18
Sesungguhnya Hamlin Murai tidak sadar kalau ia yang mendatangkan banteng pembawa malapetaka itu. Ia baru tahu ketika banyak warga berlarian panik. Sebagian melewati depan rumah Gus Taman. Saking berisiknya, jadi mengacaukan kegiatan meditasinya. Gerombolan warga yang panik itu bubar perlahan-lahan ketika mereka menyadari banteng mengamuk itu sudah tidak ada. Itu juga tanpa disadari Hamlin Murai, ketika meditasinya putus, banteng gaib sebesar tank itu lenyap. Samar-samar dari kejauhan terdengar bunyi sirine ambulans.
Barulah ketika hari sudah berganti, Hamlin Murai mendengar berita heboh itu dari Jan Satro, ketika ibunya sedang membeli sayuran buat masak. Jan Satro memang ikut di acara pelantikan itu. Bukan karena ia mendukung Saman King, melainkan karena dangdut. Artis biduan yang didatangkan itu yang terkenal di kabupaten. Jan Satro mengidolakannya. Kasihan, katanya, biduan itu terkena imbas serudukan banteng. Ibu Hamlin mengaku kemarin terheran kok tiba-tiba lagu dangdutnya berhenti dan terdengar suara benturan dan teriakan. "Saman King jatuh dari panggung yang ambruk, kakinya tertimpa son sistem besar."
Itu membuat Hamlin Murai mendengus tertawa. Jan Satro menggelengkan kepala melihat si bocah. "Senang kau ya lawannya bapakmu celaka?"
"Mungkin, aku dan beberapa warga di sini ada yang senang."
"Yah, termasuk saya, dik." Mereka berdua tertawa.
"Hush, jangan menertawakan kesialan orang lain. Walaupun orang itu kita tidak sukai." Tegur ibu Hamlin. Saat Jan Satro sudah berangkat ke depan rumah lain, ibu Hamlin di dalam rumah menyumpahi si raja minyak. "Rasakan itu. Rasakan itu. Makanya jadi orang jangan brengsek." Hamlin Murai tertawa tanpa suara melihat ibunya.
Selama beberapa hari berlalu, omongan tentang banteng ngamuk itu masih berlangsung. Hamlin Murai jadi bertanya-tanya. Dari mana datangnya banteng itu? Mendengar bahwa secara ajaib banteng itu muncul lalu lenyap setelah menyerang sasaran, ia jadi yakin, itu adalah ulahnya sendiri. Hamlin Murai tak berhenti meringis. Ia berhasil membuat Saman King celaka.
Hamlin Murai jalan-jalan sepanjang jalan beraspal. Anak-anak yang pernah diberinya burung murai menyapa dan bertanya, "Hamlin, kau tak lihat banteng kemarin?"
"Tidak. Aku ada di rumah. Sayang sekali aku tidak melihatnya."
"Untunglah banteng itu sudah pergi. Kalau masih di sini bisa gawat kamu."
"Loh kenapa?"
"Kaosmu merah."
Oh. Hamlin Murai juga baru ingat. Ia pernah membaca itu di suatu tempat. Banteng suka mengincar yang warna merah. "Apakah kemarin Saman King pakai baju merah?"
"Tidak sih. Dia pakai baju hijau keemasan norak."
Hamlin Murai tidak bisa tidak tertawa mendengar itu. Betapa konyolnya si raja minyak itu bersenang-senang atas kemenangannya hanya untuk dipatahkan kakinya oleh banteng celaka.
Meski si kepala desa baru sedang dirawat di rumah sakit. Kesepakatan ekonomi sialan yang dilakukannya bersama pejabat-pejabat tetap jalan. Proyek pengeboran diperpanjang kontraknya karena minyak yang diperoleh sangat menjanjikan. Alat-alat berat datang lagi hingga membuat rusak jalanan aspal yang pernah dibuat. Anak kecil yang suka bermain sepeda menyusuri jalan aspal sampai terjatuh karena lubang sialan. Lalu yang sebagian besar warga takutkan terjadi. Orang-orang tak dikenal datang dan meninjau hutan Ndoroalas. Mereka sama sekali tak gentar dengan mitos penunggu hutan yang harusnya mereka sudah dengar ketika datang ke sana. Mereka lalu menyusuri hutan lalu menuju bukit, meninjau kembali. Kemudian berakhir di pantai. Mereka saling berjabat tangan saat selesai peninjauan.
Meresahkan. Hamlin Murai, dulu sangat bersahabat dengan hutan keramat. Namun semenjak dukun sialan Mat Jabar itu menggerecoki hutan, tempat itu hawanya jadi aneh. Hawa yang tak mengenakkan bagi Hamlin Murai. Roh penunggu yang berasal dari Blorong Cilik sudah tak terasa kehadirannya di sana. Jadi benar apa kata ibu Gogon. Ia mengaku melihat bola mata api jin bertempur dengan makhluk tinggi putih. Acapkali Hamlin Murai sedang masuk hutan, kakinya seperti terhambat, samar-samar ia mendengar gerungan macan jadi-jadian. Tapi sama sekali tak menampakkan wujudnya. Di bukit, Hamlin Murai memanggil burung murai dan gagak, hendak ia ajak masuk ke desa. Tapi baru sampai pinggir hutan, mereka lenyap bagai kertas dilalap api. Sangat meresahkan.
Hamlin Murai hanya bisa memanggil hewan selain gagak dan murai untuk beredar di dalam Ndoroalas. Dalam rangka latihan, Hamlin Murai mencoba memanggil ajak. Mereka muncul di malam hari pukul sembilan, ketika warga lebih senang menghabiskan waktu di pos cangkrukan untuk mengobrol banyak hal, di pinggir hutan. Mereka muncul dari lubang kecil yang tahu-tahu terbuka di udara. Sekitar ada selusin ajak yang muncul dan menggeram ganas. Warga terkejut dan berlari mencari perlindungan. Mereka tahu ajak itu liar. Berangsur-angsur warga jadi tidak takut, karena keberadaan mereka seperti tidak dianggap oleh kawanan ajak itu. Mereka mengikuti ke mana ajak itu pergi. Ternyata menuju rumah megah Saman King. Warga terkejut bukan kepalang saat mereka menyaksikan sendiri bahwa ajak-ajak itu menembus gerbang. "Ajak setan!" mereka kabur ke arah sebaliknya. Mereka jadi tidak menyaksikan apa yang terjadi berikutnya. Si pendekar mata satu menghadapai kawanan ajak itu tanpa takut sama sekali. Ia menyabetkan golok dengan perhitungan matang. Golok itu memenggal kepala ajak-ajak. Mereka mati seketika dan lenyap seperti debu di pekarangan.
Malam itu Hamlin Murai bermeditasi di teras. Kepalanya bocor berdarah terkena lemparan batu. Sebelum ia terempas dan mencium lantai, ia melihat sosok pendekar mata satu di jarak dua puluh meter dari rumah Gus Taman. Perang masih berlangsung saudara-saudara.
Ibu Hamlin mengobati luka di kepala anaknya. "Siapa yang melakukan ini?"
"Ibu tidak perlu tahu. Ini urusan Hamlin dengan dia."
"Tidak bisa. Hamlin harus kasih tahu Ibu. Biar ibu labrak."
"Jangan, Bu. Orang itu sakti. Hamlin takut ibu terluka."
"Kalau begitu, balaslah. Balaskan sampai dia berharap tidak pernah dilahirkan."
Hamlin Murai menyentuh bahu ibunya untuk menenangkan.
Kini, tidak ada warga yang berani terang-terangan menentang pergerakan Saman King dan orang-orangnya. Hutan keramat Ndoroalas diberi pagar dan tulisan "Taman Wisata Ndoroalas". Seminggu kemudian tempat itu dibuka umum, pertama diresmikan oleh Pak Camat, tanpa kehadiran Saman King yang masih dirawat. Warga Ndoroalas sesungguhnya merasa sakit hati karena tidak dilibatkan sama sekali. Bahkan kedatangan Pak Camat untuk meresmikan itu saja mereka tidak tahu. Tahu-tahu di pinggir hutan sudah ramai orang.
Pada hari itu Hamlin Murai sedang memikirkan bagaimana cara benar-benar menjatuhkan Saman King dan orang-orangnya. Ia keliling sambil berpikir di dalam rumah Gus Taman. Ia tak sadar sampai masuk gudang dan melihat koleksi suling Gus Taman. Pikirannya tersingkir sejenak, ia mengagumi satu suling putih. Disentuhnya, dingin. Hamlin Murai mencoba meniup suling itu. Lalu jari-jarinya ia letakkan di setiap lubang udara. Ia meniup asal dengan gerakan jari juga asal. Ia menghayati, sampai pikirannya tentang menjatuhkan Saman King mengambil alih, lalu nada yang keluar dari suling itu pun berubah. Ada sihir terlibat di sana. Keluar dari mulut hasil sugesti Hamlin Murai.
Yang terjadi di acara peresmian itu adalah, kurang lebih kacaunya sama dengan di acara pelantikan, puluhan warga asli Ndoroalas datang dan menyerang orang-orang yang hadir di acara itu. Mereka kalap dan begitu beringas menghajar orang-orang yang ada di sana. Serta merta para jagoan Saman King, dikomandoi oleh pendekar mata satu, memukul mundur para warga. Mereka menggunakan ruyung dan pentungan untuk menjatuhkan para pengacau. Akibatnya, para hadirin yang datang dengan antusiasme ingin menikmati udara sejuk bukit dan pantai Ndoroalas, jadi pergi.
Hamlin Murai berhenti memainkan sulingnya.
Di depan hutan itu terdengar jeritan kesakitan. Melolong. Membingungkan para jagoan Saman King. Warga yang jadi pengacau terbangun dari jerat sihir entah apa yang menggerakkan mereka untuk berbuat rusuh. Mereka kebingungan dan kesakitan. Banyak luka yang mereka terima. Mereka mengaduh dan menatap melas kepada para pemukul. Apa yang terjadi? Tuntut mereka. Kenapa kami dipukuli?
Itu membuat bingung Pak Camat dan jagoan Saman King. Pendekar mata satu langsung tahu siapa dalang di balik semua ini. Tapi ia memutuskan untuk menyimpannya. Hamlin Murai adalah jatahnya. Ia tak mau jagoan lain mengambil jatah untuk mencelakai bocah itu. Tak peduli dengan apa yang dialami puluhan warga itu, Pak Camat memerintahkan para jagoan untuk membuat mereka semua pingsan. Setiap mereka diselipi amplop berisikan satu juta dan tulisan, "Jangan pernah lagi mengganggu acara pemerintah. Atau keluarga kalian dalam bahaya."
Mereka tersadar dan tak mengerti. Kepala mereka terlalu pusing dan badan terlalu sakit untuk mencerna segalanya. Mereka pulang membawa uang dan surat peringatan. Mereka menggigil membacanya. Berita itu menyebar cepat. Warga jadi ketakutan dengan Pak Camat dan Saman King beserta orang-orangnya. Sekiranya beberapa hari setelah Saman King pulang dari rumah sakit, beberapa orang dari warga yang mengacaukan acara peresmian, hilang tak ada kabar. Suasana teror membuat warga terpukul. Mereka enggan berkeluh kesah dengan kepala desa mereka yang baru. Kentara sekali kades baru itu hanya mengutamakan kepentingan pribadinya yang ia sarukan dengan kemajuan desa Ndoroalas. Warga memilih diam.
Hamlin Murai dicegat di tengah jalan oleh pendekar mata satu. "Hati-hati dengan senjata yang kau miliki."
Hidung Hamlin Murai berdarah. Si pendekar mata satu itu tahu-tahu meluncur dari atas dan menghadangnya dengan tonjokan di muka. "Apa maksudmu?" tanyanya sambil memegangi hidung.
"Dasar amatiran. Kau tidak tahu, permainan sulingmu membuat orang-orang jadi tersihir dan melaksanakan rencanamu yang bodoh itu? Kau membuat mereka celaka. Jika mereka ada yang mati, itu salahmu."
Hamlin Murai tercekat. Si pendekar mata satu lenyap setelah menendang perut Hamlin Murai dengan kencang. Bocah itu meringkuk setengah jam lamanya, menunggu sakit itu mereda. Hamlin Murai tahu berita tentang orang-orang yang hilang. Sebagian ia kenali sebagai pendukung ayahnya di pemilihan kepala desa. Mendengar dari mulut si pendekar mata satu, Hamlin Murai mengutuk diri. Ia sembrono. Ia masih sama sekali belum mengendalikan kemampuannya. Alunan suling itu ternyata dibarengi dengan pemikirannya agar warga desa lebih berani dalam mengutarakan pendapat dan tindakan menentang. Akibat dari kesembronoannya itu, warga terluka dan kini, hilang. Ia terserang kesedihan dan rasa tak percaya diri. Seandainya Blorong Cilik masih bisa menampakkan diri. Keabsenan Blorong Cilik dan ayahnya saat ini membuat Hamlin Murai merasa hilang arah.
Ia pulang dengan kaki terseok dan tangan memegangi perut. Ia tak henti memikirkan apa yang dikatakan pendekar mata satu tentang kemampuan sulingnya mampu menggerakkan orang. Sampai di rumah ia pura-pura merasa baik. Sakit di perutnya ia tahan. Dan ia berbohong habis terjatuh hingga membuat hidungnya berdarah. Kalau saja satu pemikiran cemerlang itu tidak datang, Hamlin Murai mungkin akan menghabiskan malam itu dengan bersedih dan mengutuk diri. Yang ia lakukan adalah, ia menjajali lagi kemampuan sulingnya. Kekuatan pikiran, adalah jawabannya. Hamlin Murai memainkan suling itu dengan memikirkan ibunya membuatkan teh manis hangat satu teko. Ia senang bukan main karena ibunya pergi ke belakang dan membuat teh manis hangat satu teko.
Ia jadi yakin dan mendapat harapan baru.
Keesokannya Hamlin Murai menjajali suling itu lagi dengan memikirkan Jan Satro si tukang sayur yang lagi berhenti di depan rumah berjoget dengan menggunakan kangkung dan kacang panjang sebagai pom-pom. Itu mengundang gelak tawa dari ibu-ibu. Setelah berjoget, Jan Satro bingung sendiri mengapa ia ditertawakan ibu-ibu.
Di lain waktu Hamlin Murai bermain suling di warung Kang Pait. Ia membayangkan Kang Pait berbicara dalam bahasa mandarin. Para pengunjung warung keheranan. Waktu Kang Pait berhenti, ia ditegur, "Kang habis kesurupan arwah orang cina?" yang ditanya bengong dan tak tahu apa maksudnya. Ada yang merekam, menggunakan ponsel cukup canggih, lalu menyodorkannya ke Kang Pait.
"Welah dalah, itu beneran aku toh? Kok aneh men ya!"
Hamlin Murai tertawa lepas. "Kang Pait punya bakat terpendam jadi vampir cina!"
"Hush, ngawur."
Hamlin Murai berusaha agar tidak memikirkan yang ekstrim-ekstrim saat memainkan suling. Ia teringat ponsel yang bisa merekam itu. Ia kedapatan ide. Ia akan menggunakan itu nanti.
Hamlin Murai pulang ke rumah dan memohon ibunya untuk menjenguk ayah di kantor polisi. Mereka berangkat dengan angkutan umum. Hamlin Murai menyusun rencana dan pembayangan adegan yang ingin ia jalankan nanti. Sepanjang jalan ia tersenyum lebar. Senyum penuh harapan dan kerinduan. Ia menjajal sulingnya di dalam angkutan umum, membuat orang-orang di dalam bertepuk tangan mengiringi permainan sulingnya yang sesungguhnya terdengar acak dan tak bernada, kecuali pak supir, bisa gawat kalau ikut bertepuk tangan. Tidak apa-apa, toh mereka nanti tidak ingat apa yang mereka lakukan barusan.
Sampai di kantor polisi, Hamlin Murai minta ijin ke toilet. Di sana ia melancarkan aksinya. Ia menegaskan sugesti dalam kepala. Membayangkan dengan sejelas-jelasnya. Ia masih ingat pak polisi yang menangkap ayahnya. Ia sudah tahu siapa yang pegang kendali di sini. Ia manfaatkan kedua orang itu. Hamlin Murai bersiap, jemari sudah berada di lubang-lubang yang tepat. Ia mainkan sulingnya. Apa yang terjadi selama ia memainkan suling, bagai adegan sutradara tengah mengarahkan pengambilan gambar di lokasi syuting.
Permainansuling usai, Hamlin Murai keluar toilet dan mendapati ayahnya sudah dinyatakanbebas dari segala tuduhan. Semua bukti yang dikantongi polisi dianggap takmewakili kebenaran. Nurliman tak bersalah. Misi Hamlin Murai berhasil.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro