Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13

Kematian Cak Bendo makin menguatkan Gus Taman bahwasanya Saman King adalah bukan orang baik. Ini mengingatkan Gus Taman terhadap presiden kedua negeri ini. Ia ingat betul, Cak Bendo satu-satunya yang bersuara miring kepada raja minyak itu di pertemuan, dengan lantang dan penuh kemuakan. Seandainya saja Hamlin Murai memberitahu lebih cepat, akan ia cegah Cak Bendo pulang ke rumah. Mungkin, mungkin saja, orang suruhan Saman King telah meracuni makanan di dapur Cak Bendo.

Muntahan darah yang keluar dari mulut Cak Bendo sudah seperti mau mengeluarkan organ dalam saja. Darahnya kental, pekat dan ada bentuknya, seperti irisan hati. Gus Taman sesungguhnya tak kuat menyaksikan Cak Bendo muntah-muntah. Tapi ia menahan sekuat tenaga dorongan dari dalam perutnya. Ia ganti jadi batuk-batuk mual saja, yang mana jauh lebih bikin menderita. Kata terakhir dari Cak Bendo meyakinkan Gus Taman lebih jauh lagi, "Ini santet. Aku kena santet." Bukan keracunan ternyata. Cak Bendo mengembuskan napas terakhir dengan mengenaskan. Seolah malaikat maut berperangai keji mencekiknya tak ada ampun. Membelalak mengerikan mata mau copot dan mulut penuh darah.

Gus Taman merasakan aura dingin ketika Cak Bendo meloloskan arwahnya. Dingin yang mewujud, kehidupan tercabut di sampingnya, ikut hadir dalam mobil, lalu lenyap seketika. Dunia bukan lagi tempatnya. Dan seketika itu juga Gus Taman teringat kematian itu sendiri. Malaikat maut seperti sedang nongkrong di kursi belakang, dengan kapak mautnya haus ingin menggores leher.

Firasat, seperti tamu tak diundang, tak ragu menuju dapur dan membuat teh sendiri. Gus Taman mendapatkan firasat itu. Firasat baik datangnya lebih sering tak disadari. Firasat buruk, lebih terasa kehadirannya, terutama karena membuat merinding dan badan menggigil. Gus Taman putar balik ke desa untuk segera mengubur Cak Bendo. Ia meminta supirnya untuk memacu kendaraan lebih kencang. Gus Taman sudah tak tahan.

Kabar pertama yang disampaikan Gus Taman mengenai kematian Cak Bendo adalah, "Cak Bendo mati karena santet. Dan pengirim santet itu ada di desa ini."

Kabar meresahkan itu bagai api yang menyambar bensin. Panas dan begitu cepat menyebar. Proses penguburan jasad Cak Bendo sarat dengan kewas-wasan. Mereka yang membantu dari proses memandikan sampai menggali tanah dan dikubur, tak hentinya membahas kebenaran kabar Gus Taman.

"Cak Bendo yang mengatakan hal itu sendiri." Kata Gus Taman, tak sabar dengan kebisingan itu. "Tanyakan supirku juga kalau kalian belum yakin."

"Siapa yang mengirim santet itu?" tanya seorang warga, penasaran.

Gus Taman dalam kondisi hati tak keruan, membalas dengan ketus, "kalian pikirkan sendiri dengan otak kalian itu."

Pengajian dalam rangka kematian Cak Bendo hanya diadakan tiga hari saja. Cak Bendo dikenal tak punya anak istri. Warga lebih mengurusi kabar tentang santet itu. Siapa yang tega menyantet Cak Bendo, orang paling rajin berkebun di desa?

Dugaan pertama jatuh ke ibu dari Gogon, pemuda yang secara tak sengaja dibunuh Cak Bendo karena menyamar iseng jadi macan jadi-jadian? Dugaan itu dikuatkan dengan ibu Gogon mengambil alih rumah dan kebun Cak Bendo. Rumor itu sampai ke telinga Gus Taman. Ia segera meluruskan hal tersebut. Kepada warga ia menerangkan, itu diambil atas pertimbangan dirinya. Cak Bendo, menurut catatan Gus Taman dan catatan kepala desa sebelum-sebelumnya, tidak lagi memiliki sanak saudara. Cak Bendo sebatang kara di desa Ndoroalas. Maka, sebab ibu Gogon menerima separuh kebun Cak Bendo sebagai kompensasi atas pembunuhan tak disengaja atas Gogon, Gus Taman menilai ibu Gogon berhak menerima rumah beserta kebun seluruhnya milik Cak Bendo. Warga menerima keterangan itu, walau tidak puas. Mereka kembali memikirkan siapa dalang penyantetan itu lagi. Tak lagi memusingkan rumah Cak Bendo yang diambil ibu Gogon, terutama rumah Cak Bendo memang paling sederhana, dinding dan atapnya triplek dan asbes.

Secara implisit, Gus Taman menyebarkan asal muasal santet itu dari Saman King. Walau ia tak menyebut nama si raja minyak, ternyata warganya tak bodoh-bodoh amat. Sebagian dari mereka dapat mengaitkan benang merahnya. Gus Taman mengulang kembali perkataan menentang Cak Bendo kepada Saman King ketika rapat terakhir itu. Gus Taman senang, warganya banyak yang merasakan hubungan antara itu. Walau masih ada keraguan menggantung, apa benar Saman King setega itu?

"Kita tidak pernah tahu senekat apa seseorang dalam mewujudkan keinginannya." Kata Gus Taman.

"Benar. Kita tidak pernah tahu." ayah Hamlin menyetujui.

"Apa ayah Hamlin ikut mencurigai dalang santet ini adalah Saman King?" Gus Taman seperti anak kecil yang mencari kawan untuk sebuah pembenaran.

"Kecurigaan itu ada, Pak. Tapi, saya tak berani terang-terangan membenarkan itu. Khawatir itu jadi fitnah. Masalah santet ini, masalah cukup rumit. Susah pembuktiannya."

"Karena berkenaan dengan mistis?"

"Tepat sekali."

"Sayang sekali. Kecurigaan-kecurigaan kita ini sulit untuk dibuktikan. Semua masih sebagai asumi. Kecuali satu peristiwa itu, tentang diculiknya burung murai. Kita perlu borok yang lebih jelas untuk disajikan ke warga."

"Saman King bermainnya sangat licin ya, pak?"

"Dan keji."

"Saya terpikir untuk menjungkirbalikkan keadaan ini. Yaitu dengan membiarkan Hamlin Murai menunjukkan kebisaannya ke warga. Tunjukkan bahwa ia bisa membaca kebenaran dari pikiran orang. Tapi ini sangat beresiko. Cak Bendo yang nyeletuk seperti itu saja ditamatkan riwayatnya. Saya takut, begitu Hamlin Murai unjuk gigi, posisinya sangat rentan. Bisa saja Saman King menyewa juru tembak yang dipasang di kejauhan untuk mengincar anak saya, atau saya duluan, sebagai peringatan."

"Gawat juga. Kemungkinan itu sempat saya pikirkan juga. Kalau kita lakukan sembunyi-sembunyi?"

"Kita tidak pernah tahu, warga mana yang bisa kita percaya. Saman King sudah melancarkan lagi aksi kedermawanannya. Lebih banyak warga yang dibelikan perabot rumah yang tak murah harganya. Televisi. Alat propaganda sialan itu. Apalagi tayangan sekarang makin tak bermutu. Saya takut, otak warga perlahan-lahan akan tumpul. Dan ketika sudah tumpul, Saman King akan mempergunakannya sebagai pelicin."

Gus Taman lama terdiam, berpikir keras, menimbang-nimbang dari segala sisi. Bahkan ia mempertimbangkan dari sisi Saman King juga. "Entah anda setuju dengan saya atau tidak. Kalau begini keadaannya. Kita dalam kondisi terjepit tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah raja minyak itu mengeksploitasi desa Ndoroalas. Kita tunggu saja dengan sabar sampai kiranya Saman King bertindak melampaui batas. Tentu dengan bukti yang kuat. Sementara ini, kita biarkan dia dengan agendanya. Toh, kalau dipikir-pikir dengan alasan modernitas dan kemajuan, yang dia lakukan, walau akhirnya memang hanya untuk menggendutkan pundi-pundi uang, desa kita kena imbas positifnya."

"Ya, kalau mau dilihat dari sisi itu, ada benarnya juga. Terpenting, kita sama-sama tahu, hutan dan bukit keramat itu jangan diutak-atik. Bisa kena malapetaka lagi desa ini. Kalau dulu satu meteor yang datang, bisa-bisa besok meteor itu bawa kawan. Hujan meteor, istilahnya. Habis kita."

Setelah peristiwa meninggalnya Cak Bendo dengan cara yang tragis, Hamlin Murai mulai berkurang dimintai tolong oleh Gus Taman. Ayahnya memberitahu, "Kita jangan ambil risiko dulu untuk sekarang. Bahaya. Kau tahu apa yang terjadi dengan Cak Bendo."

"Iya, Yah. Aku bahkan yang memberitahu Pak Kades untuk mengecek Cak Bendo. Aku membaca perintah Saman King ke anak buahnya untuk membereskan Cak Bendo. Tak kusangka, ternyata Cak Bendo dibunuh."

"Tirani ini sangat kejam."

"Tirani itu apa, Yah?"

"Tirani itu orang yang punya kuasa. Dalam hal ini, Saman King punya kuasa uang yang banyak. Bisa suruh orang dengan gampang."

"Kita sampaikan saja kebenarannya. Apa yang kudengar dari pikirannya." Usul Hamlin Murai.

"Lebih baik jangan. Ayah kagum dengan kemampuan Hamlin membaca pikiran. Tapi, di dunia nyata, kebenaran tak mudah untuk disampaikan. Apalagi tidak ada bukti sahih. Perkataan yang keluar dari mulut, bisa dengan mudah dianggap barang palsu. Apalagi dari Hamlin, yang notabene hanyalah seorang anak kecil, yang pasti dianggap tak tahu apa-apa."

"Ah, Hamlin tahu banyak kok, Yah!"

"Ayah tahu dan percaya. Tapi di dunia nyata, orang-orang tidak selalu mengikuti apa yang kita percayai. Percayalah. Lihat saja sendiri."

Hamlin Murai lari ke gua untuk berjumpa Blorong Cilik. Ia kemudian menceritakan apa yang terjadi. "Kenyataan di dunia nyatamu memang menyebalkan. Ayahmu tak salah. Kita memang harus hati-hati. Kita mundur sejenak."

"Tapi nanti, kau..."

"Kan ada kau, Hamlin Murai sayangku. Kau pasti tak akan rela kalau aku ini menghilang perlahan-lahan kan."

"Aku tak mau kau hilang selambat apa pun."

"Kalau begitu, kita sedang menghadapi masalah pelik."

"Apa kita bunuh saja si raja minyak itu?"

Blorong Cilik membelalak. "Hamlin, kau boleh saja mengambil tindakan yang agak ekstrim. Tapi jangan sekali-kali kau terpikirkan untuk membunuh. Kau tidak membuktikan apa pun kecuali kau sama saja dengan mereka."

Hamlin Murai tertohok. "Benar juga, maaf. Aku kelepasan lagi."

"Kau seringkali kelepasan. Kau harus makin rajin bermeditasi. Silakan, bermeditasilah."

Hamlin Murai menuruti makluk mistis kesayangannya. Ia meditasi dalam rangka menenangkan pikiran dan emosi. Menyeimbangkan diri. Napasnya bersinergi dengan udara sekitar, menyatu dengan alam, terhubung dengan Ndoroalas, terhubung dengan Blorong Cilik. Meditasi itu membawanya ke dalam ranah emosi tanah tercintanya, Ndoroalas. Desa itu terasa hidup. Saat ini ia sedang cemas jati dirinya tengah dicabik perlahan. Jalan setapaknya sudah terlapisi minyak olahan. Desa ini sedang merasa gerah. Ada informasi bersandi yang diterima Hamlin Murai saat meditasi ini. Sebentar lagi, ada sesuatu berharga dari bawah tanah, akan diangkat paksa. Seperti mengeluarkan janin sebelum waktunya.

Sementara itu di bekas reruntuhan padepokan Kong Jaal, tali pembatas di sekelilingnya kini berubah jadi pagar seng tinggi. Acapkali setiap menjelang subuh, ada kendaraan berat masuk desa dan berhenti di depan bekas padepokan. Sekitar dua minggu berjalan, padepokan itu berubah jadi area proyek. Itu ditandai dengan tulisan "Hati-hati Kendaraan Proyek Melintas".

Ketika ditanya Gus Taman, Saman King menjawab, "ini operasi pemerintah. Sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Kalau mau protes, silakan datang ke kecamatan."

Orang-orang langsung tahu, proyek itu adalah proyek pengeboran minyak. Seperti yang dilakukan di desa-desa tetangga. Sebulan berikut baru berdatangan tenaga kerja ahli proyek itu. Saman King menyediakan tempat menginap mereka dengan menyulap gudang sembako menjadi semacam rumah kosan. Mendadak Ndoroalas jadi ramai, tak seperti biasanya. Para pekerja proyek itu di kala sedang tidak bekerja, suka berkeliling desa menyapa warga, nongkrong lama di warung kopi Kang Pait, berekreasi di pinggir hutan dan bersantai di bukit. Gus Taman memasangi tulisan di pinggir hutan, "Jangan Semena-mena dengan Hutan ini". lalu menambahkan lagi, "Jangan Tebang Pohon dalam Hutan ini". Tulisan lain lagi, "Hutan ini hutan keramat". Yang ada, para pekerja itu menertawai tulisan peringatan dari Gus Taman. Pernah, ibu Gogon melihat salah satu pekerja kencing sembarangan di hutan. Ia menyampaikan itu ke Gus Taman. Gus Taman segera menuju lokasi proyek dan mencari orang yang dimaksud. Cukup gampang menemukan orang tukang kencing sembarangan itu, sebab rambutnya dicat merah. Gus Taman berhenti di pos sekuriti. Satpam yang berjaga menerangkan bahwa orang yang dicarinya sudah dipulangkan karena ada masalah dengan penisnya. Gus Taman tertawa sarkastik. "Beritahu para pekerja yang lain, jangan macam-macam di hutan keramat. Si penis merah itu, kena karmanya."

Blorong Cilik jadi makin jarang muncul. Itu karena para pekerja proyek menemukan pantai tersembunyi di desa Ndoroalas. Awalnya mereka hanya berkeliling hutan, lalu salah satu dari mereka tersasar keluar hutan dan mendapati pantai dengan karang bergua. Ia langsung memberitahu teman-temannya, setelah berjuang mencari jalan pulang. Hamlin Murai jadi sebal. Pasir putih dan debur ombak yang tak menggebu itu jadi ternodai jejak-jejak kaki kotor mereka. Sudah begitu, mereka meninggalkan sampah. Parahnya lagi, di antara banyaknya pekerja laki-laki, ada pekerja perempuan diajak oleh mandor proyek menuju ke sana. Oleh pantauan gagak gaib Hamlin Murai, ternyata mereka sedang bersenggama di balik karang kecil pinggir pantai. Setelah menunaikan persebadanan itu mereka mandi di laut. Ingin sekali Hamlin Murai memberi mereka pelajaran. Tapi tampaknya itu tak perlu. Warga mendapat kabar dari lokasi proyek secepat mereka mendengar gosip tetangga sebelah sedang pisah ranjang. Kabarnya, pegawai perempuan dan mandor itu tertiban alat berat di lokasi proyek. Ambulans meraung-raung di jalanan aspal Ndoroalas untuk menjemput mereka untuk kemudian dibawa lari ke rumah sakit. Ternyata, selain Hamlin Murai bersama gagak gaibnya, ibu Gogon ikut menyaksikan kegiatan persebadanan itu.

"Pekerja-pekerja di situ kok pada miring ya moralnya."

"Untung mereka tidak kena kutukan gancet."

"Sudah dikasih tahu masih ngeyel, ya kena karmanya. Kita sendiri saja jarang sekali menginjakkan kaki ke pantai itu."

"Benar, pantai itu kan masih wilayah kekuasaan Nyi Blorong."

Bukan Gus Taman yang memasang tulisan, "Hutan sampai Pantai adalah wilayah kekuasaan Nyi Blorong".

Tapi efeknya ampuh juga. Jarang terlihat lagi para pekerja proyek mendekati hutan keramat. Hamlin Murai jadi bisa leluasa menjelajahi hutan untuk sampai ke pantai. Ia malas kalau ada para pekerja beredar di sana. Lagipula tampang mereka seperti orang-orang yang memang biasa kencing sembarangan.

Digua, Hamlin Murai mendapati Blorong Cilik merintih kesakitan sambil memegangiperutnya. "Hamlin sayang, aku sakit."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro