Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17

Perjuangan tim pemenangan Nurliman sungguh berat terutama karena kurang dana. Nurliman sendiri mendatangai setiap rumah warga dan menjelaskan visi misinya sebagai kades nanti. Ia akan membuat desa Ndoroalas tetap nyaman untuk ditempati. Modern tapi memiliki genggaman kuat terhadap jati diri. Di kesempatan itu Nurliman menceritakan ulang kisah puluhan tahun lalu mengenai kades yang gegabah memberi ijin tentara menggondol kayu di hutan keramat, yang berakhir dengan kematiannya sendiri. Hutan keramat sudah dasarnya tak boleh diganggu. Biarkan hutan keramat menyimpan misteri yang tak dimengerti. Dengan tidak mengganggu hutan keramat, desa Ndoroalas akan aman. Nurliman berjanji akan mencari cara agar kebun dan sawah makin subur untuk dikelola. Di setiap kunjungan itu Hamlin Murai ikut. Ia membaca pikiran setiap warga untuk nanti diceritakan ke ayahnya.

"Mereka masih terombang-ambing, Yah." Kata Hamlin Murai.

"Ya, ayah bisa melihatnya sendiri dari tatapan mata mereka. Mereka pasti sudah dikasih macam-macam oleh si raja minyak. Sedangkan apalah ayah ini datang dengan tangan kosong."

Saman King tidak main-main dalam menggelontorkan uangnya. Spanduk dan baliho dan poster ditempel di banyak tempat di Ndoroalas. Beberapa warga merasa lingkungannya dicemari. Bagi warga yang waras, mereka risih dengan muka arab berhidung seperti beo milik Saman King alias Maryaman itu. Merusak pemandangan saja. Adalah ibu Gogon yang paling sering mengeluhkan jeleknya foto di alat peraga kampanye itu. Malam-malam ia nekat merobek-robek muka Saman King. Di malam itulah, warga Ndoroalas kali terakhir melihat ibu Gogon beredar. Semenjak kehilangan Gogon, ibu itu jarang menampakkan muka, kecuali ia benar-benar gusar dan bosan di rumah. Ia jadi sebatangkara. Gogon adalah satu-satunya yang ia miliki. Sepuluh tahunan lalu, ayah Gogon meninggal dalam ekspedisi pendakian gunung. Menurut kabar, ibu Gogon memaksa tim ekspedisi lain yang selamat untuk membawa pulang jasad ayah Gogon. Mereka tak bisa memenuhinya. Ibu Gogon tidak mau tahu. Dan tanpa ibu Gogon ketahui, ia dikirimi tulang belulang entah milik siapa. Kalau ada warga yang mau berkunjung ke rumah lama ibu Gogon, tulang belulang itu dipajang di ruang tamu. Itulah alasan ibu Gogon jarang kedatangan tamu, serta Gogon yang malas pulang. Jan Satro mengaku pernah diceritakan Gogon semasa ia hidup kalau Gogon sering melihat penampakan hantu pendaki yang bukan ayahnya. Jan Satro masih ingat bagaimana Gogon menjelaskan penampakannya. Penampakan itu memakai jaket gunung berwarna merah, rambutnya gimbal, ia membawa tongkat jalan dari bambu.

Penampakan itulah yang ditemuinya di rumah baru ibu Gogon, yaitu rumah Cak Bendo. Tak ada tanda-tanda keberadaan ibu Gogon. Jan Satro bukan tidak ada alasan mencari-cari ibu Gogon, masalahnya ibu itu punya hutang banyak dengannya. Hutang sayur selama dua bulan. Padahal ibu Gogon hidup sendiri. Setiap beli sayur selalu dengan porsi untuk tiga orang.

Jan Satro terpaku merinding melihat penampakan itu mondar-mandir di ruang tamu berlantaikan tanah rumah Cak Bendo. Menyadari kehadiran Jan Satro, hantu pendaki itu menoleh dan menampakkan mata berlubangnya dan berkata santai, "Perempuan itu belum pulang seminggu ini."

Jan Satro segera kabur dengan kaki kaku akibat terjerat takut. Perlu waktu baginya untuk tahu apa yang terjadi. Bahkan ia kurang jelas mendengar apa yang dikatakan hantu pendaki itu. Jan Satro absen berdagang sayur selama tiga hari. Di saat kemunculannya, ibu-ibu bertanya ke mana saja ia. Jan Satro menjawab dengan keder, "aku dikejar hantu."

Ibu-ibu kaget. Sudah lama sejak teror macan jadi-jadian, mereka belum kedapatan teror alam gaib lain lagi. "Hantu dari mana?"

"Dari rumah Cak Bendo, eh rumah ibu Gogon." Ia pun teringat jelas seketika. "Ibu Gogon hilang!"

"Orang itu kan memang jarang sekali keluar rumah."

"Silakan cek di rumahnya yang baru dan lama. Silakan. Dia tidak ada di mana-mana." Jan Satro mendorong gerobak sayurnya, mangkat dari tempat, padahal sayuran yang diambil belum dibayar oleh ibu-ibu. Ibu-ibu yang akhirnya penasaran dengan kebenaran cerita Jan Satro, meminta para suami untuk mendatangi rumah ibu Gogon. Di dua rumah milik ibu Gogon, mereka baru sampai di teras sudah memutuskan untuk putar balik. Pasalnya, mereka melihat penampakan yang disebut-sebut Jan Satro itu. Isu hantu pendaki itu mengalahkan panasnya persaingan Maryaman dengan Nurliman dalam merebut kursi kepala desa. Tidak ada yang peduli dengan baliho ukuran raksasa di gerbang desa yang menampangkan muka si raja minyak. Bahkan baliho itu dilempari telur busuk oleh anak-anak desa sebelah yang kelewatan iseng. Mereka lebih simpati dengan poster fotokopian bergambar Nurliman dengan tulisan sederhana "Selamatkan Alam Ndoroalas!".

Berita hilangnya ibu Gogon mencemaskan Nurliman dan timnya. Mereka curiga, itu pasti didalangi oleh Saman King. Si raja minyak itu benar-benar mengingatkan Nurliman akan kepemipinan presiden kedua. Sedikit protes, orangnya dihilangkan. Kekhawatiran ini berubah ketakutan. Nurliman takut orang-orang yang mendukungnya akan diperlakukan sama dengan ibu Gogon. Lalu mengenai hantu pendaki yang beredar di rumah ibu Gogon, Nurliman serahkan kepada Ustaz Zohri. Tanpa ditemani siapa pun Ustaz Zohri dengan gagah berani berbekal kitab suci dan tasbih, mengusir baik-baik si hantu pendaki. Ustaz Zohri menurunkan pajangan tulang belulang dari rumah asli ibu Gogon, lalu menguburkannya di pemakaman dekat bukit. Semenjak itu hantu pendaki tak pernah nampak lagi. Ia sudah dikuburkan dengan layak. Arwahnya tenang. Menghilangnya Ibu Gogon, masih menjadi pertanyaan besar. Hamlin Murai gagal mendapatkan keterangan dari upayanya membaca pikiran orang-orang yang ada di rumah megah Saman King.

"Bisa jadi ia pakai jasa orang luar." Kata Nurliman.

"Makanya Hamlin tak bisa membaca pikiran siapa pun di sana? dan orang yang menyewa pun, sudah mangkat dari tempat itu? Pintar juga mereka. Laknat."

Nurliman yang khawatir meminta agar para pendukungnya tidak terang-terangan melakukan pertentangan kepada Saman King. "Bisa jadi, keluarga kalian yang jadi korbannya. Jangan sampai. Kita kekurangan bukti solid. Kita belum bisa menjatuhkannya secara hukum."

"Apalagi bekingannya itu Pak Camat sendiri." ungkap salah satu warga pendukung Nurliman.

"Ini akan jadi pertarungan berat."

"Atau pertarungan terlalu mudah?"

"Jangan kehilangan harapan, Pak."

Berdasarkan pembacaan cepat Hamlin Murai terhadap semua warga Ndoroalas, harapan itu kemungkinan besar bakal terkabul. Hamlin Murai menyampaikan itu kepada ayahnya di depan para pendukungnya. Mereka senang, dan makin semangat menyongsong hari pemilihan.

Hari pemilihan tinggal lima hari lagi. Alat peraga kampanye dari pihak Nurliman sudah diturunkan oleh tim pendukung sendiri. Sementara itu baliho besar Saman King masih terpasang kokoh dan angkuh. Tapi tak ada yang turun tangan untuk merobohkannya. Kalau saja ibu Gogon masih beredar, baliho itu sudah habis olehnya.

Memasuki hari-hari tenang menjelang pemilihan. Tenda yang didirikan di lapangan sudah siap dengan meja dan kursinya. Calon kepala desa sudah tidak diperkenankan untuk mengunjungi rumah warga satu per satu. Mobil dari kecamatan datang di malam hari sebelum pemilihan, membawakan surat suara dan kotak suara. Panitia ditentukan oleh Pak Camat, yang bukan dari desa Ndoroalas, agar menjamin kenetralan. Suara miring terdengar di balik tembok, "netral cap apa yang dia usung, heh?"

Kentara sekali Pak Camat lebih condong ke Saman King daripada Nurliman. Itu terbukti saat hari pemilihan tiba. Pak Camat datang bersama Saman King naik mobil mewah. Nurliman sudah di tempat pengambilan suara bersama istrinya. Duduk di barisan kursi warga. Semengara Pak Camat dan Saman King duduk di barisan depan, di kursi sofa empuk yang di depannya terdapat meja yang tersaji makanan enak. Sial betul.

Baru segelintir saja yang mengambil surat suara lalu menuju bilik suara, setelah pidato panjang membosankan Pak Camat, keributan terjadi. Bunyi sirine mobil polisi meraung-raung. Mobil itu memarkirkan diri dengan heboh di lokasi pemungutan suara. Sontak warga bertanya-tanya, kenapa polisi datang ke Ndoroalas. Dua petugas polisi turun dari mobil dan langsung menuju Nurliman. "Ada yang bisa dibantu Pak?"

"Anda harus ikut kami ke kantor polisi." Jawab satu polisi tegas dan tenang.

"Ada apa ya Pak? Apa saya melanggar hukum?"

"Anda kami tahan. Anda jadi tersangka atas pembunuhan Siti Gondangdia."

Warga terkesiap, syok, tak menyangka. Mereka tahu siapa pemilik nama yang disebut polisi itu. Orang itu tak lain adalah ibu Gogon. Ribut-ribut pertanyaan tergelar kemudian. Para pendukung Nurliman saling lempar pandang penuh tanya.

"Suami saya tidak membunuh siapa pun!" tentang ibu Hamlin. Menghadang dua polisi.

"Suami anda harus ikut kami dulu ke kantor untuk keterangan lebih lanjut. Bukti sudah kami kantongi."

Nurliman menenangkan istrinya, meyakinkannya. Nurliman dengan tenang, yakin dengan kebenaran, mempersilakan dirinya digiring oleh polisi.

"Ayah! Kebenaran akan terkuak!" seru Hamlin Murai. Ia sudah tahu, ini adalah skenario busuk Saman King.

Pak Camat langsung mengambil tindakan. Ia menghampiri polisi lalu berbincang sejenak. Setelah itu Pak Camat merebut mik panitia dan mempersilakan pemungutan suara dilanjutkan, setelah ia memberitahukan apa yang telah terjadi. "Pak Nurliman ditetapkan sebagai tersangka tewasnya Siti Gondangdia. Mendiang Siti Gondangdia ditemukan di pinggir kali dengan menggenggam surat bertuliskan ancaman dari Nurliman."

Warga saling tukar pandang. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Para pendukung Nurliman sama sekali tidak percaya, mereka berseru, "Bohong itu! Nurliman difitnah. Jangan percaya perkataan Pak Camat."

Lalu warga yang sudah dibayar oleh Saman King mengambil alih arena, "Wah gilak, tak kita sangka ternyata Nurliman busuk juga. Dia tega mengancam dan membunuh ibu Gogon."

Yang terdengar lebih nyaring adalah yang diikuti. Hamlin Murai dan ibunya, serta istri Gus Taman dan dua anaknya, memutuskan meninggalkan lokasi pemungutan suara. Situasi sudah di luar kendali. Terjadi baku hantam di sana. Menyebabkan truk polisi datang dan membekuk para pembuat onar. Sialnya, yang dibekuk hanya dari tim pendukung Nurliman. Pak Camat kemudian minta acara pemungutan suara dilanjutkan kembali. Dengan tegas ia mendiskualifikasi suara dari orang yang membuat onar. Baca: para pendukung Nurliman.

Ibu Hamlin dan Hamlin Murai lebih memilih menyusul Nurliman ke kantor polisi ketimbang menunggu hasil pemungutan yang sudah diatur dengan uang itu. "Dasar manusia sampah." Hamlin Murai mengutuk.

Di kantor polisi, ayah Hamlin ditahan sampai penyelidikan menemukan bukti baru. "Awas saja, kalian, cecunguk kalangan Saman King." Hamlin Murai mengepalkan tangan dan mengucapkan dendamnya dalam hati. "Ini belum berakhir."

Seperti semua orang duga, Saman King menang telak dari Nurliman. Di malam pemungutan suara, Saman King membuka rumahnya untuk warga makan-makan besar. Awalnya warga malas untuk datang. Tapi di rumah megah Saman King, ada panggung dangdut, dan aroma sajiannya bergentayangan di Ndoroalas. Akhirnya mereka datang dan memberi selamat Saman King sebagai kepala desa Ndoroalas yang baru.

"Besok kita makan-makan lagi!" kata Saman King melalui mik biduan.

Acara makan-makan kedua lebih besar dan lebih megah. Itu diadakan di samping lokasi proyek pengeboran. Itu sekaligus sebagai acara pelantikan Saman King sebagai kepala desa baru oleh Pak Camat. Sangat sedikit pada hari itu, rumah warga Ndoroalas yang ditempati penghuni. Semua datang ke pesta. Salah satu yang tinggal di rumah adalah keluarga Gus Taman dan Nurliman.

Warga pendukung Nurliman sudah dipulangkan. Mereka langsung saja mengacaukan pesta pelantikan itu. Mereka tidak terima Saman King menang. "Orang curang! Orang main uang! Tukang suap! Pembunuh!"

Para pekerja proyek dan beberapa tukang pukul sewaan memukul mundur warga yang protes itu. Baru pulang, mereka sudah diciduk kembali oleh polisi.

"Saman King semakin semena-mena." Kata ibu Hamlin.

"Tak sudi aku dipimpin kades macam dia. Besok aku mau pergi ke Gresik." Kata istri Gus Taman. "Kutitipkan rumah ini kepadamu." Kepada ibu Hamlin ia berpesan.

Kalau saja kepala bisa mendidih dan mengepulkan asap, Hamlin Murai sedang melewati itu. Dendamnya makin membara. Angkaranya menjadi pembakar yang hebat. Kepalan tangannya sampai memutih dan berbunyi tulang saling menggerus. Ia sangat ingin mengacaukan acara pelantikan Saman King biadab itu. Ia ingin memberi peringatan, masih ada Hamlin Murai di sini. Masih ada orang yang kiranya sangat mungkin untuk menyingkirkan Saman King dari desa ini. Desa yang seharusnya tak digerogoti rahimnya oleh para pemegang kepentingan busuk dan culas.

Ada Hamlin Murai di sini. Ia akan menggunakan segenap kemampuan mistisnya untuk menumbangkan Saman King. Apa pun cara. Ini sudah memuncak. Pengeboran itu sudah membuat Blorong Cilik lenyap. Setelah ini, hutan, bukit dan pantai akan jadi sasaran. Semakin banyak kehadiran orang asing yang tak kenal jati diri Ndoroalas. Mereka semua tak tahu, alam Ndoroalas tengah menyusun pembalasan. Angkara murka karena roh leluhur tak dihargai. Dieksploitasi dengan serakah. Keseimbangan alam tengah dicabik-cabik. Hamlin Murai memejamkan mata, menikmati bara angkara murka yang menggelegak dari dasar jiwa.

Saman King menampilkan joget tak jelasnya di panggung. Licin sekali ia mengelilingi dan menggesek tubuhnya ke biduan seksi. Sesekali Saman King menyebarkan lembar-lembar merah rupiah bergambar presiden dan wakil presiden pertama. Warga yang terlena oleh pemanjaan itu berebutan menangkap uang melayang. Mereka sampai sikut-sikutan dan bahkan saling pukul ketika uang itu jatuh ke tanah, untuk merebutnya.

Tanpamereka sadari, akibat terlalu keasyikan dengan dangdut dan sajian pembuat perutgendut, mereka tak tahu ada seekor banteng liar berlari di jalanan aspal,muncul entah dari mana, tujuannya adalah keramaian. Serudukan banteng berukurantank itu merobohkan panggung sampai membuat cedera si kepala desa baru.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro