
5
Peristiwa dua puluh tahun lalu Hamlin Murai dengar dari mulut Blorong Cilik. Sebelum mendengarkan dengan antusias, Hamlin Murai selalu bertanya asal muasal Blorong Cilik, tapi tak pernah digubris. Sebab baru dapat teman lagi, Hamlin Murai tak mau menanyakannya lagi, takut Blorong Cilik kabur dan tak mau berteman. Peristiwa dua puluh tahun lalu adalah bukti petaka yang hadir ketika tentara masuk desa Ndoroalas. Ada kiranya lima keluarga yang lenyap nyawanya di subuh hari ketika bulan berdarah masih menunjukkan tampang di langit. Itu karena kades sebelum Gus Taman, namanya kalau tidak salah adalah Gus Gombong, mengijinkan sekelompok tentara masuk dan menebang selusin pohon di hutan. Bik Muyah dan Kong Jaal sudah mewanti-wanti, tapi tak digubris. Bahkan warga mengadakan demo di depan rumah besar Gus Gombong untuk melarang kegiatan itu. Gus Gombong, menyewa tukang pukul untuk mengusir warganya yang tak setuju. Walhasil, petaka menyusul. Pohon sudah berhasil ditebang oleh tentara. Gus Gombong dapat duit. Secepat itu, duit tak lagi berarti baginya, sebab Gus Gombong dan keluarganya termasuk keluarga yang lenyap nyawanya di subuh setelah tentara hengkang. Peristiwa itu sudah dirasakan Bik Muyah sekitar dua minggu sebelumnya. Akan ada sesuatu yang jatuh dari langit saat malam bulan darah. Kong Jaal pun mengamini wangsit Bik Muyah. Itu menurut perhitungan formasi bintang selama dua minggu setelah Bik Muyah mengungkapkan wangsitnya kepada Gus Gombong. Warga percaya dengan Bik Muyah dan Kong Jaal, melebihi kepercayaan mereka kepada para ustaz di Ndoroalas. Yang jatuh dari langit itu disebut meteor. Sebelum menghancurkan sekiranya lima rumah beserta penghuni, terdengar suara begitu kencang, seperti ratusan mesin diesel dinyalakan pada waktu bersamaan. Amat mengerikan. Meteor itu padahal sampai di Ndoroalas hanya sebesar kepala orang, tapi energi penghancur yang menyertainya begitu dahsyat hingga benar-benar melenyapkan lima keluarga itu. Hanya Gus Gombong saja yang jasadnya diketemukan masih utuh. Ia tertancap saka kayu penahan atap balai di halaman luasnya. Tembus, dari punggung ke dada. Tubuhnya gosong, bola matanya menggantung-gantung. "Jangan sekalipun di masa depan, kita semua membiarkan tentara atau siapa pun mengambil kayu di hutan keramat. Tak seorang pun. Atau peristiwa macam ini akan terjadi lagi, atau bakal lebih buruk." Begitu pesan tegas dari Bik Muyah. Semua keder dan mencamkan dalam diri, tentara tidak boleh masuk ke Ndoroalas.
"Mengerikan." Komentar Hamlin Murai setelah mendengar cerita itu. Baik setelah mendengarnya dari Blorong Cilik dan juga dari ibunya.
"Memang mengerikan. Itu murka langsung dari langit." Kata Blorong Cilik.
Hamlin Murai berpikir sejenak, "Atau mungkin kebetulan saja memang akan ada meteor jatuh?"
Blorong Cilik menepis pipi Hamlin Murai, mukanya kesal, "Nanti-nanti kau jangan bilang begitu lagi. Itu bisa bikin marah leluhur di hutan keramat. Jangan sampai langit mendengar."
"Baik, maaf."
"Kau minta maaf kepada hutan keramat sana."
Hamlin Murai melakukan apa yang disarankan Blorong Cilik. Sepulang dari gua pinggir pantai ia lama di hutan, mencium tanah dan menyentuh halus pohon yang ada. Ia minta maaf dalam hati. Dari semenjak kejadian tragis yang menimpa pemuda Gogon, macan jadi-jadian tak pernah tampak lagi. Benar-benar tidak muncul lagi. Itu menjadikan jadwal ronda jadi agak longgar. Akhirnya para lelaki dewasa itu bisa tenang memeluk istri di rumah. Gus Taman pun menyudahi acara kumpul malam jumat membahas petunjuk. Lagipula di setiap acara itu selalu berujung debat kusir yang bikin panas udara malam. Dan karena itu pula, Hamlin Murai menyudahi uji coba jeritan mautnya kepada Blorong Cilik. Lagipula, ia selalu gagal membuat Blorong Cilik pingsan. Padahal batu saja bisa hancur oleh suaranya. Itu membuat Hamlin Murai makin penasaran, siapa Blorong Cilik sebenarnya.
Di Ndoroalas tidak ada maling. Warga-warganya hidup berkecukupan dengan hasil ladang dan kebun di belakang rumah masing-masing. Kalau ada yang berlebih, mereka lebih pilih untuk dibawa ke pasar kecamatan. Dijual di sana dan uangnya dikumpulkan untuk beli televisi atau kulkas di kota terdekat. Di rumah Hamlin Murai sudah ada kulkas satu. Ibu Hamlin gunakan kulkas itu untuk membuat es batu, yang selalu laku di siang terik. Karena tidak ada teror macan jadi-jadian, setelah lewat enam bulan semenjak peristiwa Gogon, juga karena tidak ada maling, ronda dihentikan dulu. Untuk beberapa waktu lamanya, desa Ndoroalas aman. Rasa aman itu membuat anak-anak jadi lebih positif dan bergembira. Mereka berani bermain sampai menjelang maghrib, juga sudah berani main di bukit dekat hutan. Mereka bersekolah dengan tenang, tak lagi perlu diantar oleh ibu.
Bicara mengenai sekolah, Hamlin Murai tidak melaksanakannya di sekolah kecamatan. Ia sekolah di rumah, ayah dan ibu adalah gurunya. Waktu umur tujuh, ia memang ditawari sekolah, tapi semenjak kulitnya berubah warna, yang membuat orang-orang merasa aneh dengannya, Hamlin Murai menolak. Dan sekarang ini ia memiliki guru baru, yaitu Blorong Cilik. Gadis misterius itu selalu mengasupinya dengan pengetahuan-pengetahuan yang tak disangka-sangka.
Dari Blorong Cilik, Hamlin Murai mengetahui apa yang dilihatnya sebagai bola mata api itu memang jin. "Kau kuat, itu terbukti. Karena tidak ada manusia awam yang tahan melihat penampakan jin dalam wujud yang sebenarnya."
"Itu jin asli hutan keramat?"
"Dugaanku bukan. Dia dari tempat lain. Sengaja dikirim entah siapa untuk buat kacau. Atau mungkin, itu berawal dari setan iseng lewat yang menemukan sesuatu untuk menggoda manusia, lalu bosnya, si jin itu, mengambil alih."
"Dari mana kau tahu semua ini?"
"Dari sini." Blorong Cilik menunjuk dahinya sendiri. Hamlin Murai agak kurang bisa menerima hal itu, tapi ia abaikan saja dulu walau bikin gatal ingin bertanya.
"Kau semisterius dalang macan jadi-jadian."
Blorong Cilik hanya tersenyum mendengarnya. "Seharusnya warga desamu jangan berhenti dulu rondanya. Karena yang kurasakan berbeda. Kalian sengaja diberikan ketenangan sebelum badai."
"Eh, maksudnya?"
"Entah kapan dari sekarang, akan ada kejadian lagi. Aku tidak tahu kejadian seperti apa. Kalian waspada sajalah."
"Aku heran kenapa Bik Muyah lama tak mendapat wangsit lagi ya?"
"Itu karena Bik Muyah memang sudah tak layak diberi wangsit lagi. Ilmunya pudar. Itu semenjak anaknya menghilang."
"Bik Muyah punya anak?"
"Tentu punya. Anaknya yang dulu suka mau mencelakaimu ketika masih bayi."
"Suka mau mencelakaiku? Kau seperti ensiklopedia desa Ndoroalas saja."
"Apa itu ensiklopedia?"
"Buku tentang banyak hal tentang sesuatu."
"Oh."
Selagi tidak berlatih menggunakan jeritan mautnya, Hamlin Murai dan Blorong Cilik main pasir pantai. Mereka membuat bangunan, sebuah istana, sebagian besar rancangan si Blorong Cilik. Ada ular besar yang mengelilingi istana pasir itu. Bahkan kalau dilihat lagi, istana itu seperti digendong oleh ular. "Selalu ingat, Hamlin Murai. Engkau diberkahi dengan anugerah. Jangan pernah lepas kendali."
"Itu yang selalu diucapkan ayah dan ibuku di rumah."
"Kalau begitu, aku setuju dengan mereka."
"Maukah kau datang ke rumahku?" Hamlin Murai mengharap.
"Maaf sekali aku tidak bisa. Aku ingin, tapi tidak bisa."
"Tidak bisa kenapakah?"
"Aku tidak bisa menjejakkan kakiku di Ndoroalas."
"Kenapa?"
"Itu cerita untuk di lain waktu saja."
Hamlin Murai tak enak ingin memaksa. Ia mengangguk, mencoba memahami Blorong Cilik apa adanya. "Kau teman terbaikku."
"Kau pun juga."
Di Ndoroalas, teror macan jadi-jadian mungkin sudah dilupakan. Warga tak memikirkannya lagi. Tinggal Bik Muyah saja yang memikirkannya. Terutama setiap malam ia masih mendengar suara geraman macan di samping rumah. Dengan nekat ia memeriksa samping, tapi tak ditemukan apa-apa. Ia pikir ada pemuda seiseng Gogon lagi. Mengingat dulu Gus Taman mengeluarkan maklumat tak terbantahkan, yang bunyinya, kalau ada siapa pun di sini yang sengaja menjadikan macan jadi-jadian sebagai bahan olok-olokan dan bahan keisengan seperti yang dilakukan Gogon, ketika ditangkap akan dihajar dan dibuang ke laut, Bik Muyah menyingkirkan teori itu. Apa mungkin ini ada sangkut pautnya dengan terkaman yang pernah dialaminya waktu itu. Rasa sakit taring yang menancap di bahu kanannya masih terasa sampai kini. Padahal sudah diberi obat racikan yang mujarab. Luka fisiknya memang sudah sembuh, tapi sensasi sakitnya itu masih menyerang.
Suara geraman macan itu membuatnya tak tenang. Bahkan Bik Muyah menolak warga yang datang untuk berobat. Ia akan berkata, "coba minta bantuan Kong Jaal saja. Aku lagi sakit." seumur-umur, baru kali itu Bik Muyah menyebut nama Kong Jaal lagi. Warga yang datang itu sama herannya.
Ada ingatan-ingatan samar yang menghantui mimpi resahnya setiap malam. Tentang seorang anak yang pernah dilahirkannya. Anak yang hilang, memanggil nama ibunya kembali. Itu amat mengganggunya. Di alam sadarnya, ia tahu kalau ia tak punya anak. Tapi setiap didatangi mimpi itu, mengapa setiap pagi dirinya menangis rindu, sakit tak terperi. Di malam jumat, Bik Muyah berlutut di ruang rahasianya, memohon datangnya wangsit. Tapi tak pernah diberi.
Dan Bik Muyah selalu jatuh dan pingsan untuk waktu yang lama di saat hujan badai yang anehnya hanya terjadi di selingkungan rumahnya saja, sebola mata api muncul di dalam rumah. Teror semacam itu terjadi semenjak macan jadi-jadian tak meneror warga lagi dan setelah kejadian Gogon. Namun teror yang menimpa dirinya tak pernah ia bagi ke orang lain. Bik Muyah tak mau membuat warga resah kembali.
Kong Jaal sebenarnya tahu mengenai hal itu. Orang sakti itu bisa memantau melalui kuku jempol tangannya. Setiap malam entah bagaimana ia meresah, terpikirkan mantan kekasihnya, Bik Muyah. Cinta masa muda mereka terpaksa kandas begitu saja. Keduanya dengan sedih hati menerima kenyataan bahwa keduanya tak boleh bersatu. Maka semenjak kenyataan itu dipaparkan ke hadapan muka, mereka putus dan tak pernah menyebut nama masing-masing, tak pernah hadir di satu tempat bersamaan. Namun, keduanya sebenarnya masih saling peduli. Terutama Kong Jaal, yang dulu menyatakan cintanya lebih dulu. Kong Jaal, mengambil sumpah tidak akan menikah. Karena cintanya hanya untuk Bik Muyah, yang ternyata dijodohkan ke orang lain. Menyedihkan, kekasihnya itu dipaksa menikah lagi dan lagi karena orangtua menginginkan cucu. Tapi sebelum sampai cucunya lahir, orangtua Bik Muyah sudah dijemput ajal.
Kong Jaal melihat Bik Muyah resah dan jatuh pingsan. Tapi ia tak tahu apa penyebabnya. Sesuatu yang menyebabkan Bik Muyah jatuh itu tak nampak pantauannya di kuku jempol. Resah yang kemudian makin hari makin menjadi, meluluhkan keangkuhan yang selama ini dipelihara. Kong Jaal mengirim muridnya untuk memeriksa rumah Bik Muyah. Anehnya, setiap murid yang dikirimnya ke sana, selalu mengaku tersesat. Padahal rumah Bik Muyah jelas-jelas sudah tampak di depan mata. Entah sihir apa yang dipasang di sana. Setahu Kong Jaal, Bik Muyah tidak memasang sihir semacam itu. Bik Muyah tidak menguasai sihir. Ada pun satu murid yang berhasil menembus tabir sihir membingungkan itu, terlempar kembali seratus meter melayang di udara. Untuk kemudian jatuh dan patah kakinya. Apa yang terjadi dengan murid-muridnya ini Kong Jaal simpan rapat-rapat. Jangan sampai warga tahu. Hal-hal seperti itu, bisa memicu keresahan baru lagi.
Kong Jaal, dengan ilmu seperti yang dipelajari pahlawan kesiangan kita kala itu, Ninja Tengkorak, turun tangan sendiri. Ia bergerak gesit dan lihai. Lari di atas atap genteng warga lalu loncat dari pohon ke pohon tanpa menimbulkan suara menuju hutan dekat bukit, tempat rumah Bik Muyah berada. Sebelum sampai di tabir sihir itu, Kong Jaal mengisi tangannya dengan ajian-ajian pengungkap. Ia lompat tinggi dan meluncur turun bagai komet. Hempasan energi mengirim angin ke segala arah. Tabir sihir itu sudah hilang. Bergegas ia menuju rumah Bik Muyah.
Yang ditemukan Kong Jaal di sana menggemparkan jiwanya sendiri. Ia telah bersumpah tak pernah kawin, hanya untuk Bik Muyah. Ia telah bersumpah tidak bersinggungan dengannya, demi menghormati keputusan Bik Muyah menuruti kemauan orangtuanya. Bik Muyah, kala itu, tak ingin teringat kembali kenangan yang hanya akan membuatnya terluka, kalau melihat rupa Kong Jaal. Bahkan rupa Kong Jaal, sekelebatan muncul di kepala saja sudah membuat Bik Muyah ingin menangis. Kong Jaal, terpaku di tempatnya, di ambang pintu. Ia menyesali diri. Mengutuk diri. Menyumpahi diri. Mengapa ia dulu tak perjuangkan cintanya dengan Bik Muyah. Persetan dengan hukum adat. Cinta tak pernah salah. Mungkin itu yang membuat Bik Muyah sedih, mengapa Kong Jaal tidak memperjuangkan cintanya. Malah menerima kenyataan itu begitu saja tanpa perlawanan. Kenangan-kenangan indah bersama Bik Muyah, melintas secepat kilat di pelupuk mata Kong Jaal. Mengiris-iris hati yang ditempanya sampai jadi batu, untuk kemudian melunak dan dapat diiris sampai habis.
MelihatBik Muyah habis nyawanya oleh terkaman macan jadi-jadian, menimbulkan angkarayang membara dalam jiwa Kong Jaal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro