Hamlin Murai tinggal menunggu polisi memroses itu semua dan datang menangkap Saman King di depan khalayak banyak. Tapi sehari dua hari ditunggu, mereka tak datang-datang juga. Hamlin Murai jadi khawatir, jangan-jangan polisi yang mengambil alat bukti adalah rekanan setia si raja minyak. Hamlin Murai jadi tak bisa tidur tak bisa makan. Ia makin kasihan dengan warga yang kelelahan menghadapi turis yang makin aneh-aneh saja tingkahnya. Hamlin Murai berdoa, barangkali ada satu saja meteor yang turun dan memorakmorandakan pantai yang sudah penuh dengan tenda-tenda kayu, membuat turis ketakutan untuk datang lagi. Atau, hancurkan saja langsung rumah megah Saman King, beserta para penghuni bedebah.
Sudah seminggu berlalu, tak ada polisi yang datang. Hamlin Murai sampai lupa tak berkunjung ke puncak bukit. Terakhir ia datang ke sana tiga hari lalu dan Margo masih terpendam di sana. Ia pikir, Margo masih akan di sana. Totok lumpuhnya selalu diulang setiap beberapa hari.
Akhirnya Hamlin Murai gatal juga. Ia pergi lagi ke kantor polisi dan memainkan sulingnya. Ia menggerakkan salah satu polisi untuk mencari video rekaman itu. Ketemu. Polisi itu memutarnya di depan atasan. Rencana ini baru berjalan. Bodoh, Hamlin Murai mengutuk diri sendiri. Harusnya dulu ia memastikan video rekaman itu jatuh ke tangan yang benar.
"Rasakan pembalasan ini, Saman King." Hamlin Murai pulang dengan kemenangan di kantong.
Sore itu Saman King sedang berada di sekitar pantai. Bertegur sapa dengan para peselancar serta menggoda turis-turis cantik. Siapa tahu ada yang kecantol dan diajaknya pulang untuk bermalam di kamar. Ada kabar juga bahwa kepala desa Ndoroalas yang baru itu memang suka main wanita. Ia memamerkan kekayaannya kepada turis-turis perempuan. Beberapa terlihat ada yang kecantol dan diajak menginap di rumah megah. Lalu turis-turis itu tak pernah tampak lagi di Ndoroalas.
Ada suara yang dirindukan Hamlin Murai. Suara sirine mobil polisi, masuk dari gerbang dengan baliho besar bertampang muka Saman King yang disultan-sultankan, menyusuri jalanan aspal Ndoroalas, berhenti di pinggir hutan, lalu masuk dan menuju pantai.
Turis-turis bertanya-tanya, melihat pemandangan yang jarang itu. Dua polisi membekuk Saman King dari belakang. Saman King memrotes, ia memekik karena kakinya yang pernah cidera itu ditendang oleh polisi. "Ada apa ini?"
"Anda ditangkap atas dugaan pembunuhan berencana."
"Loh, loh, apa-apaan itu. Konyol sekali. Lepaskan saya!"
Anak buah Saman King segera menuju bosnya. Mereka mengangkat tangan sambil mundur teratur ketika ditodong pistol oleh enam polisi yang hadir belakangan.
"Anda melakukan rencana pembunuhan terhadap warga anda sendiri. Untuk lebih jelasnya, ikut kami ke kantor."
Saman King memerah malu, ia meronta lebih gila. Ia terkulai lemas ketika bokong pistol dipukulkan ke tengkuknya oleh polisi.
Warga Ndoroalas bertepuk tangan selagi Saman King dan anak buahnya dibekuk dan dibawa pergi oleh polisi. Turis-turis kebingungan. Lalu oleh warga, turis-turis diberitahu.
Hamlin Murai bersiul bangga, menghadirkan burung camar lebih banyak lagi di pantai. Burung murai diturunkan juga dari langit olehnya untuk menghibur turis-turis. Bahkan Hamlin Murai yang sedang tinggi semangatnya, menghadirkan paus di laut yang jauh. Ekor yang menyepak permukaan mengagetkan para peselancar hingga jatuh dari papannya. Mereka terpana.
Di rumah, ayah dan ibu Hamlin penasaran. Mereka baru mendengar kabar itu dari Jan Satro yang berseru gembira karena kepala desa mereka ditangkap. Ayah dan ibu Hamlin adalah satu dari segelintir warga yang menolak keras jadi bagian bisnis wisata Saman King. Ayah Hamlin menanyai putranya, "apakah ini semua ulahmu?"
Hamlin Murai mengiyakan. Ia menjelaskan rencananya dari mula-mula. Berawal dari pelanggan di warung yang punya ponsel yang dapat merekam video dan suara, lalu kemampuan barunya yang bisa menggerakkan orang menggunakan suling dan sugesti, Hamlin Murai melatih dan merencanakan itu semua diam-diam. Bahkan kebebasan ayahnya itu karena ia membuat polisi berubah pikiran. Lalu pada saat Saman King datang marah-marah di acara makan-makan, Hamlin Murai sudah dulu meminjam ponsel pengunjung warung Kang Pait, untuk merekam Saman King dan pendekar mata satu mengobrol rencana jahat pembunuhan terhadap Gus Taman dan ibu Gogon, itu semua atas pengendalian dari suling Hamlin Murai. Mereka melakukan itu tanpa sadar sedang dikendalikan suling Hamlin Murai.
Ayahnya tampak tak setuju, "itu berbahaya, nak. Bagaimana dengan si pendekar itu?"
"Dia sudah Hamlin amankan terlebih dahulu. Dia tak bisa berkutik."
"Kau yakin?"
Hamlin Murai meragu sekian detik, "Yakin."
"Buktikan."
Hamlin Murai mengajak ayahnya ke puncak bukit yang sulit dilalui. Dalam perjalanan ia merasakan firasat buruk. Jangan-jangan karena ia terlena karena rencana matangnya itu, ia mengabaikan hal penting yang berbahaya. Sesekali ayahnya tergelincir akibat batu yang dipijak terlepas dari cengkeraman tanah. Hamlin Murai membantu ayahnya bangkit dan melanjutkan perjalanan. "Tempat ini sulit dijangkau, jadi turis kemungkinan besar tidak akan menjelajahi tempat ini."
"Kau ceroboh, Hamlin. Itu pemikiran yang bodoh."
Hamlin Murai tertohok.
"Kau tidak pernah tahu seberapa besar keingintahuan seseorang. Apalagi turis yang doyannya menjelajah. Kau tidak tahu ada orang yang gemar mendaki? Tempat ini adalah lahan yang cocok."
Firasat buruk makin menghantui. Hamlin Murai diam menyesali kebodohannya.
Sampai di tempat, Hamlin Murai bagar tersambar petir bermuatan jutaan volt. Ia terjatuh, menganga, menyesal. Ayahnya mondar-mandir terserang keresahan. Ia menoleh ke sana kemari, barangkali si pendekar mata satu itu menunggu kehadiran mereka, lalu dibasmi saat itu juga.
Tempat Hamlin Murai mengubur Margo sudah dalam kondisi terbongkar. Hamlin Murai tersengat penyesalan. Ia gegabah. Ia menjatuhkan diri. Ia telah membahayakan orang-orang yang disayangnya. Ayahnya memeluknya, "kau seharusnya memberitahu ayah rencanamu, nak."
Hamlin Murai tak menjawab. Ia masih tenggelam di kubangan penyesalan. Lama ia menekuni lubang galian tangan Margo, menatap kosong, berusaha menghindari tatapan mala petaka yang datang dari dasar lubang itu. Seperti secuil roh jahat dari Margo ditinggal di sana untuk memberi peringatan. "Maafkan Hamlin, Yah." Bocah berkemampuan mistis itu merasakan dirinya jatuh ke dasar jurang, ia tersedu sedan di pelukan ayahnya. Ayahnya tak kuasa untuk memarahinya. Semua sudah terjadi dan mereka harus siap menanggung akibatnya. Ayahnya tetap memasang mata awas ke sekitar. Ia merasakan bulukuduknya berdiri dijilati firasat buruk bahwa bahaya ada di dekat mereka. Sangat dekat. Seperti kematian itu sendiri. Yang sangat misteri, tak terjangkau ruang dan waktu, tapi sudah pasti akan terjadi. Kali ini, perasaan itu semakin dekat. Kematian semakin dekat. Bahaya telah lepas dari kandangnya, mungkin sedang merencanakan pembalasan yang jauh lebih kejam.
Mereka turun dengan hati-hati, dikejar waktu dan diteror ancaman tak kasat mata yang sudah pasti jelas mengincar keluarga yang tersisa di rumah, ibu Hamlin. Hamlin Murai kehilangan kendali atas dirinya lagi, dikuasai oleh penyesalan dan ketakutan. Ia tak memikirkan ini sewaktu merencanakan tindakan-tindakan itu. Ia pikir semua akan berjalan lancar. Ia lupa membuat rencana cadangan untuk keamanan orang-orang tersayangnya. Perjalanan menuruni bukit cukup sulit, tak seperti biasanya, itu karena lutut mereka yang lemas terserang kepanikan. Perasaan terburu-buru tak baik untuk perjalanan yang memerlukan konsentrasi dan keahlian tinggi ini. Mereka sampai kaki bukit dengan kaki dan tangan penuh goresan akibat berkali-kali terjatuh. Hamlin Murai tak kuasa berlari, kakinya lemas sekali. Ayahnya lalu menggendongnya. Ia berlari sekuat tenaga untuk segera mencapai rumah. Warga dan turis bertanya-tanya melihat mereka sebegitu paniknya.
Sesampainya di rumah, mereka sedikitnya bisa mengembuskan napas lega. Di rumah, ibu Hamlin tengah mengobrol dengan istri Gus Taman yang sudah kembali dari Gresik. Lengkap beserta dua anaknya. Ini justru menambah kekhawatiran ayah Hamlin dan Hamlin Murai. Mereka sepakat untuk tidak memberitahukan itu ke ibu Hamlin.
Hamlin Murai menenangkan diri dengan meditasi di kamar. Ia perlu langkah pencegahan bahaya. Ia memikirkan hewan yang bisa menjaga. Ia terpikirkan ajak. Melalui suling dan kemampuan dapat menirukan suara hewan, ia memanggil ajak-ajak gaib untuk berjaga di halaman rumah. Ajak-ajak itu tak bisa dilihat oleh selain dirinya. Hamlin Murai meminta mereka untuk menghadang siapa pun, terutama si pendekar mata satu.
Ayah dan anak itu jadi kelihatan waspada setiap saat. Mereka jarang tidur dan tidak nafsu makan. Mereka mengawasi halaman rumah hampir tanpa lepas pandangan. Mereka berusaha bersikap biasa saja kepada ibu Hamlin. Tapi apa yang terpancar dari raut muka mereka gampang terbaca. Keresahan itu menular. "Kalian ada apa sih?"
"Hanya berjaga-jaga." Kata ayahnya.
Hamlin Murai mengawasi ajak-ajak gaib yang sudah ia beritahu siapa saja yang perlu diwaspadai kedatangannya dari jauh. Ajak-ajak itu masih dalam posisi siaga. Belum waspada. Bahaya belum mendekat. Itu berlangsung selama setidaknya lima hari. Bahaya itu tak datang-datang. Hamlin Murai jadi bertanya-tanya, ke mana si pendekar mata satu itu. Apa yang dilakukannya?
Jawabannya ia dapat di hari keenam. Saman King kembali ke desa dengan muka penuh kemenangan. Hal itu membuat kecewa semua orang. "Saya tidak bersalah. Sialan saja itu yang menuduhku! Pakai video rekaman editan, cuih, anak kecil juga bisa!"
Hamlin Murai memukul tembok. "Lagi-lagi gagal."
Ia harus tetap waspada. Kalau Saman King sudah bebas. Kemungkinan besar itu karena bantuan Pak Camat. Lalu ke mana si pendekar mata satu?
Ayah Hamlin menonton siaran berita di hari Minggu pagi. Hampir semua saluran menayangkan berita tentang pembunuhan massal di kantor polisi yang pernah menahannya. Hamlin Murai langsung ikut menyimak. Kantor polisi itu sekarang dalam kondisi disegel untuk penyelidikan lebih lanjut. Pembunuhan yang terjadi cukup mengenaskan. Semua polisi dan bahkan para tahanan, mati dengan leher tergorok.
"Ini ulah si pendekar mata satu." Kata Hamlin Murai.
Ayahnya jadi bangkit kewaspadaannya. Ia mematikan televisi agar istrinya tidak tahu. Hamlin Murai menengok ajak-ajak gaib. Mereka masih dalam posisi siaga saja. Bahaya belum datang. Belum.
Bahaya yang diwanti-wanti akan datang tapi tidak kunjung datang membuat teror semakin terasa mengerikan. Keluarga Hamlin hampir tak pernah meninggalkan rumah. Nurliman menyarankan agar istri Gus Taman pergi lagi saja ke Gresik. Tapi istri Gus Taman menolaknya. Ia baru pulang, untuk apa ke sana lagi. Nurliman tak sampai hati untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.
Sementara itu, Saman King sudah beredar lagi baik di lokasi proyek dan pantai. Ia makin semena-mena dengan warga Ndoroalas. Ia sendiri bahkan yang memalak setiap pedagang. "Ini semua terjadi karena jasaku, jadi tahu dirilah!"
Warga tak bisa melawan karena taruhannya adalah keselamatan keluarga.
Hamlin Murai memanggil dan mengirim ajak-ajak gaib untuk beredar ke seluruh Ndoroalas untuk mencari keberadaan pendekar mata satu. Mereka tak membawa hasil. Pendekar mata satu tidak ada di mana pun di Ndoroalas. Itu membuat Hamlin Murai dan ayahnya tak berhenti cemas.
Lalu di suatu malam hening. Di hari yang teramat aneh sebab tidak ada turis datang dan para pekerja proyek dipulangkan, Hamlin Murai yang sedang berjaga di teras, dipukul sampai pingsan. Saman King dan pendekar mata satu telah datang. Hamlin Murai tak berdaya dibekuk oleh tiga orang berbadan besar. Dirinya diikat di sebuah kursi. Ia melihat sekitar, ini masih di depan rumah Gus Taman. Mulut Hamlin Murai dibekap.
"Silakan berteriak sekencang yang kau mau. Orang-orang tidak akan mendengar. Mereka semua tidur pulas. Mereka semua kuberi obat tidur." Kata pendekar mata satu.
Hamlin Murai berdebar jantungnya, ketakutan, ini seperti berada di ambang kematian. Di dekatnya ada bakaran kayu, apinya menjilat-jilat udara.
"Kau bocah cilik, pintar dan licik juga ya. Kau seharusnya menjaga diri. Menjaga mulutmu yang main suling tak enak itu." Kata Saman King. Si raja minyak mempersilakan anak buahnya yang berdiri di dekat bakaran kayu. Anak buah itu ternyata mengambil sebilah pisau. Margo, si pendekar mata satu, menghentikannya, meminta pisau itu diserahkan padanya.
"Biar aku saja. Mencelakai Hamlin Murai adalah jatahku."
Hamlin Murai membelalak. Ia tak berdaya. Ia rasa ia sudah ditotok sehingga ia memanggil banteng atau ajak gaib saja tidak bisa. Dua anak buah Saman King mendongakkan kepala Hamlin Murai. Satu lagi memakai catut untuk menarik lidah si bocah. Ketika lidah sudah cukup terjulur, Margo mengiriskan pisau panas itu. Lidah terputus tanpa si empunya mampu berteriak. Air mata Hamlin Murai bercucuran dari matanya yang membelalak kesakitan. Kemudian ia dijatuhkan begitu saja, kepalanya membentur tanah yang terdapat batu mencuat tajam. Ada darah mengalir, dari kening dan dari mulut.
Saman King dan anak buahnya tertawa, kecuali si pendekar mata satu. Ia tampak terengah-engah. Engahan puas atas pembalasan dendam.
Lalu anak buah yang lain masuk ke rumah Gus Taman. Masuk ke setiap kamar dan membacokkan golok mereka ke penghuni yang ada.
Hamlin Murai membelalak semakin lebar. Bahaya sudah datang. Kematian sudah datang. Ia tak berdaya. Tubuhnya lumpuh kena totokan. Demi leluhur Ndoroalas yang agung, beri Hamlin Murai kekuatan.
Terjadilah peristiwa yang lebih parah kehancurannya dari peristiwa puluhan tahun lalu ketika meteor menyerbu rumah warga. Kehancuran ini berasal dari lolongan tak berbunyi yang keluar dari mulut Hamlin Murai. Lolongan itu membuat kaca-kaca rumah pecah. Angin ribut datang. Petir menyambar-nyambar. Empasan energi dahsyat yang membuat orang-orang terpental dari posisinya semula. Hamlin Murai kehilangan kendali. Ia biarkan angkara murka alam Ndoroalas mengambil alih. Hamlin Murai merasakan kehadiran Blorong Cilik di sana. Lolongannya membuat setiap orang di Ndoroalas berubah jadi batu. Empasan energi terakhir membuat manusia-manusia yang menjadi batu itu terbuyarkan jadi kerikil, termasuk rumah-rumah dan yang lainnya. Malam mengenaskan itu meratakan Ndoroalas.
Dan begitulah ingatan itu kembali lagi padanya. Menyisakan rasa sakit luar biasa. Kehilangan luar biasa. Tapi itu semua telah terjadi, dan ia masih hidup. Hanya ia yang selamat dari peristiwa itu. Ia adalah si penyebab kehancuran yang sedari lahir sudah diramalkan oleh orang yang membantu proses kelahirannya.
Ia bangkit dan mulai berjalan. Melangkahi kerikil-kerikil yang sebelumnya adalah manusia-manusia Ndoroalas. Langkahnya maju, menuju jalan keluar tempat kehancuran ini. Mencari kehidupan baru. Di langkahnya yang kesekian, ia menemukan suling putih. Temannya dalam menjalankan rencana-rencana. Ia memeriksa mulutnya, bersedih hati karena lidahnya sudah terpotong, satu lagi kehilangan yang mengenaskan. Meski begitu ia mencoba meniup suling itu. Sekali tiupan, seekor burung murai hinggap di bahunya. Ia amat rindu murai. Setidaknya, perjalanan berikutnya ia tak sendirian.
*Tamat*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro