
7
Kedatangan Saman King membawa aura perubahan yang signifikan. Warga Ndoroalas menyaksikan truk-truk material bergantian masuk ke desa. Hal itu menyebabkan jalan rusak dan tanah tercetak ban besar truk. Gus Taman sempat menegur Saman King. Orang yang pulang kampung itu kemudian menjanjikan akan memperbaikinya setelah rumah istananya selesai dibangun. "Saya akan buat jalanan desa ini beraspal. Seperti di kota."
Gus Taman memikirkan biaya untuk membuat jalan beraspal pasti amat mahal. "Tenang, anggap ini bentuk kontribusi saya terhadap kampung halaman. Jangan dipikirkan berat-berat. Saya ikhlas. Demi Ndoroalas." Begitu kata Saman King, menambahkan. Gus Taman memberitahu warga yang lain melalui surat edaran. Warga desa kemudian menyambut kontribusi Saman King dengan gembira. Desa mereka akan jadi desa modern, mereka senang karena itu. Tak ada lagi jalanan becek. Hore.
Dan benar, setelah truk besar mondar-mandir masuk Ndoroalas, menyusul truk pengangkut aspal beserta stom untuk menggilas aspal tersebut sampai rata. Aroma Ndoroalas jadi berubah. Gus Taman awalnya berpendapat jalanan aspal ini merupakan penghamburan uang saja. Sebab hanya Gus Taman saja yang punya mobil di Ndoroalas. Sisanya, warga lebih suka pakai sepeda atau jalan kaki. Kini dengan hadirnya jalanan beraspal itu, anak-anak minta dibelikan sepeda untuk balapan di aspal, seperti yang mereka tonton di televisi tetangga. Rupanya, jatuh di tanah lebih enak daripada jatuh di aspal. Luka yang didapat oleh anak-anak ketika sepeda mereka nyungsruk, mengirim pengendaranya bergelinding mencium aspal. Aspal itu keras. Apalagi ketika mereka melakukannya di aspal yang belum kering benar. Habis mereka dimarahi ibu yang susah payah mencuci baju ketempelan kerikil dan cairan aspal. Apa daya, sudah dilarang tapi tetap ketagihan balapan di jalanan aspal, karena anak-anak begitu senang jalanan desa sangat bagus. Tertular oleh antusiasme anak-anak, Gus Taman membawa mobilnya yang jarang sekali dipakai untuk jalan-jalan keliling desa. Itu dilakukannya sesekali di sore hari. Ia mengajak serta tiga atau empat warga untuk masuk mobil van yang muat untuk tujuh orang. Anak istri Gus Taman pun selalu ikut untuk merasakan berkendara di aspal mulus.
Aroma aspal itu sampai juga ke padepokan Kong Jaal. Semua jalan yang mengakses ke segala tempat di Ndoroalas, telah dilapisi aspal semua. Bahkan jalanan sempit di depan bibir bukit serta hutan keramat sudah diaspali juga. Depan padepokan Kong Jaal tak dilewatkan juga. Kong Jaal yang masih meratapi kepergian Bik Muyah, terganggu dengan aroma aspal panas. Ia akhirnya keluar dari ruangan pribadinya dan memrotes para pekerja aspal. Kong Jaal tidak terima. Jalanan di padepokannya itu untuk lari-lari muridnya. Silat tidak sempurna kalau dilakukan bukan di tanah. Terliputi amarah serta kesedihan, Kong Jaal menghajar para pekerja itu supaya berhenti. Jadinya, hanya di depan padepokan Kong Jaal saja di mana jalan aspal tidak selesai sempurna. Kong Jaal menghimpun muridnya untuk menghancurkan lapisan aspal yang bau itu. Mengembalikannya ke keadaan semula, tanah alami.
Saman King datang bersama para pengawalnya ke padepokan Kong Jaal. Ada tiga mobil ukuran besar melewati jalanan aspal Ndoroalas. Warga seperti melihat presiden datang. Tepatnya, seolah melihat raja arab sedang berkunjung ke desa kecil macam Ndoroalas. Saman King pakaiannya seperti raja minyak. Sepuluh jarinya memakai cincin emas semua. Apabila ia menyapa warga lain, kilauan emas itu membuat orang memalingkan muka. Saman King datang untuk bertemu Kong Jaal membahas protesnya waktu itu. Warga yang penasaran mengikuti dalam iring-iringan di belakang mobil. Tapi sampai di gerbang padepokan, hanya Saman King saja yang diperkenankan masuk. Pertemuan itu tak diduga, berjalan teramat singkat. Warga ingat betul wajah kecut Saman King ketika keluar dari sana.
Yang terjadi di dalam adalah, Kong Jaal hanya berkata dua kalimat kepada Saman King, "Silakan kau aspali jalan Ndoroalas, asal jangan jalan depan padepokanku. Kalau kau berani melakukannya, akan kutempeleng kepalamu hingga membuat tujuh keturunanmu menderita sakit kepala akut."
Dan sampai kapan pun, jalanan depan padepokan Kong Jaal tetap tak beraspal.
Desa Ndoroalas suka mengadakan acara selamatan makan-makan ketika ada warganya yang merayakan sesuatu, seperti ulang tahun anak, hari jadi pernikahan, selamatan tolak bala, syukuran rumah, dan macam-macam termasuk acara kematian. Dari dulu sampai sekarang, acara makan-makan itu sederhana belaka. Setiap rumah yang mengadakan acara, warga yang lain selalu mengirim bahan mentah untuk dimasak, secara sukarela dan tanpa pamrih. Sekarang, karena rumah megah Saman King selesai dibangun, si pemilik rumah mengadakan acara makan-makan. Inilah, acara makan-makan terbesar yang pernah warga Ndoroalas nikmati. Di sana tidak ada doa-doa. Hanya makan-makan. Sajian kuliner yang panjang, silakan pilih, silakan makan sampai perut buncit. Sajian orkes dangdut dengan lusinan biduan wanita yang cantik-cantik dan bahenol. Rumah megah Saman King, muat menampung semua orang di Ndoroalas. Semua orang diundang. Kecuali Kong Jaal dan murid-muridnya.
Pesta makan-makan itu dilaksanakan tiga hari. Selama itu, warga Ndoroalas makan enak-enak. Aneka kuliner yang tak pernah bayangkan ada. Dicicip lidah dan mengguncang sukma. Ibu-ibu yang menjajali, sampai penasaran setengah mati dengan resepnya. Tidak hanya warga Ndoroalas saja yang hadir di acara itu. Mobil-mobil bagus berbondong memasuki Ndoroalas dan memenuhi jalanan aspal. Tamu-tamu dari luar kota Saman King datang memberi selamat. Warga terpana dengan kemewahan yang lewat depan mata. Seperti melihat orang-orang asing datang. Padahal mereka tahu belaka yang datang itu masih orang Indonesia juga.
"Benar-benar seperti raja minyak." Ungkap ayah Hamlin kepada istrinya.
"Sampai aku ragu, Maryaman yang sekarang apakah masih Maryaman yang dulu." Tanggap ibu Hamlin.
"Dia sudah jadi Saman King, tentu saja sudah bukan Maryaman yang dulu. Dia seperti orang asing."
"Yang membawa orang-orang asing juga."
Di antara kemeriahan pesta itu, ada Hamlin Murai yang was-was dengan gagak-gagak penguntitnya. Sepanjang jalan kaki menuju rumah besar Saman King, ia selalu menengok atas. Ada beberapa bayangan gagak hitam di atas kepalanya. Mereka mengikuti dalam hening dan sangat misterius. Kemarin Hamlin Murai sudah mengadukan perihal ini kepada Blorong Cilik.
"Seperti ketika murai-murai mendatangimu. Mungkin sekarang fasenya adalah gagak." Itu jawaban Blorong Cilik.
"Tapi gagak-gagak itu membuatku tidak nyaman. Mereka misterius dan menyeramkan."
"Itu berarti kau harus terbiasa dengan itu. Apakah mereka berbuat sesuatu yang merugikanmu?"
"Tidak. Belum."
"Anggap saja begini, gagak-gagak itu datang sebagai simbol."
"Simbol apa maksudnya? Sejauh yang kutahu, gagak hitam itu simbol kematian. Apakah berarti akan ada kematian lagi?"
"Kematian selalu datang, Hamlin. Tidak, gagak tidak selalu mencerminkan itu. Menurutku gagak yang mengikutimu adalah simbol agar kau menggunakan cara pandang lain terhadap kehidupan. Kau perlu mulai terbiasa dengan misteri dan sihir. Terkaanku, kau mungkin nantinya bisa membaca pertanda-pertanda."
"Tidak ada yang namanya sihir. Itu kata Bik Muyah, kudengar itu dari tukang sayur."
"Itu kata orang yang tak bisa melakukan sihir."
"Jadi, kau bisa?"
"Menurutmu?"
Membaca pertanda. Hamlin Murai sibuk dengan pikiran dan sapuan pandangannya kepada orang-orang yang datang. Ia melihat Kang Pait dan tukang sayur sedang balap-balapan menenggak air bersoda. Lalu ia melihat si raja minyak itu, Saman King, berbicara dengan tamu-tamu kehormatannya di lantai dua, di sofa-sofa besar mewah. Hamlin Murai menoleh ke jendela yang terbuka, ada satu gagak di sana. Segera ia dekati gagak itu. Belum sampai tiga langkah, gagak itu sudah kabur. "Pertanda macam apa itu, heh?"
Rampungnya pembangunan rumah megah Saman King dan jalanan desa yang beraspal, bertepatan dengan ulang tahun kesembilan Hamlin Murai. Pada awal masuk gerbang rumah megah, Hamlin Murai bercanda kepada ayah dan ibunya, "ini acara dalam rangka memeringati ulang tahunku kan?"
"Anggap saja begitu biar senang." Ayahnya tertawa.
Hamlin Murai beredar di rumah megah itu, ke pekarangan yang luas sekali. Ada kolam renang dan kandang binatang seperti rusa, merak, kalkun, tapir, macam-macam burung eksotis, ular, dan lain-lain. Teman-teman Hamlin Murai tengah asyik menceburkan diri di kolam renang. Bahkan di kolam renang, ada nampan mengambang yang menyediakan buah-buahan. Meski teman-temannya berpolah dalam kolam, nampan itu tidak terbalik menumpahkan isi.
Hamlin Murai menyusuri jalanan berbatu koral di halaman itu. Jarak antara dirinya dengan kolam cukup jauh, tapi anehnya, ia seperti bisa mendengarkan percakapan teman-temannya yang lagi seru itu. Intinya mereka membicarakan betapa megah rumah Saman King, dan kolam renangnya menyenangkan, mari kita puas-puaskan main di sini sampai besok. Sebelum dilarang. Hamlin Murai menoleh ke atas, mencari keberadaan gagak-gagak pengintai. Mereka bertengger pada pagar teralis yang tinggi. Anehnya, kalau diperhatikan ke sekitar, orang-orang seperti tidak menyadari keberadaan gagak-gagak itu.
"Hei, lihat, Hamlin Murai sedang lihat apa itu, celingak-celinguk gak jelas." Hamlin Murai mendengar hal tersebut dari temannya di kolam. Ia putuskan untuk menghampiri teman-temannya di kolam.
"Maaf mengganggu keasikan kalian di kolam. Apakah kalian lihat ada burung gagak?"
Pertanyaan itu membuat teman-temannya berhenti berpolah dan saling lempar pandang. Mereka sepakat menggelengkan kepala.
"Oke, baik, terima kasih ya."
Ada yang berbisik-bisik kemudian setelah Hamlin Murai berbalik arah. "Mulai lagi keanehan si albino." Itu terdengar jelas olehnya. Berbaur, itu saran Blorong Cilik. Maka, Hamlin Murai berbalik lagi. Melepas baju dan berlari melompat ke udara dan terjun ke kolam renang. Barulah, nampan berisi buah-buahan tumpah ke mana-mana. Teman-temannya meledak kegirangan. Mereka kemudian adu balap memungut buah yang jatuh ke dasar kolam. Sebelum-sebelumnya Hamlin Murai tidak bisa berenang. Karena keasikan bermain dan disambut dengan baik seperti itu, ia bisa dengan sendirinya.
Kehebohan berlanjut ketika air kolam tahu-tahu bercahaya. Kerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Teman-temannya bertepuk tangan dan makin heboh saja berpolah dalam air. Mereka mencari sumber kerlap-kerlip itu. "Kolam renang ini hebat. Saman King hebat." Hal itu bertepatan dengan Hamlin Murai mengalami celekit-celekit dalam sudut benaknya. Yang kemudian menjalar ke ubun-ubun, lalu kening, batang hidung, sampai seluruh tubuh. Tak mau teman-temannya mengetahui apa yang sedang terjadi, ia mengentas dari kolam. Meraih baju lalu bergerak merangkak menyingkir dari kolam, sementara teman-temannya masih sibuk mencari sumber kerlap-kerlip. Kerlap-kerlip yang tampak mengingatkan mereka terhadap bintang-bintang di langit. "Semakin luar biasa!" seseorang mengentas dan berlari kencang setelah ambil ancang-ancang, lalu menceburkan diri dengan gaya spektakuler.
Hamlin Murai merangkak sembari menahan sakit di kepala dan sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa seperti dipukuli penumbuk padi. Ia mencari orangtuanya. Ia ingin segera pulang. Dalam kepalanya sungguh ramai. Ratusan suara mengisi ruang-ruang benaknya. Setiap suara sangat nyaring dan menyiksa. Diliriknya ke atas, gagak-gagak itu terbang tak karuan di atasnya. Seperti menandakan malaikat kematian segera menjemput. Rasanya, Hamlin Murai sudah melihat kilatan bilah kapak si malaikat. Kemudian ia pingsan.
Semuanya gelap.
Hening setelah keramaian yang menggila.
Denging statis menyusul kemudian. Hamlin Murai mengerjapkan mata, terbangun dan mendapati dirinya sudah berada di kamar, di rumah. Di sampingnya sudah ada ayah dan ibunya, khawatir. Ayah ibunya tampak mengutarakan sesuatu, tapi Hamlin Murai tak bisa mendengar. Ia menandakan itu dengan menunjuk telinga dan membuat gestur tidak bisa.
Kalau saja Bik Muyah masih hidup, ayah dan ibunya pasti akan membawanya ke sana. Bik Muyah pasti punya cara untuk mengobati. Ayah dan ibunya tampak sedang membicarakan mau pergi ke dokter. Hamlin Murai, entah bagaimana, bisa membaca gerak bibir orangtuanya. Orangtuanya kaget ketika Hamlin Murai mengucapkan keberatannya, rupanya suaranya terdengar terlalu nyaring. Bocah itu kemudian mendudukkan diri, menutup telinganya, berkonsentrasi. Menerima dengung statis yang terjadi. Membiarkannya tuntas. Ia memberikan gestur tolong beri waktu sebentar kepada orangtuanya.
Ayah dan ibunya saling tatap cemas. Anaknya tampak kesakitan. Mata mengerjap dan bibir meringis. Tangannya semakin menekan telinga. Kakinya digoncang-goncangkan. Lambat laun, Hamlin Murai terlihat tenang. Ia menarik napas pelan-pelan. Panjang dan dalam. Berangsur-angsur pendengaran normalnya kembali. "Aku tidak apa-apa, ayah, ibu."
"Syukurlah, kami khawatir sekali." ibunya memeluk erat.
"Setiap ulang tahunmu, selalu saja ada kejadian semacam ini." kata ayahnya.
"Sudahlah, ayah. Jika memang selalu begini, aku pasrah saja. Aku akan pelajari sendiri apa yang tengah terjadi pada anakmu ini." kata Hamlin Murai, tenang melegakan.
"Wah, pemikiranmu sudah dewasa sekali, nak." Ayahnya menyusul memeluk.
Hamlin Murai beristirahat demi menghilangkan pening yang tersisa. Setelah dirasa segar, ia pamit keluar untuk cari udara segar. Tempat udara segarnya adalah gua di pantai. Berbicara dengan Blorong Cilik bisa menyegarkan pikirannya. Gadis itu, entah bagaimana selalu tahu kalau Hamlin Murai sedang ingin ke gua. Atau mungkin, "Kau tinggal di gua ini atau bagaimana?"
Blorong Cilik tertawa. "Aku selalu tahu kapan kau datang kemari. Kemarin hari ulang tahunmu kan?"
"Kok tahu?"
"Kan kau pernah cerita. Ulang tahunmu sekarang, tak jauh beda dengan dua tahun sebelumnya ya? Ada yang terjadi dengan kepalamu."
"Aku baru mau cerita tentang itu."
"Kau bisa hemat waktu. Sedikit banyak aku sudah tahu apa yang kau alami kemarin. Aku bisa merasakannya, melihatnya."
Hamlin Murai merinding. "Semacam cenayang, begitu?"
"Kurang lebih."
"Jadi, apa yang terjadi denganku?"
"Adasesuatu yang sedang bangkit dalam dirimu. Kau harusnya sudah menyadarinya.Kalau saja kau tidak bodoh." Blorong Cilik tertawa panjang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro