamlin Murai agak lama menatap mata seorang siswi. Terbaca cepat olehnya bahwa gadis kelas enam itu pernah dicabuli oleh si guru. Hamlin Murai segera menggelengkan kepala. Pengetahuan itu menohoknya. Ia jadi kepikiran sepanjang perjalanan pulang sekolah. Apa yang harus ia lakukan?

Niatnya dalam menggunakan kemampuan ini adalah untuk membela kebenaran. Terutama akal bulus yang dirasa tengah sedang digencarkan oleh Saman King. Hamlin Murai tak menyangka, ketika dihadapkan dengan persoalan yang sesungguhnya, yang tak semenyenangkan tebak kartu, ia sungguh berdebar dan was-was. Ia konsultasikan masalah ini dengan Blorong Cilik. Duh, ia sampai terlena, sudah berminggu-minggu tak menuju gua di pantai.

"Sudah mulai lupa denganku, rupanya?" tegur Blorong Cilik, terdengar sebal.

"Maaf, sekolah lagi suka pulang sore."

"Pulang sore apa pulang sore?"

"Aku melatih anugerah sejatiku."

"Oh, sudah semahir apa?"

Hamlin Murai pun menceritakan apa yang didengarnya dari si gadis cilik, sebut ia Melati. "Apa yang harus kulakukan? Supaya tidak menyusahkan banyak pihak."

Blorong Cilik terdiam lama. Tidak tampak sedang berpikir. Hanya memandang enteng ke Hamlin Murai. Lalu mengembuskan napas bosan yang cukup panjang. "Manusia dan problematikanya. Huh, membosankan dan merepotkan."

"Jadi, apa yang perlu kulakukan?"

"Sesungguhnya, aku sudah lama tak berurusan dengan masalah klise manusia. Aku lebih memikirkan masalah keberlangsungan Ndoroalas. Alamnya, lingkungannya. Jadi, maaf, aku tak bisa membantumu untuk yang ini. Kau perlu petunjuk ayahmu. Sepertinya dia punya cara."

"Kalau begitu, aku ceritakan saja apa yang kupunya kepadanya?"

"Sebaiknya begitu, ibumu juga jangan ketinggalan."

"Baiklah."

Hamlin Murai mau pamit pulang, tapi dicegah oleh Blorong Cilik. Tangannya digamit. "Tunggu, sebelum kau pulang, coba baca pikiranku sekarang ini. Aku mau tahu kau sudah sejauh mana."

Hamlin Murai masuk tanpa melalui mata Blorong Cilik. Tapi ia tetap menatap mata hijau yang cantik itu. Ia kemudian terkejut dengan apa yang ada di pikiran Blorong Cilik. Ia memastikannya dengan menyiarkan sorot mata, "serius?" Blorong Cilik mengangguk. Hamlin Murai berdebar, kakinya lemas, ini pertama kalinya ia melakukan itu terhadap lawan jenis, yang bukan manusia. Hamlin Murai, perlahan-lahan mendekatkan wajahnya ke wajah cantik Blorong Cilik yang kini sudah tak berkulit hitam dan berambut gimbal lagi. Bibir mereka saling bertemu, mengecup. Tak disangka, Blorong Cilik menginginkan ciuman yang lama. Ia memeluk Hamlin Murai, tak membiarkannya pergi terlalu cepat.

"Aku rindu kau, Hamlin Murai. Jangan absen terlalu lama."

Perkataan itu terngiang sepanjang Hamlin Murai pulang. Ia pun terus terbayang bibir yang saling bertemu itu. Lembut. Basah. Manis. Sepanjang jalan kaki, lututnya lemas dan jantungnya berdebar tak karuan. Pikirannya terkenang wajah dan mata cantik Blorong Cilik. Waktu sampai rumah untuk menceritakan masalahnya pun, Hamlin Murai jadi buyar konsentrasinya. Ia menggigil. Entah sihir atau nyata yang tadi itu, sepertinya Blorong Cilik sempat berubah jadi wanita dewasa. Dan tangan Hamlin Murai dibimbing untuk menyentuh buah dadanya. Menggigil kemudian demam. Hamlin Murai naik ke tempat tidur dan menyelimuti diri. Giginya sampai bergemeletuk. Keningnya panas. Ibunya tahu itu dan segera mengompresnya.

Hamlin Murai terbangun sekitar jam sepuluh malam. Ia menemukan dirinya di depan cermin lemari, ia nyalakan lampu untuk memastikan. Ada yang berubah dari dirinya. Kulitnya. Warna kulitnya bukan albino lagi. Kulit cerah. Ia memberitahukan ayah dan ibunya. Keduanya bersyukur. "Keajaiban itu nyata, Gusti Pangeran terima kasih."

Dengan begini, Hamlin Murai bisa percaya diri dalam bergaul lagi.

"Kau tidak merasakan hal-hal yang tak enak kan, nak?" tanya anaknya.

"Tadi sempat demam sedikit, Yah. Tapi tidak ada yang membuat menderita."

"Syukurlah. Kau bergembiralah."

Hamlin Murai tersenyum merekah. Ia teringat Blorong Cilik. Mungkin ini berkatnya. Terima kasih Blorong Cilik, kata hati Hamlin Murai. Ketika ia melanjutkan tidur, ia bermimpi bertemu Blorong Cilik sebagai wanita dewasa. Begitu anggun. Hamlin Murai menanyakan kepadanya, "Apakah ini karena ciuman tadi? Sehingga kulitku berubah warna?"

"Kau berhak menerimanya." Blorong Cilik tersenyum anggun. "Supaya apa yang akan kau lakukan kedepannya bisa mudah diterima oleh orang banyak."

"Terima kasih banyak, Blorong Cilik, eh maksudku, Dewasa."

"Lihatlah dirimu."

Hamlin Murai melihat dirinya sendiri, dalam wujud dewasa pula.

"Sekarang, berikan aku ciuman lagi." pinta Blorong Dewasa.

Hamlin Murai pun memberikannya dengan senang hati. Di pagi hari ia terbangun dengan celana basah. Meski begitu, ia bangun dengan ringan, riang dan bersemangat. Ia mendapat ide untuk menghadapi persoalan Melati.

Di sekolah, saat istirahat, Hamlin Murai sengaja menuju kantin yang letaknya dekat dengan kelas enam. Ia mencari-cari keberadaan Melati. Dari jarak yang cukup, Hamlin Murai membuka memori Melati. Itu berlangsung selama dua detik. Informasinya cukup membuat Hamlin Murai geram dan membenci si guru kelas. Pulang sekolah ia mampir sebentar ke gua, mencium lagi Blorong Cilik, lalu pulang untuk membeberkan semua ini kepada ayahnya.

Pertama ayahnya takjub, "ajaib, keajaiban itu nyata. Gusti Pangeran, Engkau selalu memberkahi keluarga ini dengan kuasaMu!" ketika mendengar Hamlin Murai bisa baca pikiran. Itu diuji coba dengan ayahnya memikirkan sederet angka rumit, yang dengan mudah Hamlin Murai ulangi. Kedua, ayahnya geram, "kurang ajar, kupikir guru-guru di sekolahmu baik-baik perangainya. Ternyata ada yang bejat juga. Ini tak boleh dibiarkan. Kasihan temanmu Melati itu." Ketika mendengar cerita Hamlin Murai tentang kasus pelecehan yang didapatnya dari memori Melati.

"Apa yang perlu kita lakukan, Yah? Agar Melati tetap aman dan nyaman."

"Kau hanya bisa membuatnya aman. Kenyamanannya sudah direnggut oleh guru bajingan itu."

Ayah Hamlin membuat rencana. Pertama Hamlin harus berteman dengan Melati dulu. Buat Melati percaya dengan Hamlin. Lalu ayah Hamlin akan masuk kemudian, untuk membantu bicara dengan orangtua Melati. Menjelaskan rencana untuk membawa kasus itu ke pengadilan. Dan rencana yang mungkin kurang mengenakkan, untuk menguatkan bukti.

"Tapi kita harus hati-hati, jangan sampai rencana ini terdengar oleh guru bajingan itu. Bisa gawat keselamatan Melati. Atau, kau bantu pantau Melati. Takutnya, si guru bajingan itu melakukannya lagi. Ketika itu terjadi, kau rekam atau foto. Ah, ayah sepertinya perlu beli. Besok pagi ayah akan ke kecamatan."

"Terima kasih, Ayah."

"Kau anak ajaib yang baik, Hamlin Murai. Namamu bukan sekadar nama."

Tapi ternyata untuk mendekati Melati dan jadi temannya, susah. Mungkin karena ia sudah dilecehkan oleh si guru bajingan, dirinya jadi tertutup. Melati kelihatan murung setiap waktu. Hamlin Murai menyengajakan diri sering beredar di depan kelas enam. Untuk bermain sulap tebak-tebakan dan lain-lain. Kadang ia melihat ketika kerumunan tercipta karena Hamlin Murai beraksi, ada Melati di sana dan ikut terkagum dengan tepatnya tebakan Hamlin Murai. Hamlin Murai jadi bingung dan meragu, dengan cara apa ia bisa berteman dengan Melati.

Biar waktu yang menjawabnya. Pulang sekolah Hamlin Murai selalu menyempatkan menengok Blorong Cilik yang semakin cantik itu. Entah, sepertinya ia sengaja mencantikkan diri di depan Hamlin Murai. Dan selalu, setiap ia mau pulang, dimintai cium dulu. Padahal tadinya sempat sebal karena rencana Hamlin Murai yang ingin berteman dengan Melati.

Kemudian Hamlin Murai teringat, "Gagak!"

Tepat ketika ia selesai mengatakan itu dengan hampir berteriak, ada gagak yang turun. Mendarat di telapak tangannya. Matanya bertatapan dengan mata hitam gagak. "Seandainya kau bisa jadi mata-mataku."

Ada yang membalas dalam kepala, bahasa gagak, tapi Hamlin Murai paham. Gagak bilang kalau mereka memang hadir sebagai mata-mata Hamlin Murai. Mereka hanya menunggu sampai Hamlin Murai menyadari anugerah sejatinya. "Ini lebih bagus." Jadi ketika ada gelagat, si guru bajingan hendak mencabuli Melati lagi. Hamlin Murai akan segera tahu, ia akan segera lari cepat dan memfoto tindakan bejat itu.

Hamlin Murai jadi nyaman dengan gagak-gagak yang mengikutinya. Mereka itu tak bisa dilihat oleh orang awam. Hamlin Murai menjajal kemampuan barunya, pikirannya terhubung dengan gagak-gagak hitam. Apa yang dilihat gagak, bisa dilihat pula olehnya, dalam satu waktu. Ia mengirim satu gagak menuju gua di pantai. Blorong Cilik masih di sana dan memberi kecupan pada kepala gagak. Kecupan itu ternyata berasa di kening Hamlin Murai. Ajaib. Ia menyadari dengan penuh sekarang, sedari dulu lahir, dirinya telah bersinggungan dengan sihir. Sihir itu nyata.

Sementara itu, Saman King tampak terlihat lebih sering beredar di hutan keramat. Ia membawa beberapa orangnya dan tengah mendiskusikan sesuatu. Gus Taman yang mendapatkan laporan itu mencoba memastikan, ia datang dan mendapati Saman King sedang di sana. Raja minyak itu duduk santai di kursi lipat. Terlihat ada boks pendingin berisi botol minuman bersoda serta bungkus cerutu.

"Sore, Mas Saman." Tegur Gus Taman.

"Oh, Pak Kades. Silakan duduk Pak." Saman King memerintah orangnya untuk memberikan tempat duduk satu lagi.

"Kalau boleh tahu, kok jadi sering nongkrong di sini ya?" Gus Taman memulai, tanpa basa-basi.

"Apakah tidak boleh, Pak?"

"Oh tentu boleh-boleh saja. Saya cuma penasaran saja, mungkin ada kenangan di sini, begitu?" terpaksa Gus Taman menyelipkan basa-basi.

"Saya dari dulu suka hutan, Pak. Kedatangan saya ke desa ini, salah satunya adalah kangen dengan hutan tanpa nama ini." Itu terdengar seperti sampah di telinga Gus Taman.

"Oh, begitu." Selanjutnya Gus Taman malas meluncurkan kalimat basa-basinya. Kentara sekali ia mencium sesuatu yang lain dari kegiatan Saman King di pinggir hutan. Selanjutnya, mereka ditemani keheningan. Setelah botol minumnya habis, Gus Taman pamit pergi. "Baik, saya pulang dulu. Silakan menikmati suasana yang Mas Saman rindukan."

Raja minyak itu hanya mengangkat botolnya.

Diam-diam, Hamlin Murai juga memperhatikan hal tersebut. Ia selalu melihat Saman King di pinggir hutan saat pulang dari gua di pantai, ia memutuskan ambil jalan pintas yang tak terlihat. Dan diam-diam, Hamlin Murai juga mengedarkan gagak hitam di sana. Bertengger tenang di ranting pohon. Hamlin Murai sudah belajar membagi koneksinya. Dalam satu waktu, gagak-gagak dikirim ke tempat berbeda, dan bergantian, Hamlin Murai mengambil alih pandangan gagak. Hamlin Murai mengungkapkan hal itu kepada ayahnya.

"Pasti ada sesuatu. Ada rencana. Setelah aspal dan pesta besar-besaran, bagi-bagi hadiah, mau apa lagi dia?"

"Membabat hutan?" kata ibu Hamlin.

"Kalau itu terjadi, aku siap perang."

Beberapa minggu kemudian, Saman King mengadakan pesta lagi dalam rangka rampungnya pembangunan kamar mandi umum. Warga antusias berdatangan, terutama karena sajian makanannya. Fasilitas kamar mandinya nomor dua. Ada panggung dangdut didirikan demi memeriahkan suasana.

Suara musik dangdut yang kencang itu sampai ke padepokan Kong Jaal. Guru silat itu merasa terganggu. Ia datang dan minta dangdutnya dibubarkan. Saman King datang menghadapinya. "Tak usah marah-marah begitu, kisanak. Bilang dengan baik toh bisa."

Saman King kena tempeleng.

"Makan itu. Itu belum seberapa. Kau mungkin hanya akan pusing seminggu. Bukan tujuh turunan." Kong Jaal geram. Ia mengumpulkan energi di tangannya dan mengempaskannya ke tanah. Tahu-tahu mesin diesel untuk menyalakan listrik panggung, padam belaka. Kong Jaal pulang diiringi cemoohan warga yang tak terima hiburannya dihentikan. Gus Taman yang ada di tempat, sangat menyayangkan kejadian ini.

Belum ada seminggu kemudian, ada yang terjadi dengan padepokan Kong Jaal. Dan itu amat sangat menyedihkan. Padepokan Kong Jaal memiliki setidaknya seratus murid. Dan di hari minggu yang nahas, tanpa siapa pun dapat berfirasat bakal adanya kejadian, murid-murid itu mati keracunan. Kong Jaal pun terlambat mengetahui. Ia masih berdiam di ruang pribadinya. Baru ketika ia ingin berbicara dengan murid kepercayaannya, dipanggil tidak menyahut, ia hampiri ke rumah makan padepokan. Kong Jaal, seperti saat melihat kekasihnya mati diterkam macan jadi-jadian, tercekat bisu melihat seratus muridnya mati dengan mulut berbusa dan mata mendelik.

Merasa gagal sebagai guru silat. Kong Jaal pergi menuju Gus Taman dan minta diantar ke kantor polisi.

Sayangsekali, Kong Jaal tidak tahu ada satu muridnya yang selamat. Murid baru yangdulu tidak diwawancarainya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro