
6
Adalah Hamlin Murai yang tak terdeteksi oleh Kong Jaal, menyaksikan upaya-upaya murid Kong Jaal dan Kong Jaal sendiri dalam mendekati rumah Bik Muyah. Hamlin Murai awalnya sedang meminta maaf kepada tanah dan pohon hutan keramat akibat omongannya yang meremehkan leluhur Ndoroalas. Ia sengaja berlama-lama di hutan, terlebih karena ingin mengenal hutan keramat yang amat misterius ini. Dari Blorong Cilik atau pun dari omongan ngalor ngidul warga, hutan keramat ini menyimpan banyak misteri tak terpecahkan. Mungkin saja dengan Hamlin Murai berlama-lama di hutan, salah satu misteri itu akan terungkap. Sewaktu Hamlin Murai mengucapkan permohonan maafnya dalam hati sembari menjumput tanah untuk dicium, ia mendengar suara gedebukan. Ia pikir ada misteri dalam hutan yang akan terungkap. Rupanya ia melihat laki-laki dalam seragam silat perguruan Kong Jaal terpental seperti habis digampar raksasa tak kasat mata. Sebelum itu, ia melihat juga murid-murid Kong Jaal berputar-putar tak jelas dalam hutan. Anehnya, mereka tak melihat keberadaan Hamlin Murai. Padahal jarak mereka cukup dekat. Aneh sekali. Mungkin ini salah satu misteri hutan keramat. Hamlin Murai jadi menggigil sendiri.
Lalu ia terpikirkan sesuatu. Kong Jaal dan muridnya bergantian mencapai rumah Bik Muyah. "Ada apakah?" Ia pun teringat kegiatan lamanya saat mengintai macan jadi-jadian. Lokasi macan jadi-jadian terakhir terlihat olehnya setiap kali mengintai adalah dekat rumah Bik Muyah pula. Ini mengguncangkan jiwanya, "Apa mungkin macan jadi-jadian itu adalah Bik Muyah sendiri? atau anaknya yang hilang itu?"
Hamlin Murai tempo hari lalu bertanya kepada ayah dan ibunya tentang anak Bik Muyah. Keduanya menjawab tidak tahu sama sekali kalau Bik Muyah sempat punya anak. Hamlin Murai memberanikan diri beredar di Ndoroalas, bertemu dan menyapa warga. Itu dilakukannya atas dorongan Blorong Cilik.
"Kau cobalah beredar di desamu. Jangan karena kulit putihmu yang lucu itu kau menutup diri. Tidak baik. Tegurlah tetangga dengan senyum. Itu jauh lebih baik. Jangan pikirkan tentang apa yang mereka pikirkan tentangmu. Niscaya itu hanya akan pikiranmu terbebani. Jauhkanlah pikiranmu dari prasangka-prasangka buruk. Kau lahir di Ndoroalas. Kau adalah anak Ndoroalas. Kau bukan orang asing."
Pernyataan itu membesarkan hati Hamlin Murai. Ia mencoba jalan-jalan santai di pagi hari menyapa tetangga. Tak perlu mengucapkan apa pun. Cukup mengangguk dan senyum sambil berjalan penuh kepositifan. Awalnya para tetangga agak sungkan disenyumi oleh Hamlin Murai si bocah albino. Tapi melihat senyum yang merekah bagus itu, hati mereka luluh juga. Mereka membalas senyum Hamlin Murai. Oh betapa indahnya dunia kalau orang-orangnya saling senyum ketika berpapasan. Hamlin Murai berhenti di warung kopi. Di situ yang menjual punya nama Kang Pait. Karena kopi yang disajikannya selalu pahit. Ia malas menambahkan gula. Biar yang memesan saja yang menambahkan gula sesuai selera. Ia malas merusak rasa kopi asli. Kepadanya Hamlin Murai iseng bertanya, itu saat warung kopinya baru buka dan Hamlin Murai pura-pura beli bubuk kopi buat ayah, "Kang, mau tanya, dengar-dengar Bik Muyah itu punya anak ya?"
Kang Pait justru kaget, "Loh, bukannya gak punya dari dulu?"
"Oh, memang gak punya ya Kang?"
"Iya, setahuku memang gak pernah punya anak."
"Oh, terima kasih Kang informasinya."
Kepada tukang sayur di pertigaan pun Hamlin Murai menanyakan hal serupa dan mendapat jawaban serupa pula. Kalau begitu, masa iya Blorong Cilik berbohong? Mungkin ada misteri lain yang menyelimuti desa Ndoroalas, Hamlin Murai jadi menggigil lagi. Ia percaya dengan Blorong Cilik. Ia juga percaya dengan ibu dan ayah serta para tetangga. Ada sesuatu yang dimiliki Hamlin Murai yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu kalau orang berkata betul atau bohong. Semacam ada kelitikan di benaknya yang menentukan itu.
Kembali ke hutan keramat. Hamlin Murai melihat Kong Jaal melompat ke udara seperti burung lepas landas, lalu meluncur turun dengan telapak tangan lebih dahulu. Ada empasan angin saat itu terjadi, Hamlin Murai terkena dampaknya, ia terpental menjauh. Jatuh mengaduh. Berusaha bangkit dari kejatuhannya, Hamlin Murai agak kabur bayangannya, pelan-pelan berjalan menuju rumah Bik Muyah. Ia kadung penasaran. Apa yang terjadi hingga membuat Kong Jaal berani datang ke rumah Bik Muyah. Oh, Hamlin Murai pun tahu kisah Kong Jaal dengan Bik Muyah. Semua orang tahu.
Dari kejauhan Hamlin Murai bisa melihat Kong Jaal lama berdiri di pintu, seperti mematung. Hamlin Murai mendekat perlahan-lahan, tak mau mengagetkan Kong Jaal. Bisa jadi, hal yang akan dilihatnya adalah sesuatu yang tak seharusnya ia lihat. Hamlin Murai memang tidak begitu mengenal Bik Muyah. Ia hanya tahu kalau ia sakit waktu kecil dulu, Bik Muyah yang suka mengobati. Tapi semenjak teror macan jadi-jadian itu, Bik Muyah jarang turun gunung. Jadi ketika ia melihat Kong Jaal bergerak masuk ke dalam rumah, Hamlin Murai ikut serta, sesampainya di ambang pintu, ia mendapati pemandangan yang memilukan. Rasanya ia ingin ikut berkabung bersama Kong Jaal, walau ia sendiri tak begitu mengenal Bik Muyah secara dalam. Kesedihan Kong Jaal begitu memilin hati. Itu tangisan seorang kekasih yang ditinggal pasangannya. Hamlin Murai bergerak mundur, membiarkan Kong Jaal dengan kesedihannya. Ada baiknya membiarkan orang menuntaskan dukanya dulu. Jangan diganggu. Kong Jaal lama mendekap jasad Bik Muyah yang sudah terkoyak amburadul. Hampir-hampir lehernya putus. Bahunya saja sudah mau lepas dari badan atas. Perutnya lumat, ususnya mberodol. Hamlin Murai tak kuat melihatnya. Ia muntah di luar.
Suara muntahannya itu rupanya terdengar Kong Jaal. Guru silat itu keluar dan menepuk punggung Hamlin Murai. Di tangannya sudah ada gelas berisi air putih. "Nih, minum."
"Terima kasih, Kong." Hamlin Murai menghabiskan air itu. "Turut berduka cita, Kong Jaal."
"Ya, ya. Kau lekaslah turun dan beritahu Gus Taman dan ayahmu."
Hamlin Murai menurut. Ia langsung berlari menuruni bukit dan hutan. Adalah ayahnya yang pertama dituju. Setelah itu ia disuruh menunggu di rumah, menemani ibu. Ayah Hamlin yang menghadap Gus Taman segera. Tak menunggu lama, Gus Taman dan puluhan orang siap mendatangi rumah Bik Muyah. Alat-alat untuk mengebumikan sudah siap. Keranda digotong ramai-ramai.
Gus Taman resah, ia menuntut jawaban dari Kong Jaal. Guru silat ternama itu diam seribu bahasa. Justru malah menghardik kadesnya sendiri, "Sudah jangan banyak tanya! segera kebumikan Bik Muyah, biar tenang arwahnya." Kong Jaal pun pergi. Tak mengikuti acara pembumian sampai selesai.
Kebisuan seorang saksi, menggiring lagi rumor macan jadi-jadian ke permukaan. Orang-orang yang menangani jasad Bik Muyah, terserang ngeri akut. Singkat cerita, setelah menguburkan Bik Muyah di makam leluhur dan tokoh Ndoroalas, Gus Taman minta ronda diadakan kembali. Hal itu pun memicu keresahan lama bangkit kembali. Gus Taman dan warga, berkali-kali datang ke padepokan silat Kong Jaal. Selalu pulang dengan tangan hampa, tak ada jawaban. Itu menimbulkan keresahan yang makin meningkat. "Teror macan jadi-jadian masih beredar!" selalu itu yang dibahas di warung kopi Kang Pait.
Antiklimaks. Warga mengharapkan macan jadi-jadian itu muncul dan bisa ditangkap. Nyatanya, selama tiga bulan diadakannya ronda kembali, macan jadi-jadian tak pernah kelihatan. Padahal warga sudah dua puluh empat jam waspada. Titik ronda paling ketat ada di hutan dan dekat rumah Bik Muyah. Tetap saja, mereka tak menemukan makhluk sialan itu. Warga sepakat menduga, bahwa kematian Bik Muyah karena macan jadi-jadian. Acara kumpul malam jumat pun diadakan kembali. Dan seperti biasa, selalu berujung debat kusir. Ayah Hamlin jadi malas mengikutinya lagi walau dibilang wajib.
Di padepokannya, Kong Jaal masih menyendiri di dalam ruang pribadinya yang jendelanya menghadap ke bukit dan hutan. Ia mengenang Bik Muyah. Latihan silat pun ia delegasikan kepada murid kepercayaannya, yaitu ia yang berhasil menembus tabir lalu terpental ratusan meter itu. Kong Jaal sampai tidak tahu ada murid baru yang belajar silat di padepokannya. Padahal biasanya murid yang hendak belajar silat, diwawancara dulu oleh Kong Jaal. Ketika murid baru itu datang, Kong Jaal langsung menyuruh murid kepercayaannya untuk menerima. Bahkan Kong Jaal tidak mau repot-repot memutar muka untuk melihat rupa si murid baru. Arah matanya masih menuju rumah Bik Muyah.
Itu mungkin yang bakal jadi bibit malapetaka nantinya.
Enam bulan berlalu, dan tak ada berita pun tentang kemunculan macan jadi-jadian. Seolah isu itu mati sendiri. "Mungkin si macan sudah kembali ke kebun binatang." Orang-orang sembunyi-sembunyi mencandai hal itu. Mereka berharap ronda dihentikan saja. Sudah capai dan tanpa hasil. Akibat nihilnya penampakan, para peronda bahkan sampai berani menginap di hutan keramat yang terkenal cukup angker itu. Sama sekali tidak ada penampakan.
Hamlin Murai meminta petunjuk kepada Blorong Cilik, sepulang dari sekolah kecamatan. Akibat saran yang dilakukannya dengan baik itu, warga Ndoroalas mulai menerima Hamlin Murai yang albino. Di sekolah, ia mulai mendapat teman kembali. Teman-temannya yang dulu suka diajaknya bermain ke bukit, juga menerimanya kembali. Mereka tak lagi mempermasalahkan kulit putih dan mata jingga Hamlin Murai. Mereka justru bangga, mereka lama-lama menganggap Hamlin Murai itu keren. Hamlin Murai tentu senang dengan sambutan baik itu, karenanya ia dapat memanggil kembali burung murai saat ia bersiul santai sepulang sekolah. Di rumah, kini ada dua ekor murai di dalam sangkar. Blorong Cilik senang dengan kemajuan itu. Petunjuk tentang macan jadi-jadian itu seperti ini menurut versi Blorong Cilik, "Ya, jin usil itu sudah pergi. Sepertinya tugasnya sudah tuntas. Maaf, aku kurang tahu banyak tentang itu. Turut berduka cita atas kepergian Bik Muyah. Kalian tetap perlu waspada. Hatiku masih belum tentram. Entah kenapa."
"Bisakah kau ceritakan mengapa kau tidak bisa masuk ke Ndoroalas?"
"Nanti saja, di lain waktu. Bukan sekarang."
Hamlin Murai tak puas dengan jawaban itu. Justru membuatnya makin penasaran. "Nanti ketika kutanya itu lagi, kau akan jawab yang seperti itu lagi."
"Bilamana waktunya sudah tiba, pasti akan kuceritakan. Tenang saja."
"Setidaknya, ceritakan sedikit tentang asal usulmu."
Blorong Cilik berdiri, kesal, mendengus. "Sudah kubilang dari awal, kau tak perlu merisaukan asal usulku. Kau tidak perlu tahu. Tidak penting."
Nada Blorong Cilik mendekati marah. Itu bahaya, Hamlin Murai tak mau kehilangan teman lagi. "Baiklah, maafkan aku."
"Oh ya, aku mau kasih tahu kau sesuatu. Untuk masa depanmu."
"Apa itu?"
"Kau akan jadi pahlawan buat Ndoroalas. Kau akan menumpas banyak kejahatan di Ndoroalas. Itu bakal kejadian apabila kau mampu menguasai anugerah yang diberikan langit kepadamu."
"Bagaimana caranya?"
"Kau akan segera tahu. Orang-orang akan bergantung padamu. Darimu orang-orang akan tahu kebenaran sejati."
Mendengar itu malah membuat Hamlin Murai panas dingin. "Aku jadi tokoh penting?"
"Kira-kira seperti itu."
"Apakah aku akan berakhir nahas? Biasanya tokoh penting yang berjuang demi kebaikan berakhir seperti itu."
"Maaf, aku tak bisa melihat sampai sejauh itu."
"Baiklah."
"Apa kau siap untuk itu?"
"Ya lihat saja nanti. Asal kau tetap jadi temanku dan memberitahuku banyak hal, kupikir aku akan siap."
"Terkadang, hal-hal itu kau sendiri yang perlu cari tahu."
"Ya, aku setuju begitu."
Situasi di Ndoroalas sudah mulai kondusif. Lambat laun orang-orang melupakan teror macan jadi-jadian yang menghabisi nyawa Bik Muyah. Kuburan Bik Muyah sendiri, selalu didatangi orang-orang yang pernah ditolongnya. Tak heran kuburan Bik Muyah selalu wangi.
Suatu hari di bulan Desember, anak dari Gus Gombong, mantan kades yang berakhir nahas dua puluh tahun lalu, pulang ke Ndoroalas. Orang pertama yang menyambutnya adalah Gus Taman. Peristiwa dua puluh tahun lalu itu membuat orang lupa kalau Gus Gombong punya anak yang merantau ke kota. Samar-samar mereka ingat nama anak Gus Gombong adalah Maryaman. Tapi laki-laki umur empat puluh tahun yang datang kali ini memperkenalkan diri dengan nama Saman King. Rupanya ia sukses di kota dan ingin kembali ke Ndoroalas untuk berkontribusi. Gus Taman dan orang-orang yang ikut menyambut senang mendengarnya. Selama beberapa bulan ke depan akan ada proyek pembangunan ulang rumah Gus Gombong.
Singkat cerita pembangunan itu selesai dan membuat warga Ndoroalas melongo. Mereka seperti melihat istana muncul tiba-tiba di desa Ndoroalas. Mereka ramai-ramai berpotret di depan gerbang rumah megah Saman King. Ketika ditanya usaha apa yang sukses di kota, Saman King menjawab macam-macam, yang penting menghasilkan. Satu orang yang gelisah mengenai kedatangan Saman King, yaitu ayah Hamlin. "Ingat apa yang membuat orang terlena?" tanyanya kepada istri.
"Harta, takhta, wanita?"
"Betul."
Seketika ibu Hamlin tahu apa yang dimaksud suaminya.
Sementaraitu, anehnya, Hamlin Murai menirukan kicauan murai di bukit, tapi mengapa yangdatang justru burung gagak? Koakannya tak enak di telinga. Menyebalkannya lagi,gagak-gagak hitam itu menguntit Hamlin Murai selalu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro