Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Pantai di dekat Ndoroalas itu sebenarnya tidak dibuka untuk umum. Lagipula pesisir pantainya termasuk pendek. Dan pantai itu, kalau menurut penuturan Kang Pait, sama keramatnya dengan hutan Ndoroalas. Kedua tempat itu sama-sama tak diberi nama. Mereka hanya menyebutnya hutan keramat dan pantai keramat. Untuk pantainya sendiri, banyak warga yang lupa kalau Ndoroalas ada pantainya. Itu agar mereka tidak neko-neko datang ke pantai, apa pun alasannya. Menurut penuturan tukang sayur keliling, Jan Satro, pantai itu dijaga oleh ratu ular yang juga tak bernama. Jan Satro mengait-ngaitkan ular itu dengan Nyi Blorong serta Nyi Roro Kidul. Ketika ditanya seberapa besarnya ular yang menjaga pantai, Jan Satro menjelaskan ular itu luar biasa sangat besar sehingga bisa saja melilit pulau Jawa itu sendiri. Tak masuk di akal memang. "Hal-hal gaib itu, semuanya memang di luar nalar." Begitu kata Jan Satro.

Hamlin Murai adalah teman Blorong Cilik yang baik. Ia tentu saja tidak membocorkan keberadaan si Blorong Cilik ketika nama Nyi Blorong disebut. Hamlin Murai pernah baca buku yang menyinggung tentang Nyi Blorong. Dinyatakan ia adalah panglima terkuat dari ratu penguasa laut selatan. Wujudnya wanita cantik dari kepala sampai pinggang, sisanya seperti ular. Dan kalau bulan purnama tiba, Nyi Blorong akan menjadi ular sempurna, raksasa dan sangat kuat. Itu sama sekali tidak seperti Blorong Cilik yang berkulit hitam dan berambut gimbal serta giginya banyak yang berkarang. Blorong Cilik pernah berpesan kepada Hamlin Murai, "jaga keberadaanku dari pengetahuan orang-orang Ndoroalas. Keberadaanku di sini hanya untukmu seorang."

"Kenapa begitu?"

"Karena kau istimewa. Kau seharusnya tahu itu."

Dan sejak kedatangan raja minyak Saman King itu, Blorong Cilik tampak resah, itu diungkapkannya kepada Hamlin Murai setelah mereka latihan kemampuan yang baru, "Aku merasakan, entah tidak lama lagi atau kapan, pantai ini akan dirusak oleh si pendatang."

"Maksudmu, Saman King?"

"Mungkin."

"Aku akan usahakan sekuat tenaga untuk mencegahnya." Hamlin Murai bertekad. Ia tak mau sahabatnya itu kehilangan tempat bermain. "Ayah dan ibuku beranggapan lain juga tentangnya. Ada akal bulus yang terendus oleh orangtuaku tentangnya. Aku pun, merasa tak nyaman dengan kehadiran orang itu. Tapi, orang-orang seperti disihir untuk menyukainya. Seperti disuap."

"Nah, kau semakin peka." Blorong Cilik menjentikkan jarinya.

"Kau yang mengajari bukannya."

"Saman King. Hmm. Nama yang norak ya?" Blorong Cilik tertawa sambil mendengus. "Tapi kau dan orangtuamu harus waspada. Kalau perlu kadesmu juga perlu diberitahu apa yang kalian khawatirkan. Terutama, apa yang kukhawatirkan. Sampaikan, tapi jangan bongkar keberadaanku. Kadesmu yang sekarang itu orang baik, walau bicaranya kurang mengenakkan. Setidaknya, dia cukup waras untuk menilai mana yang baik dan buruk. Saman King itu, jiwanya sudah tercemar, aku bisa mencium aromanya dari sini. Tak baik untuk Ndoroalas."

"Aku pun heran. Dia terlalu tajir. Datang-datang ke Ndoroalas, jalanan dibuat jadi beraspal olehnya. Pengaspalan jalan kan mahalnya selangit."

"Itu dilakukannya untuk?" Blorong Cilik menguji.

"Menarik hati orang-orang."

"Tepat. Kau bisa melakukan itu dengan uang. Uang adalah senjata mematikan. Sayangnya, orang-orang masih banyak yang tak sadar."

"Bagaimana cara menyadarkan mereka ya? Pasti sulit."

"Sulit memang, tapi perlu kauupayakan."

"Aku?"

"Ya kau, tentu saja. Gunakan kemampuanmu yang baru itu untuk mengungkap kebenaran."

"Mencuri dengar pikiran orang, begitu maksudmu?"

"Kau itu, tak usahlah menanyakan hal-hal yang sudah jelas. Kebanyakan tanya, dasar."

"Ya bagaimana, kan apa-apa perlu konfirmasi, biar tidak salah saat menjalankannya. Aku gak salah kan."

"Terserah." Mereka berdua tertawa.

Kembali ke beberapa saat lalu.

"Apa yang bangkit dari dalam diriku?" Hamlin Murai bukannya bodoh untuk tidak menyadarinya. Ia hanya ingin meyakinkan diri bahwa dugaannya benar.

"Anugerah sejatimu."

Hamlin Murai hampir tersedak mendengar dua kata itu. Ia tercenung selama sekian menit. Dalam benaknya, ada yang sedang merangkai. Kejadian-kejadian sebelumnya, merangkai menjadi satu. Satu petunjuk yang dapat dipahaminya. "Selama ini, setiap hari ulang tahunku. Penderitaan yang kualami di kepala sampai badan, adalah pertanda anugerah itu sedang mewujud?"

Blorong Cilik tersenyum simpul. "Teruskan."

"Dan selama aku belum mampu mengendalikannya, atau menerimanya sepenuh hati, setiap tahun akan selalu menderita?"

"Lanjutkan."

"Kalau aku bisa mengendalikannya, sekarang, penderitaan itu akan hilang di tahun berikutnya."

"Kau harus sepenuhnya sadar. Kenali diri sendiri. Berkenalanlah dengan apa yang ada di dalam diri. Sambut ia dengan senang hati. Dengan perasaan ingin tahu dan bersahabat."

"Selama ini, aku kesal karena hal itu membuatku sakit tak terperi."

"Rasa sakit itu ada agar kau belajar."

Dan celekit dalam kepala itu muncul kembali disertai dengan dengung panjang yang menggetarkan rongga telinga. Hamlin Murai memosisikan diri duduk bersila, memejamkan mata. Ia meringis menikmati sakit yang lewat. Dengung-dengung dalam rongga telinganya ia terjemahkan menjadi bahasa. Untuk kemudian ia salurkan melalui urat syaraf menuju otak. Ada semacam entakan di dalam benaknya. Seketika itu ia membuka mata. Takjub.

"Kau mendengar sesuatu?" tanya Blorong Cilik. Posisi Hamlin Murai seperti terjengkang ke belakang, wajahnya melongo, menatap mengambang ke udara sekitar.

"Suaramu." Hamlin Murai takjub.

"Jadi, beritahu aku lagi. Apa anugerah sejatimu?"

"Aku bisa mendengarkan pikiran orang." Hamlin Murai meremas kepalanya. Ada denyut-denyut asing yang merambat di bawah lapisan kulit kepala. Sensasi yang membuatnya gatal. Ia garuk-garuk.

"Hentikan, kau seperti kera."

Hamlin Murai berhenti menggaruk. Ini proses kesadaran dirinya. Seperti aliran darah menuju bagian tubuh yang sebelumnya tersumbat. Seperti jarimu ketika habis diikat dengan karet. Berangsur-angsur kembali normal, setelah sebelumnya membiru. Seperti kesemutan.

"Sekarang, itu senjatamu. Peranmu besar ke depannya. Gunakan anugerahmu itu sebaik-baiknya."

"Untuk kebaikan."

"Benar."

"Sekarang, bacalah pikiranku. Kau akan tahu. Pertanyaan-pertanyaanmu tentangku akan terjawab sendirinya. Kau bisa masuk ke dalam pikiran orang. Cobalah."

Hamlin Murai agak gugup untuk memulainya. Ia memandangi lekat-lekat mata Blorong Cilik. Dipikirnya, kalau disimak lama-lama, Blorong Cilik cantik juga. Seperti legenda Nyi Blorong yang memang cantik itu. "Cobalah dengan hal yang paling awal pernah kau ingin tanyakan. Jangan langsung sekaligus." Pesan Blorong Cilik.

Hamlin Murai berkonsentrasi. Ia memandang mata cantik Blorong Cilik yang kehijauan itu. Kata orang dan kata buku, mata adalah jendela hati manusia. Hamlin Murai membayangkan ia mata Blorong Cilik sebagai pintu jiwa, ia ketuk dan ucapkan salam. Mengetahui pintu itu tak terkunci, ia masuk. Di dalam sana, ia membayangkan menemukan ruang-ruang tempat rahasia-rahasia tersembunyi. Di tiap ruang itu terdapat pintu juga yang berlabelkan kertas dengan tulisan pertanyaan yang pernah ditanyakannya. Ia mulai dengan pintu dengan tulisan, "Siapa Blorong Cilik sebenarnya".

Hamlin Murai lama berada dalam ruangan itu. Ia membaca, atau tepatnya melihat, jati diri Blorong Cilik di dinding ruangan rahasia itu melalui tulisan-tulisan dan gambar yang bergerak. Seperti menonton televisi. Belakangan nanti, Blorong Cilik menyebut itu sebagai regresi. Melihat ke belakang. Melalui pikiran orang.

Prosesnya terasa lama, tapi di dunia nyata barulah berlangsung sedetik atau kurang. Hamlin Murai terjengkang lagi ke belakang. Ia terengah-engah. Ia benar-benar tak menyangka, selama ini berhadapan dengan siapa. Blorong Cilik adalah entitas luhur. Melebihi siapa pun di Ndoroalas. "Engkau..." Hamlin Murai kehabisan kata-kata.

"Ya. Tak usah kaget begitu."

Pandangan Hamlin Murai kini teramat beda kepada Blorong Cilik. Ia jadi memujanya. Tak ia sangka selama ini ia berhadapan dengan sang legenda itu sendiri. "Ada yang ingin kau telusuri lagi?" Blorong Cilik menawarkan.

"Mungkin cukup untuk hari ini. Tadi itu saja membuatku terpana luar biasa. Sepertinya, aku perlu istirahat dulu sekarang. Nanti kita lanjut lagi. Membahas hal lain." Hamlin Murai merasakan kantuk menggantung di mata, proses regresi itu menguras energi. Di dalam gua, ia telah sediakan tempat untuk bertamasya. Sebuah tikar dengan bantal. Ia gelar dan tidur di sana. Blorong Cilik mengamatinya sambil tersenyum. Seperti seorang guru menyaksikan muridnya berhasil mengikat tali sepatu. Setelah Hamlin Murai terlelap, Blorong Cilik ikut tidur di samping Hamlin Murai, memeluknya dari belakang.

Mungkin di sana, muncul bibit cinta. Tak peduli usia masih belia.

Saman King makin sering beredar di Ndoroalas. Kadang naik mobil sembari dikawal. Kadang jalan kaki sembari dikawal. Kadang juga naik sepeda, juga sembari dikawal. Saman King sudah seperti presiden yang datang berkunjung. Ia menyapa warga Ndoroalas dengan senyum lebar. Bertamu di setiap rumah selama kurang dari lima belas menit. Dan di setiap kunjungan rumah itu, warga yang lain juga ikut berkumpul. Mereka seperti melihat bintang mentereng. Saman King disajikan makanan mewah yang bisa dihadirkan setiap rumah. Yang selalu hanya ia cicipi satu sendok saja. Hanya satu tempat saja yang tidak pernah ia datangi, yaitu padepokan Kong Jaal. Ia masih merasa terhina oleh Kong Jaal.

Rumah Hamlin Murai tak ketinggalan. Di situ Saman King bertamu cukup lama. Terutama karena tertarik dengan peliharaan burung murai di sangkar. "Burung bagus. Suaranya bagus. Berminat untuk dipindahtangankan?" katanya tanpa tedeng aling-aling.

Ayah Hamlin menjawab ramah tegas. "Itu milik anak kami, Hamlin Murai. Dia pasti sedih kalau murai peliharaannya pindah tangan."

"Benar, burung murai itu tidak dijual, tuan Saman King." Kata Halmin Murai dengan nada ketus. Ibunya menyenggolnya untuk bersikap lebih ramah.

"Oh tidak apa-apa. Saya bisa dapatkan murai dari tempat lain. Hanya saja, yang ini unik. Ngomong-ngomong, namamu bagus, Nak." Saman King yang berperawakan tinggi, persis dengan postur orang arab, agak membungkuk untuk berbicara dengan Hamlin Murai. "Hamlin Murai, dari dongeng pesuling Hamlin dan burung cantik ini. Perpaduan yang manis. Pasti ada filosofinya. Bukan begitu?"

Setelah Saman King angkat kaki dari rumah Hamlin Murai, ayah Hamlin mendesah lega. "Aku tak tahan dengan orang itu."

"Aku juga. Aku curiga, kegiatannya ini hanya untuk membeli warga Ndoroalas. Ada agenda yang disembunyikannya." Ungkap istrinya.

"Kita perlu waspada. Waspada itu perlu."

Hamlin Murai tadi mencoba masuk melalui mata Saman King, tapi ia belum terlalu mahir melakukannya. Ia tak sempat mengambil informasi apa pun dari Saman King. Sama seperti ayah dan ibunya, Hamlin Murai agaknya muak juga dengan gelagat raja minyak itu.

Di acara keliling desa itu Saman King beberapa kali memberi hadiah kepada warga yang terpilih. Ada yang diberi sepeda. Ada yang diberi motor. Ada yang diberi televisi. Ada yang diberi kulkas. Ada yang diberi jam tangan. Macam-macam. Yang diberi selalu mencium kaki Saman King. Ketahuilah, di setiap gerak-gerik Saman King, Gus Taman mengawasi. Ia sebagai kades, agaknya merasa curiga dengan kedermawanan yang menurutnya berlebihan itu.

Gus Taman diam-diam menyuruh orang kepercayaannya untuk menyelidiki latar belakang Saman King alias Maryaman itu. Informasi yang ia dapat baru seputar Saman King adalah pengusaha sukses di ibukota. Ia memiliki beberapa perusahaan yang mempekerjakan ribuan orang. Bisnisnya mencakup banyak hal. Termasuk minyak dan gas bumi, makanan cepat saji, garmen, percetakan, media massa dan beberapa yang lain. Pencapaian itu membuat Gus Taman geleng-geleng takjub. Putra seorang Gus Gombong tamak itu begitu melampaui ayahnya. Gus Taman seharusnya senang desa Ndoroalas dibuat lebih modern oleh Saman King. Rumah-rumah yang tak ada kamar mandi, Saman King buatkan. Bahkan ada satu tempat mandi umum yang lagi dibangun sekarang ini. Gus Taman melihat itu semua seperti ada niat tersembunyi yang lain. Ini yang meresahkannya. Di malam-malam menggelisahkan, ia menghadap Gusti Pangeran, bermunajat dan minta petunjuk. Jangan-jangan ini hanyalah kecemburuannya saja. Sudah biasa ketika seorang yang dianggap tinggi, akan cemburu terhadap orang baru yang datang ternyata lebih tinggi posisinya. Dalam hal ini, lebih kaya darinya. Semakin ia melakukan itu, semakin yakin dirinya hanyalah cemburu. Maka, kedepannya, ia membiarkan saja Saman King berbuat sesuka hati. Toh, warga desa Ndoroalas senang. Asal jangan berbuat merusak saja. Kalau itu terjadi, Gus Taman yang akan menentang paling depan.

Hamlin Murai sadar dengan anugerahnya. Ia berniat untuk memanfaatkannya dengan maksimal. Ia ingin mengungkap kebenaran. Pertama untuk membuktikan kegelisahan-kegelisahan orangtuanya. Maka ia mencobanya kecil-kecilan dengan berbaur dengan teman-teman Ndoroalasnya. Sepulang sekolah ia akan ikut berkumpul di pos cangkrukan, bergabung dengan teman-temannya yang sedang belajar main kartu remi. Ia menyatakan diri bisa sulap. Teman-temannya tak percaya. Hamlin Murai pun membuktikannya. Ia minta temannya mengocok kartu sampai puas. Lalu memilih satu kartu. Hamlin Murai memutar badan supaya tak dianggap mengintip. Ia sama sekali tidak menyentuh kartu, itu yang ditekankan kepada teman-temannya. Temannya sudah memikirkan kartu yang tadi dipilihnya. Hamlin Murai menembus masuk melalui mata teman-temannya. Ia dapatkan kartu terpilih itu. "Tujuh wajik." Masih tanpa menyentuh kartu.

Teman-temannya melongo, "wah benar! Lagi-lagi." dan sampai maghrib menjelang, Hamlin Murai menghabiskan waktu menebak kartu pilihan teman-temannya. Bahkan Jan Satro yang pulang dari pasar pun ikut memilih kartu dan meminta Hamlin Murai menebaknya.

"Hebat, akhirnya desa kita punya seorang pesulap!"

Dan sembari itu, Hamlin Murai membaca kejujuran mereka dalam memuji. Ia mendapati, semuanya tulus terkagum. Ada mungkin satu saja yang menganggap itu terlalu ajaib, dan menganggap Hamlin Murai aneh. Selebihnya, semua terhibur dan bahkan minta diajari triknya. Halmin Murai berkelit, "Pesulap yang baik adalah yang tidak membocorkan rahasianya."

Semuanyabertepuk tangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro