
2
Syukurlah, jeritan tangis memekakkan telinga Hamlin Murai hanya terjadi saat ia baru lahir di rumah Bik Muyah. Selanjutnya, Hamlin Murai tidak pernah kedapatan menangis lama-lama. Paling hanya merengek minta susu. Selebihnya, bayi Hamlin Murai lebih senang bersenandung dengan satu dua vokal yang dikuasainya. Ibu dan ayahnya senang sekali mendengar ia bernyanyi. Sampai-sampai ketiduran dan membiarkan bayi Hamlin Murai bermain sendiri di boks bayi.
Di bulan sekian setelah lahirnya Hamlin Murai, Margo sudah sembuh matanya, sudah lepas perban. Tapi sayang sekali, bola matanya kadung rusak dan harus dicabut. Kini Margo harus menerima nasib rongga mata kanannya bolong. Perlu waktu baginya selama tiga minggu untuk memberanikan diri keluar rumah. Selagi itu, ia memupuk dendam. Jantungnya terbakar dan dalam kepalanya muncul pikiran-pikiran untuk mencelakai serta membuat sial bayi Hamlin Murai. Semua itu dilakukannya tanpa sepengetahuan Bik Muyah. Satu per satu niatan untuk mengganggu sudah direncanakan. Margo akan membuat keluarga itu merasa tak nyaman. Terutama buat si anak sial Hamlin Murai itu. Semenjak peristiwa lahirnya yang mengundang cuaca buruk dan perusakan gendang telinga, Margo mencap anak itu sebagai anak setan. Ia tak habis pikir kenapa ibuknya mau berbuat banyak untuk melancarkan kelahiran anak itu.
Maka, inilah yang pertama dilakukannya.
Hamlin Murai menyaksikan kedua orangtuanya tidur di teras rumah. Bayi itu tersenyum. Ia sudah bisa duduk sendiri dan berdiri dengan bersandarkan papan pada boks bayi. Ia memainkan burung murai kayu yang dibandulkan ke boksnya. Ada tiruan bunyi murai saat ia menyentuh mainan itu. Ditirunya suara murai, tanpa sepengetahuan ibu dan ayah. Murai peliharaan ibunya sendiri mengamati bayi Hamlin dengan keantusiasan, dipikirnya ia sedang dikunjungi burung sejenis namun kok dalam bentuk manusia. Murai itu bulunya hitam bagus. Hamlin Murai bertepuk tangan kepada si burung, murai itu jadi girang dengan lompat-lompat di sangkar. Detik berikutnya, Hamlin Murai terdiam, syok, menangis tanpa suara. Murai dalam sangkar jatuh ke dasar, darahnya muncrat dan mengotori dinding atas pintu. Di sana, sebuah panah pendek tertancap, setelah menembus leher murai malang.
Beberapa menit sebelumya, dari kejauhan yang tepat, di salah satu pohon asem, Margo melepaskan anak panahnya dengan mantab. Untuk melancarkan aksi itu, ia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berlatih. Tekadnya begitu kuat, sehingga ketakseimbangan akibat mata tinggal satu, bisa teratasi. Ia tersenyum dari kejauhan, andai saja ia bisa memungut burung itu untuk dipanggangnya di kebun, itu akan menyenangkan hatinya lebih lanjut. Margo suka berburu burung untuk dimakannya sendirian di balik batu besar.
Akibat matinya murai yang mengenaskan, bayi Hamlin jadi susah tidur. Ia selalu menitikkan air mata, tapi tidak menangis bersuara. Ia terlampau sedih melihat teman burungnya mati di depan mata. Ibu Hamlin merelakan kepergian burung peliharaan favorit. "Teman Hamlin sudah pergi, ikhlaskan ya. Nanti akan datang murai yang lain. Ibu yakin itu." Ayah Hamlin mengakui itu. Semenjak berkisah cinta dengan ibu Hamlin, ia tahu istrinya itu tidak pernah lepas dengan burung murai. Dari semenjak kecil, selalu akan ada murai yang mendekatinya dan menginginkan untuk dipelihara. Bahkan ada tetangga yang mau membayar mahal untuk burung bagus itu. Namun ia tolak karena murai sangat berharga baginya. Pernah dulu juga kejadian, murainya dicuri. Tapi tiga hari kemudian murai itu kembali. Dengar-dengar, murai itu sudah sempat dijual, lalu berhasil kabur saat pindah tangan ke penadah. Ketika satu murai mati, akan ada murai lain yang datang. Ibu Hamlin pun heran sendiri. "Mungkin leluhurku dulunya adalah seekor murai." Begitu canda istrinya.
Ibu dan ayah Hamlin membawa bangkai burung itu ke sebuah bukit untuk dikubur. Bayi Hamlin diajak serta, digendong hangat oleh sang ibu. "Di sini, adalah tempat ibu mendapatkan murai pertama." Bayi Hamlin diberitahu sang ibu. Ceritanya berlanjut sebelum bangkai murai dikubur oleh ayah. Dulu semasa ibunya masih kecil, ia dan beberapa teman dekat suka main di bukit dengan puncak bulat landai, menghampar hijau dengan rerumputan segar di pagi hari. Kala itu ibunya iseng bersiul sementara teman-temannya sedang bermain lompat tali. Tahu-tahu ada burung kecil cantik yang mendarat di pundaknya. Burung itu tidak mau lepas darinya. Oleh teman-temannya ia ingin direbut, tapi burung itu kabur sebentar. Setelah ibu Hamlin kecil berpisah dengan teman-temannya, murai itu kembali. Dibawanya pulang dan ditunjukkan ke orang tua. Ibu Hamlin diijinkan untuk memelihara burung itu. Rumahnya kemudian jadi riang karena kicauan burung murai. Sejak saat itu hidup ibu Hamlin selalu bersinggungan dengan murai. Murai selalu datang. Begitu ceritanya. Ibu Hamlin kemudian menunjuk titik pertama burung murai mendarat di pundak, di situ ayah Hamlin mulai menggali kuburan.
"Murai akan datang. Selalu." Sebelum merelakan murai mati untuk dikubur, Hamlin Murai diperkenankan ibu untuk mengelus kali terakhir. Bayi Hamlin kemudian menenggelamkan mukanya ke pundak ibu, menangis sedih. Ayah Hamlin mengecup burung itu dan meletakkannya di sudut nyaman dalam tanah. Lalu menimpanya dengan bola-bola tanah, terakhir diuruk. Ayah Hamlin sudah menyiapkan papan kecil dengan tulisan "Murai Sayang". Keluarga Hamlin menghabiskan waktu sampai sore menggulung, menggelar tikar untuk mengenang burung cantik mereka.
Di waktu itulah kedua orangtua Hamlin takjub. Mereka pikir ada burung murai lain yang tengah mengudara hendak mendarat. Tapi ternyata kicauan bagus murai datangnya dari anak mereka sendiri. Hamlin Murai tertawa riang saat kepergok sedang menirukan kicauan murai.
"Anak ajaibku!" seru ibu Hamlin sambil memeluknya erat.
"Anak kita berbakat, sayang." Kata ayah Hamlin. Ia mengusap kepala anaknya bangga.
Dan sama halnya dengan sang ibu, Hamlin Murai untuk pertama kalinya didatangi seekor murai. Mendarat di pundaknya. Hamlin Murai bertepuk tangan kesenangan. Lalu dua murai datang lagi. Masing-masing mendarat di pundak ayah dan ibu. Pergi satu datang tiga. Mereka membawa murai-murai baru itu ke rumah. Esoknya, ayah Hamlin pergi ke pasar untuk beli sangkar baru. Tetangga yang melihat, ikut senang serta iri. "Kalau saja mereka mau menjualnya, bakal kaya mereka." Hanya saja, keluarga Hamlin sama sekali tidak berniat menjual murai-murainya. "Yang warna hitam paling bagus kicauannya."
Margo jadi geram melihatnya. Rencananya berakhir jadi bubur basi. Tapi tak apa, ada rencana kedua dan rencana lainnya. Bahkan rencana kedua sudah dijalankan. Ia tahu, sebab selalu mengintai rumah Hamlin, di sore matinya murai, keluarga Hamlin pergi ke bukit. Ia menyelundup masuk dan menyimpan ular berbisa di bawah boks bayi Hamlin. Ia tahu, setiap malam, Hamlin Murai tidur di sana.
Ular yang diperolehnya adalah jenis ular beling. Bodoh amat. Ia telah dilukai matanya, seumur hidup ia akan dicap picek. Maka dengan gigitan ular beling, bayi Hamlin akan mati kaku. Lebih baik dimusnahkan secara cepat daripada akan menyebabkan kehancuran desa di masa depan, seperti yang dimimpikan Bik Muyah. Ia menyingkirkan kepuasan yang kiranya bakal ia dapat kalau terus mengirim kesialan buat bocah itu, celaka yang tak sampai mati. Ujung-ujungnya, Margo harus gigit jari lagi. "Anak itu benar-benar titisan setan." Ia sudah susah payah menangkap ular beling, hanya untuk mengetahui rencananya gagal.
Jadi di malam itu, semua anggota keluarga sudah tidur pulas. Hamlin Murai tidur setelah disusui ibu. Tengah malam buta, ada yang membelit tangan bayi Hamlin. Bayi Hamlin terjaga dan malah penasaran dengan benda yang membelit tangannya. Karena merasa terancam, ular beling itu menggigit tangan mungil Hamlin. Bayi itu tentu kaget bukan kepalang, gigitan ular itu sakit, lalu pecahlah. Sebuah teriakan yang terlampau kencang hingga tak bisa didengar manusia. Akibat teriakan itu ular beling mati, jatuh ke lantai dan berubah jadi batu. Bisa yang kadung tersuntikkan ke tangan mungil Hamlin, hanya meninggalkan bekas biru-biru memar. Pagi hari Hamlin Murai sudah ceria seperti biasa, biru memar di tangannya hilang. Bisa ular tak berpengaruh padanya.
Margo sengaja jalan pagi-pagi melewati depan rumah keluarga Hamlin. Ia berharap sudah ada bendera kuning ditancapkan di pagar rumah. Tapi ia kecele, tidak ada bendera kuning. Tampak ibu Hamlin tengah menyuapi bayi Hamlin dengan bubur tim. Kesal, Margo menendang batu pinggir jalan. Berbalik pulang dengan kaki terseok-seok, kuku jempolnya robek. Di rumah ia memaki-maki diri sendiri. Bik Muyah sampai mendengarnya.
"Mohon ampun sama Gusti, kamu nak! Tega-teganya mau mencelakai anak tak berdosa!"
"Anak itu sebaiknya mati saja. Toh ibuk juga berpikir itu yang terbaik kan, dulu waktu membantu proses kelahirannya?"
"Mohon ampun kamu nak!"
"Tapi Margo benar kan, Buk?"
Margo ditampar. Bik Muyah tiba-tiba berlutut, matanya mengerjap, bola matanya mendelik jadi putih saja. Margo kebingungan melihat ibuknya. Biasanya kalau sudah begitu, sedang ada wangsit yang turun. Dalam kengerian ia mengawasi ibuknya, mendelik dan menceracau tak jelas. Suasana dalam rumah berubah seketika, seperti sedang ada gerombolan jin masuk dengan paksa. Margo menggigil.
Masih dengan mata mendelik, Bik Muyah menyorot tajam ke Margo. "Tidak, kaulah yang jadi penyebab kehancuran desa ini." suara ibuknya seperti campuran suara sepuluh orang yang tengah batuk serak. Margo membelalak ketakutan. "Maka dari itu, kaulah yang harus dipasung." Sekali kibasan tangan, ada tali tak kasat mata yang mengikat kedua tangan Margo. Pemuda itu tak berkutik. Tak bisa menggerakkan tangan dan kaki. Lalu seperti ada gerombolan jin yang mencekalnya dan membawanya keluar rumah. Bik Muyah ikut keluar. Di samping rumah, batang-batang pohon beterbangan dan menancap ke tanah membentuk sebuah kandang yang muat untuk satu kambing. Margo terjebak di dalamnya. Tak bisa bergerak.
"Ibuk! Ampun buk!"
"Minta ampunlah kepada Gusti." Kata Bik Muyah, sejenak kemudian matanya kembali normal dan jatuh pingsan.
"Ampun Gusti Pangeran! Ampun!" namun jeritan mohon ampun itu tidak ada yang mendengar. Dan kandang kambing itu tidak terlihat oleh siapa pun, bahkan oleh Bik Muyah sendiri. Margo kena kutukan. Ada suara tanpa wujud yang bicara kepada Margo di dalam tempat pemasungannya.
"Kau tak akan kelaparan. Kau tak akan mati. Kau tak akan menua. Kau akan selamanya terkurung sampai ibumu mati. Sambil menunggu itu, silakan renungi kesalahanmu."
Tapi Margo tak mau merenungi kesalahannya. Ia justru makin-makin memupuk dendam. Dendam kepada ibuknya sendiri, juga kepada Hamlin Murai.
"Dendam tak menyelesaikan masalah, anak muda. Dendam hanya membawamu ke kehancuran." Kata suara tanpa wujud itu lagi.
"Tidak masalah. Dendam harus dituntaskan." Kata Margo disusul geramannya yang sudah serupa geraman macan.
Bik Muyah bangun dan lupa segala hal. Lupa bahkan pernah memiliki anak. Ia ingat dari mana ia berasal dan apa tugasnya di desa Ndoroalas. Ia didorong entah apa, datang ke rumah keluarga Hamlin dan memberkati bayi Hamlin yang kini sudah bisa merangkak cepat, dengan daun pandan diberi air embun. Lalu meminta maaf barangkali ada salah-salah sikap dan kata kepada orangtua Hamlin. Selepas dari rumah keluarga Hamlin, Bik Muyah berasa enteng jalannya.
Lain hal dengan Margo. Pemuda yang tak bisa berbuat apa-apa dalam kurungan gaib itu, dendamnya makin membara. Terlebih karena ada setan yang gembira di sekitarnya. Dendam kesumat itu mengusir mundur suara tanpa wujud yang berusaha membuat Margo waras. Selama bertahun-tahun dendamnya terawat baik dan semakin subur. Lama kelamaan, Margo lupa jati dirinya. Ia termakan dendam dan lapar untuk menuntaskannya. Tiap malam ia menggeram selayaknya macan buas. Setan yang lewat kegirangan dengan dendam itu. Suara tanpa wujud makin tersingkir dan kurungan gaib itu bisa disusupi, meski si penghuni masih belum bisa untuk kabur. Bertahun-tahun berlalu. Margo belum tambah usia. Tapi ia sudah berubah bentuk. Di setiap bulan purnama, akan ada macan loreng gaib yang turun dari bukit untuk membawa dendamnya. Tapi macan itu belum seutuhnya membawa jati diri pendendam Margo. Macan gaib itu turun hanya untuk membuat desa Ndoroalas tak aman ketika malam tiba. Banyak hewan ternak yang mati sampai habis dagingnya menyisakan kulit dan tulang. Rumor yang beredar kemudian macam-macam. Salah satu yang terpengaruh budaya luar mengatakan ada drakula berkeliaran di Ndoroalas, lainnya lagi bilang ada macan kelaparan turun dari bukit.
Bik Muyah tidak bisa dimintai keterangan. Belum ada wangsit yang turun padanya. Kades Ndoroalas, Gus Taman, memerintahkan warga untuk ronda setiap malam. Ayah Hamlin termasuk yang ikut ronda. Ia sendiri memiliki firasat ada hewan buas turun dari bukit. Kemungkinan bentuknya seperti kalong raksasa. Itu lebih berkaitan dengan pendapat tentang drakula. Sebab luka di leher hewan ternak seperti gigitan dua taring tajam. Sempat beberapa kali warga yang ronda kedapatan penampakan hewan kaki empat di sela-sela pepohonan. "Berarti benar, ini macan jadi-jadian," kata seorang peronda.
Di lain waktu, warga yang meronda juga melihat kalong raksasa sebesar manusia dengan sayap merentang masing-masing lima meter. Bayangannya menutupi bulan. Saat penampakan itu muncul, hewan ternak pada berisik dan resah. Ronda juga dilakukan di kandang ternak warga. Para peronda yang melihat penampakan kalong maupun macan, bukannya berusaha menangkap, justru berlari ketakutan sendiri. Mereka mengaku melihat ada penampakan mata berapi menggantung di udara. Kata seorang dukun amatir, "itu adalah penampakan jin yang sebenarnya."
Padawaktu merebaknya ancaman macan atau kalong jadi-jadian itu, Hamlin Murai sudahberusia delapan tahun. Semua orang belum tahu kalau anak itu bisa melihat jelasmacan dan kalong. Hanya saja, Hamlin Murai sendiri tengah berjuang untuk memberanikandiri. Sebab saat ia dapat melihat penampakan itu, kepalanya sakit. Ia bungkamkarena takut. Takut kelepasan dan menjerit panjang memekakkan telinga.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro