Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14

Sangat menyesakkan hati ketika menyaksikan yang tersayang perlahan pudar di dalam dekapan. Blorong Cilik merintih seperti orang menggigil dengan perut melilit. Hamlin Murai belum pernah sepanik itu. Ia memeluk kekosongan setelah Blorong Cilik benar-benar lenyap dari dekapan. Hamlin Murai belum sempat masuk ke dalam pikiran Blorong Cilik untuk mengetahui apa yang tengah terjadi dengannya. Itu membuatnya teramat pilu. Hamlin Murai tersedu-sedu, mencengkeram batu.

Kesedihannya memengaruhi suasana dalam gua. Tanpa ada gejolak dari perut bumi, bebatuan dalam gua bergetar. Stalaktit pada berjatuhan. Hamlin Murai tidak memedulikan itu semua. Ia terduduk diam, batu-batu yang jatuh menghindarinya. Hamlin Murai tidak tahu dan tidak peduli di luar hujan turun amat deras disertai guntur bersahutan. Hujan dan guntur itu tak berhenti sampai Hamlin Murai meredakan tangisnya.

Ndoroalas belum pernah mendapat hujan sederas itu. Kalaupun pernah, itu terjadi pada hari kelahiran Hamlin Murai. Guntur tak berhenti saling menyahut hampir seharian. Tak ada yang berani keluar rumah. Ayah dan ibu Hamlin khawatir ke mana anaknya pergi. Jam pulang sekolah sudah lewat. Saking derasnya hujan, mampu merobek payung. Itu sudah dicoba ayah Hamlin saat ia nekat menerobos tirai hujan dengan payung satu-satunya di rumah. Payungnya robek dan kepala sampai punggung ayah Hamlin serasa dirajam hujan kerikil. Ayah Hamlin membatalkan pencariannya. Ia tunggu sampai hujan reda. Mungkin Hamlin Murai sedang berteduh di suatu tempat.

Hujan baru reda ketika hari sudah menjelang malam. Ayah Hamlin membawa peralatan semacam senter dan tongkat jalan untuk menembus hutan, menuju bukit. Tempat Hamlin Murai biasanya bermain. Baru saja ayah Hamlin melangkahkan kaki melewati pintu, Hamlin Murai sudah tampak, berjalan kaki murung. Ia tak sadar ada ayahnya di depan. Ayah Hamlin langsung memeluk anaknya. "Kau tidak apa-apa kan, nak?"

"Hamlin baik-baik saja, yah. Desa kita yang tidak." Itu diungkapkan dengan nada murung. Ayahnya menengok ke sekitar, terutama ke atas, langit malam yang tadi sempat cerah sehabis memuntahkan seluruh kesedihannya kini jadi gelap lagi. Anehnya, kekelaman itu hanya berada di sekitar Hamlin Murai berdiri.

Ayah Hamlin tidak bisa tidak menghiraukan apa yang diucapkan anaknya. "Desa kita kenapa, nak?"

"Digerogoti belatung dalam wujud manusia." Hamlin Murai lalu lunglai, lemas, jatuh dalam tangkapan ayahnya. Ia digendong ke rumah dan diistirahatkan. Keningnya panas.

Keresahan yang terlontar dari perkataan anaknya ikut menyergap keresahan terpendam sang ayah. Kegiatan proyek pengeboran minyak itu sangat meresahkannya. Tapi ia tak ada daya untuk mencegah atau membubarkan. Proyek itu datang dari pemerintah. Kalau perkataan Saman King bisa dipercaya.

Hamlin Murai tidak beranjak dari tempat tidur selama lima hari. Panas dingin ia merasakan Ndoroalas digerogoti orang-orang serakah. Ia tak nafsu makan, pikirannya terbayang selalu Blorong Cilik. Apalagi kepanikan saat kekasih mistisnya itu lenyap perlahan. Rasanya Hamlin Murai ingin menjerit, tapi energinya teramat lemah hingga teriakan itu hanya berakhir dalam angannya, yang sialnya membuat kepalanya jadi pusing.

Proyek pengeboran berhenti beberapa hari sampai lokasi proyek cukup kering dan aman untuk bekerja lagi. Hujan deras dan angin ribut membuat salah satu alat berat mereka terguling. Baru dibetulkan kembali benar-benar setelah kondisi lokasi memungkinkan. Ada dua orang pekerja proyek yang kakinya putus akibat tertindih alat berat itu. Seperti tanpa ampun, mereka justru mendatangkan lagi pekerja baru. Kegiatan mereka makin gencar sebab pengeboran itu sudah menghadirkan hasil yang menjanjikan. Saman King datang untuk merayakan itu bersama mandor. Kemudian para pekerja proyek diundang makan malam bersama di rumah megah Saman King. Pesta yang mengingatkan warga saat rumah megah itu baru jadi. Kali ini, warga sama sekali tak diundang.

Sialnya, seperti disengaja, aroma sajian di pesta itu begitu kuat menggantung dan merembet ke rumah warga. Aroma hidangan yang begitu memikat dan membuat perut keroncongan. Warga yang merasa terganggu dengan aroma menyebalkan itu keluar rumah dan berkumpul di pos cangkrukan. Mereka pun mulai bergunjing. Merasa diabaikan karena tak diundang. "Sial betul itu juragan minyak."

Mereka pun bungkam kembali ketika pesta selesai, para pekerja proyek berbondong-bondong mendatangi rumah warga dan membawakan sebakul makanan dan lauk pauk. Aroma yang tadi mengganggu hidung mereka kini tersaji di meja makan. Menu-menu yang mereka tak kenal, tapi sungguh menggugah selera. Mereka jadi lupa akan kekesalan tadi.

Keluarga Hamlin tidak menerima makanan itu. Mereka menolak dengan halus, makanan di dapur masih banyak. Ibu Gogon, secara mengejutkan, juga menolak makanan asing itu. Ia mengemukakan alasannya dengan sinis, "giliran makanan sisa saja, dibagi-bagikan. Cuih." Berani sekali ibu Gogon mengatakan itu terang-terangan di depan muka pekerja proyek yang susah payah mencapai rumahnya akibat tanah becek. Menurut ayah dan ibu Hamlin, ibu Gogon cukup waras mengatakan hal demikian.

Ibu Gogon juga yang menyadarkan warga lain yang kadung sudah menghabiskan sajian sisa pesta itu. "Kalian mau saja diberi makanan sisa. Kalian tidak kepikiran apa kalau makanan yang kalian makan itu sebelumnya sudah diludahi?"

Bahkan tukang sayur Jan Satro dibuatnya ingin memuntahkan makanan semalam. Lalu oleh salah satu ibu yang sedikit banyak mengidolakan Saman King, ibu Gogon dibantah, "Pemberian tetap pemberian. Jangan dilihat dari bentuknya. Tapi dari niatnya."

"Memang kau tahu apa niatnya? Kalau niatnya ingin merendahkan warga Ndoroalas, bagaimana?" balas ibu Gogon.

"Ibu Gogon bisa tidak, tidak berprasangka buruk terus?"

"Prasangka buruk dengan pemikiran waras, beda!"

"Jadi, ibu Gogon menganggap kami yang menerima makanan itu tidak waras?"

Lalu terjadilah keributan. Ibu-ibu penggemar Saman King dengan ibu Gogon. Mereka saling jambak dan cubit. Para penggemar Saman King diperkirakan ada lima orang. Walau begitu, ibu Gogon petarung solo tampak unggul. Pertarungan itu dihentikan oleh Gus Taman yang dipanggil darurat oleh Jan Satro. Akibat pertarungan itu Gus Taman jadi tahu siapa yang kiranya bisa ia ajak dalam upaya penumbangan raja minyak.

Sudah ia kantongi nama-nama yang bisa diajak kerjasama, pemikiran sama. Keluarga Hamlin dan ibu Gogon. Warga lainnya masih di ranah abu-abu. Sulit sekali menilai mana yang sepemikiran. Bila saja Kong Jaal masih waras dan tidak meninggalkan padepokan, bila saja Cak Bendo juga masih hidup, tim Gus Taman mungkin akan lebih kuat. Sekarang ini, harapan terkuatnya ada di Hamlin Murai. Memikirkan bocah itu, Gus Taman kedapatan ide. Dari ribut-ribut di gerobak tukang sayur, Gus Taman beranjak ke rumah keluarga Hamlin.

Ayah Hamlin menyambut Gus Taman dengan semringah, lama mereka tak berbincang. Gus Taman dibawa ke kamar Hamlin Murai. "Sudah beberapa hari ini Hamlin sakit, tak bisa bangun."

Gus Taman kecele. Ia batal mengungkapkan rencananya. Nanti saja apabila bocah itu sudah sehat dan kelihatan beredar. Sebagai gantinya, Gus Taman menceritakan ribut-ribut di gerobak sayur tadi.

"Dasar ibu-ibu." mereka tertawa sembunyi-sembunyi.

Hamlin Murai yang berbaring lemah di tempat tidur sudah tahu pemikiran Gus Taman. Ia memberitahu ayahnya, setelah Gus Taman pamit.

"Oh, boleh juga rencana itu. Mencari siapa saja yang ada di pihak kita. Biar tahu jumlahnya. Langkah awal yang bagus." Kata ayah Hamlin. "Tapi tentu tidak secepatnya." Ayah Hamlin membimbing anaknya untuk berbaring lagi.

"Ayah, aku mau meditasi. Biar cepat sembuh."

"Oh. Baiklah, ayah tidak akan ganggu."

Tarikan napas dirasakannya lebih berat dari biasa. Seolah ada yang tak mengijinkan. Seolah ada yang menggelayuti. Hamlin Murai melawan itu. Menyingkirkannya. Pikirannya masih digantungi hilangnya Blorong Cilik. Ia coba tepis dahulu. Sulit. Ia mulai dari awal lagi. Mengosongkan pikiran. Mengatur napas. Duduk dengan benar. Ia lakukan itu sepanjang hari.

Dari luar, apabila ada yang dapat menyaksikan, puluhan gagak sedang bertengger di atap rumah keluarga Hamlin. Oh, ternyata ada yang mengamati, dari kejauhan dengan mata setajam elang, panah silang di tangan, menembaki satu per satu gagak gaib itu. Jatuhnya gagak membuat proses meditasi Hamlin Murai terbuyarkan perlahan. Salah satu gagak yang berhasil menghindar mengirim kabar ke Hamlin Murai. Ada yang menghabisi kita, dia si pendekar mata satu. Hamlin Murai menegakkan badan, beralih dari meditasi untuk ketenangan dan kesembuhan, ke pemusatan pikiran untuk memanggil bala bantuan. Tak hanya gagak kini yang menanggapi panggilannya, kalong pun ikut serta. Langit Ndoroalas di sore itu berubah jadi kelam akibat ratusan gagak dan kalong memenuhinya. Mereka membentuk formasi, sasarannya tentu adalah rumah megah Saman King, tempat si pendekar mata satu mengabdi. Pasukan gagak dan kalong mencari keberadaan pendekar mata satu itu. Terdengar ledakan dari rumah megah itu. Menghancurkan taman dan kolam renang. Pendekar mata satu kena serangan keroyokan itu, bajunya jadi compang-camping.

Saman King keluar dan menghardik si pendekar. Ditempelengnya pemuda itu. Hamlin Murai tertawa melihat itu. Selanjutnya, ia mengerahkan gerombolan gagak dan kalong menuju lokasi proyek. Bikin kericuhan di sana!

Hampir dapat dipastikan semua pekerja proyek siang itu berlari kalang kabut keluar dari lokasi proyek. Ramai-ramai meluber di jalanan desa Ndoroalas, membuat warga yang sedang anteng di dalam rumah bercanda dengan anak-anak ikut keluar untuk mencari tahu ada apa. Warga langsung tahu, langit Ndoroalas jadi kelam karena ada ribuan gagak dan kalong. Mereka menghimpun di lokasi proyek. Warga yang tak suka padepokan Kong Jaal jadi lokasi proyek, menertawai para pekerja yang lari kalang kabut itu. Bahkan para pekerja yang sudha kabur dari lokasi, masih dikejar oleh kawanan gagak dan kalong. Tak sedikit dari mereka yang menjerit kesakitan dipatuk gagak. Para pekerja proyek berlarian ke arah gerbang desa, digiring oleh kawanan yang sedang marah.

Kekelaman langit Ndoroalas akibat serbuan gagak dan kalong mulai mereda, untuk kemudian berubah jadi ledakan cukup dahsyat di lokasi pengeboran. Empasan energinya membuat kaca rumah warga pada pecah. Alat-alat berat yang mengguling jatuh, menggetarkan tanah, menggoyahkan kaki warga yang sedang berdiri menjejak tanah. Sore itu, langit Ndoroalas, terutama di wilayah lokasi proyek, berubah kejinggaan. Alat proyek ada yang meledak.

Saman King begitu cepat memanggil Pak Camat dan orang-orang perusahaan yang berkepentingan untuk meninjau lokasi pengeboran. Minyak yang berhasil mereka angkat dari perut bumi, tumpah ke tanah. Mereka memutuskan untuk menutup sementara lokasi pengeboran. Saman King tak suka keputusan itu. Ia diam-diam menuduh warga Ndoroalas yang melakukan kekacauan itu. Ia pun geram sekali ketika dimintai ganti rugi oleh warga yang kaca rumahnya pecah. Meski begitu, Saman King tetap mengirim tukang-tukang dan kaca ganti untuk setiap rumah. Bahkan ia mengirimi setiap rumah dengan makanan dan sembako.

"Katakan, apakah itu ulahmu, nak?" ayah Hamlin bertanya.

Hamlin Murai menyeringai.

"Jangan terlalu mencolok, Hamlin. Ayah cemas dengan keselamatanmu. Takutnya, lambat laun, si raja minyak itu tahu tentang keistimewaanmu."

"Baik, ayah. Hamlin akan lebih hati-hati."

Malam itu, rumah Hamlin Murai kebakaran. Ada yang melempar bom molotov ke dalam. Ibu Hamlin menderita luka bakar di tangan, ayah Hamlin cedera punggung akibat menahan saka kayu demi melindungi Hamlin Murai. Bocah itu sendiri selamat dengan luka lepuh sedikit. Ayah dan ibu Hamlin dibawa ke rumah sakit oleh Gus Taman. Hamlin Murai sementara orangtuanya dirawat, menginap di rumah Gus Taman. Lagi-lagi, mobil pemadam kebakaran telat datang. Rumah Hamlin sudah habis dilalap api.

"Kau tahu siapa pelakunya, nak?" tanya Gus Taman.

"Ya, aku tahu. Tapi kita tidak bisa menyerangnya sekarang." Jawab Hamlin.

"Siapa yang membakar rumahmu?"

"Anak buah Saman King."

"Si mata satu itu?"

Hamlin Murai mengangguk.

"Kenapa kita tidak bisa menyerangnya sekarang?"

"Karena kita nanti bakal jadi orang jahat. Sama seperti mereka."

"Oh." Gus Taman terhenyak dengan perkataan Hamlin Murai.

Mereka memutuskan untuk mengambil waktu dulu. Biarkan kericuhan akibat ribuan gagak dan kalong yang memorakmorandakan lokasi proyek mereda. Bara api di bekas rumah Hamlin mendingin dulu. Sambil jalan melewati gerbang desa untuk pergi ke rumah sakit menjenguh orangtuanya, Hamlin Murai melakukan pembacaan cepat ke setiap rumah warga. Sedikitnya ia telah tahu siapa di pihak siapa. Ia menuliskannya di buku catatan. Diberikannya kepada Gus Taman untuk diteliti.

"Terima kasih, nak. Kau sudah tahu saja." Membaca nama-nama di buku catatan itu membuat Gus Taman mendulang harapan positif.

"Kita harus makin hati-hati, Pak."

Itu diucapkan Hamlin Murai ketika melewati rumah megah Saman King. Ia melihat si pendekar mata satu memicingkan mata ke mobil kijang Gus Taman. Hamlin Murai membaca pikiran si pendekar itu. Di separuh perjalanan, Hamlin Murai minta mobil mengambil jalur lain. Mereka selamat sampai tujuan. "Pendekar itu mengincar kita sedari kita lewat rumah Saman King." Hamlin Murai memberitahu Gus Taman.

"Semakin tidak aman saja. Kalau saja kita bisa menyingkirkan pemuda sialan itu segera."

Kondisi orangtua Hamlin sudah membaik. Walau ayah Hamlin perlu waktu lebih lama untuk memulihkan badan. Dengan penuh dendam, ayahnya berkata, "Kita harus menemukan si bedebah pembakar rumah kita. Dia harus dimusnahkan, seperti caranya memusnahkan rumah kita."

"Tenang saja, ayah. Dia pasti akan musnah. Kalau tidak di tangan kita, di tangan alam."

Ayah Hamlin tampak tidak sabar, ia tidak begitu menggubris perkataan anaknya. Ia justru mencengkeram Hamlin Murai dan menuntut jawaban, "katakan, siapa pelakunya. Ayah tahu Hamlin sudah tahu."

Gus Taman mencoba menghentikan ayah Hamlin. Melepaskan cengkeramannya terhadap Hamlin Murai.

Belum pernah Hamlin Murai melihat ayahnya selepas kendali ini. "Rumah itu, rumah leluhur kita, rumah warisan. Kakekmu meminta ayah untuk menjaga rumah itu supaya tetap utuh. Katakan, siapa pelakunya?"

"Tidak penting siapa pelakunya, Ayah. Rumah tidak selalu berwujud rumah. Rumah adalah di mana keluarga tetap bersatu."

AyahHamlin mengendurkan cengkeraman.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro