Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Tak ada yang berani beredar di sekitar padepokan Kong Jaal. Tepatnya, bekas padepokan Kong Jaal. Sudah rata dengan tanah. Menjadi abu. Setelah kebakaran itu, langit di Ndoroalas diselimuti kelabu. Begitu sialnya, angin selalu membawa abu gosong hasil lalapan api. Membuat rumah Ndoroalas kotor penuh debu abu. Gus Taman ingin mengajak warga untuk membersihkan bekas padepokan itu. Tapi tak ada yang mau. Mereka masih takut, ada penampakan di sekitar padepokan. Bahkan muncul di semak-semak dan merambat ke kebun warga. Penampakan itu seperti biasa, menyerukan ciat-ciat jurus silat. Berkelebat bagai maling sedang bersembunyi. Semua orang yang pernah menaruh penghormatan dan persembahan ke sana, kedapatan penampakan yang serupa, bahkan mengikuti sampai rumah. Di kamar mandi terutama. Ada bayangan yang menjulang tinggi di sudut, siluet laki-laki dengan pakaian ala pesilat. Ada warga yang mengaku melihat bayangan itu memainkan senjata ruyung bayangan.

Gus Taman geleng-geleng kepala, Ndoroalas semakin hari semakin dipenuhi hal-hal aneh saja. Kalau saja Bik Muyah masih hidup, nenek sakti itu pasti bisa mengusir atau setidaknya menjelaskan secara masuk akal apa yang dilihat warga sebenarnya. Untuk pengusiran ekstrim, Kong Jaal yang lebih mahir. Bik Muyah jarang sekali mau turun tangan untuk urusan seperti itu. Ia lebih suka menangani penyakit.

Gus Taman mengundang ayah Hamlin datang untuk berdiskusi. "Ini seperti teror macan jadi-jadian waktu itu. Hanya saja bedanya, tak ada hewan ternak yang jadi korban."

"Cukup meresahkan juga. Jujur saja, saya sempat melihat bayangan-bayangan murid Kong Jaal di depan halaman."

"Oh, ayah Hamlin juga melihat?"

"Pak Kades tidak?"

"Entahlah, dari dulu saya memang tidak pernah ikut melihat apa yang orang lain lihat tentang penampakan atau sejenisnya."

"Pak Kades beruntung."

"Jadi, apa yang perlu kita lakukan? Atau curigai?"

Ayah Hamlin tampak berpikir, jari menggaruk-garuk janggut. Kaki diguncang-guncangkan. "Pak Kades apakah curiga dengan anak buah Saman King yang bermata satu itu?"

"Yang dijadikan tumbal nama baik Saman King?"

"Benar."

"Apa teori yang anda punya?"

"Pemuda itu terlihat familiar, saya seperti melihatnya di suatu tempat, di masa lalu. Tapi saya coba gali ingatan saya, buntu. Sabuk yang pemuda itu kenakan, seperti sabuk padepokan Kong Jaal."

"Ohya?"

"Saya lihat ada logo tapak bercahaya di sabuknya. Persis seperti logo padepokan Kong Jaal."

"Itu berarti, tidak semua murid Kong Jaal mati keracunan."

"Atau..." ayah Hamlin mengetukkan jari di cangkir kopi, "dia yang meracuni murid lainnya?"

Gus Taman membelalak, tak pernah terpikirkan kemungkinan itu. Ia menyambung-nyambungkan segala kecurigaannya. Semuanya berujung pada Saman King, si raja minyak culas itu. Culas setidaknya bagi Gus Taman, warga masih ragu-ragu. "Kalau benar pemuda mata satu itu yang melakukannya, dan sekarang dia menjadi anak buah Saman King, berarti tragedi keracunan itu, dalangnya adalah si raja minyak itu."

"Itu yang saya pikirkan."

"Masalahnya, bagaimana membuktikan kecurigaan kita ini? Anda tahu sendiri, ilmu silat yang diajarkan di padepokan Kong Jaal tidak main-main. Kalau kita mencoba menangkap dan menginterogasi pemuda itu, bisa-bisa kita yang babak belur."

Ayah Hamlin terhenyak. Benar juga yang dikatakan Gus Taman. Lalu ia teringat sesuatu. Ia menjentikkan jari dan membayangkan ada lampu yang menyala di dekat telinganya. "Saya mungkin ada cara."

Hamlin Murai membaca kembali isi kenangan Blorong Cilik. Ia senang, Blorong Cilik sudah minta cium lagi. Hamlin Murai yang sebentar lagi berusia duabelas, sudah pintar mencium. Blorong Cilik dibuatnya ketagihan. "Bocah pintar," puji Blorong Cilik.

Pembacaan kenangan ini didasari oleh keresahan yang merebak di Ndoroalas. Tentang penampakan-penampakan di sekitar reruntuhan padepokan Kong Jaal. Sebelum Hamlin Murai melakukan pembacaan itu, Blorong Cilik mengingatkan sesuatu, "Kau ingat dulu ada pemuda yang selalu ingin mencelakaimu waktu kecil? Silakan telusuri itu."

Melalui pembacaan itu, Ndoroalas hanya memiliki satu orang yang tahu secara betul kalau Bik Muyah pernah punya anak. Laki-laki. Mendendam. Pernah dikutuk oleh ibunya sendiri. Mendendam. Meneror dengan bantuan setan dan jin alas. Dialah si macan jadi-jadian itu. Akibat pengutukan itulah Bik Muyah tak lagi bisa mendapatkan wangsit. Kutukan itu berakhir dengan matinya Bik Muyah, oleh macan jadi-jadian yang disetiri oleh si anak pendendam. Tempat dulu Hamlin Murai pernah mengikuti macan jadi-jadian, di samping rumah Bik Muyah itulah tempatnya dikurung secara gaib. Dalam penjara gaib itu si pemuda tak menua. Tapi waktu tetap berlalu dan seiringnya, dendamnya kian menumpuk. Dendam itu mengenai matanya yang jadi buta gara-gara proses kelahiran Hamlin Murai.

"Astaga." Hamlin Murai terhenyak. "Dia sudah bersekutu dengan iblis."

"Dan dia mengincarmu. Kau harus sangat hati-hati, Hamlin."

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Hamlin Murai takut mati. Ia terteror oleh dendam kesumat si pemuda bermata satu. Hamlin Murai takut, takut kematiannya akan membuat luka mendalam bagi orangtua. "Tapi... dia sudah terlihat beredar di Ndoroalas setahunan belakangan. Tak sekalipun aku melihat dia melihatku dan mencoba melakukan sesuatu. Semua yang dia lakukan, sepertinya atas perintah Saman King."

"Tetaplah waspada. Kau harus lebih pintar. Kau selangkah lebih maju. Kau bisa baca pikiran. Kau harus berlatih, supaya kau bisa baca pikiran orang dari jarak jauh."

Hamlin Murai kepikiran mau berlatih dengan ayah atau ibunya. "Baik, akan kulakukan, sebaik-baiknya."

"Selalu hati-hati, Hamlin sayang."

Mendengar itu Hamlin Murai jadi tersipu-sipu. Ia mencium Blorong Cilik sebelum pamit pulang. Ciuman itu walau hangat dan manis, tak dapat mengusir kegelisahan Hamlin Murai saat jalan kaki melewati hutan. Ia merasa seperti ada mata yang mengikutinya. Mata itu menguarkan hawa panas yang menjalar hingga tengkuk Hamlin Murai. Membawa ingatannya kembali ke momen saat ia melihat penampakan jin dalam wujud asli, bola mata api membara. Dikuasai perasaan tak nyaman seperti itu, Hamlin Murai memutuskan untuk mengambil langkah seribu. Ada kepakan sayap yang mengikutinya. Oh, gagak-gagak hitam kawannya. Itu sedikit bisa mengusir ketakutannya. Tapi ketika Hamlin Murai mulai melambatkan larinya, menengok atas ke gagak-gagak hitam, ia mendapati dari sudut matanya ada kelebatan bayangan orang, seperti gerakan ninja. Suara koakan menandakan jatuhnya para gagak. Mereka dipanah, lagi. "Sialan." Hamlin Murai mempercepat langkah seribunya. Ancaman itu masih berlaku untuknya.

Sial dan mengenaskan. Sesampainya di rumah, ayah dan ibunya tengah ada di kebun, menggali tanah. "Ada apakah, Yah?"

"Murai-murai kita, mati tanpa sebab yang jelas."

Mendengar itu saja sudah sakit apalagi harus melihat langsung. Hamlin Murai keluar rumah dan mengunjungi setiap rumah warga. Anak-anak tenggelam dalam kelabu perkabungan. Murai-murai mereka ikut mati. Tanpa sebab yang jelas juga. Tiada angin tiada hujan tiada guntur, murai-murai itu katanya langsung jatuh ke dasar sangkar, kaku. Hamlin Murai tahu siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan si pemuda mata satu sialan itu. Dikuasai angkara murka, Hamlin Murai ingin membuat perhitungan dengan si pemuda itu. Ia pergi menuju rumah Saman King. Sepanjang perjalanan ke sana, di setiap rumah yang ia lewati, anak-anak menangis berkabung. Itu semakin menambah kemurkaannya. Ia tak tahan lagi. Ia lepas kendali. Inilah, setelah sekian lama, hal yang dapat memicu anugerah lain Hamlin Murai. Ia berteriak marah ke langit, ia mengepalkan tanah dan menghantamkannya ke aspal. Ada empasan energi yang merambat ke segala arah, mengempaskan dirinya juga ke samping. Terlambat, jeritan itu sudah keluar dari mulutnya. Hamlin Murai menyesal belakangan. Satu desa Ndoroalas, warganya jatuh pingsan semua dengan telinga mengeluarkan darah. Hamlin Murai kabur dengan sedih, menuju gua Blorong Cilik, menyembunyikan diri di sana selama satu minggu.

Blorong Cilik hadir untuk menenangkannya. Ia tak marah seperti sebelumnya ketika Hamlin Murai lepas kendali hingga membuat guru bajingan menderita seumur hidup. "Semua akan baik-baik saja." Janji Blorong Cilik. Ia keluar gua dan mendekati hutan Ndoroalas, ia jumput tanahnya dan ditiupkan ke udara. Ia melakukan itu untuk menghapus ingatan warga Ndoroalas terhadap apa yang terjadi. Mereka akan bangun dan tidak sadar sebelumnya pingsan dengan telinga berdarah.

Blorong Cilik meyakinkan Hamlin Murai untuk pulang. "Pulanglah. Kau punya tugas, ingat?"

Hamlin Murai pulang dengan berlari. Pandangannya dijaga lurus. Anak-anak Ndoroalas masih berkabung dengan matinya murai-murai. Hamlin Murai menghindari mereka. Sampai rumah ia masuk ke kamar dan menguncinya. Ia mengatur napas setelah capai berlari. Diteruskannya dengan meditasi seperti yang diajarkan Blorong Cilik. Tugas yang diembannya berat. Ia perlu ketenangan hakiki. Ayahnya mengetuk pintu selagi ia meditasi. Ketukannya tiga kali berbunyi. Setelah itu berhenti, mengetahui penghuni kamarnya tidak membukakan.

Hamlin Murai sudah tahu apa yang mau dibicarakan ayahnya. Meditasi penenangan jiwa itu membuat kepekaan inderanya naik sekian lipat. Ia mendengar ayah dan ibunya berbincang di luar. Tentang Ndoroalas masa kini, tentang kecurigaan-kecurigaan, tentang murai-murai mati, dan lain hal. Tengah malam Hamlin Murai keluar kamar dan mendapati ayahnya masih terjaga, di depan meja kerjanya. Menghadap komputer baru yang diberi oleh kantor.

"Oh, sudah bangun, nak?" sapa ayahnya, tersenyum.

"Hamlin di kamar tidak tidur, Yah. Hamlin bermeditasi untuk ketenangan."

"Oh, itu bagus. Ada apa, nak? Ada yang mau dibicarakan?"

"Hamlin akan bantu ayah dan Gus Taman."

Itu membuat ayahnya cukup terkejut. Ia bahkan belum sempat menyampaikan itu sendiri. "Maksudnya?" ayahnya mencoba mengonfirmasi.

"Ayah lupa Hamlin bisa baca pikiran? Ayah tadi mengetuk pintu, Hamlin sudah tahu apa yang mau ayah bicarakan."

Ayahnya melongo. "Bagaimana caranya?"

"Cukup riskan buat Hamlin. Tapi, itu langkah satu-satunya. Kita rebut kepercayaan warga. Tunjukkan kepada Ndoroalas kalau Hamlin bisa baca pikiran."

Ayahnya terkesiap. "Jangan, Hamlin. Nanti kau celaka. Saman King bisa saja mengirim pendekar sakti untuk membunuhmu."

"Pertama, kita lakukan ini secara diam-diam."

"Tidak, tidak. Tetap berbahaya. Saman King itu punya mata-mata tak kasat mata, ayah kira."

"Kalau begitu, bawa Hamlin ke Gus Taman. Kita bicarakan di sana apa rencananya."

Itu ayahnya setuju.

Pertemuan rahasia itu diadakan. Gus Taman takjub dengan kemampuan unik Hamlin Murai. Lalu ketiganya sama-sama pusing untuk menentukan langkah, yang tidak membahayakan orang-orang terdekat. Mengingat dua pamong Ndoroalas sudah pergi beserta para pendekar harapan desa.

Di pekan terakhir menjelang musim penghujan, Saman King muncul bersama arak-arakan mobil pejabat kecamatan. Warga berbondong keluar rumah untuk melihat Pak Camat yang lama sekali tak pernah ke Ndoroalas. Rombongan turun di halaman luas Saman King, lalu melanjutkan kunjungan dengan menyusuri jalanan aspal Ndoroalas yang bagus. Gus Taman hadir menyalami Pak Camat tapi tak begitu dihiraukan. Gus Taman padahal kepala desanya, tapi Pak Camat begitu tertarik dengan Saman King. Rombongan diajak melihat hutan dan bukit, gudang sembako Saman King, lalu terakhir ke area padepokan Kong Jaal yang sudah tandas terbakar. Mereka di sana foto-foto dan bersalaman, seperti ada yang disepakati. Gus Taman mengajak serta Hamlin Murai.

"Apa yang kaudapatkan, Hamlin?" Gus Taman menagih Hamlin di rumahnya.

"Ada kesepakatan ekonomi. Aku kurang menangkap lebih jelas karena rombongan itu berisik sekali. Aku terganggu karena ada ajudan Pak Camat itu yang memikirkan dangdut."

"Aduh. Tapi benar, ada kesepakatan ekonomi?"

"Benar."

Itu diungkapkan kemudian oleh Pak Camat, seminggu setelah kunjungannya. Di balai desa laki-laki perut buncit itu mengumumkan janjinya untuk membantu memajukan Ndoroalas secara ekonomi. Pak Camat mengumumkan, tanah bekas padepokan Kong Jaal hak miliknya kembali ke pemerintah. Dirunut-runut, tanah itu adalah tanah pemberian. Warga saling tukar pandang, mereka kurang menahu perihal itu. Gus Taman pun baru tahu. Padepokan itu sudah ada sebelum ia lahir. Ia pikir itu punya leluhur Kong Jaal. Meski begitu, tidak ada yang berani menyela untuk mempertanyakan kebenaran itu.

"Apakah yang dikatakan Pak Camat itu benar?" Tanya Gus Taman.

Hamlin Murai menggelengkan kepala. "Dia berbohong. Dia memainkan surat-surat dan menyogok pejabat pembuat akta tanah."

"Sial. Saman King sudah bertindak jauh."

Gus Taman mengundang warga di malam jumat untuk membicarakan hal yang sama-sama dipertanyakan itu. Kebanyakan warga tahunya tanah itu milik leluhur Kong Jaal. Seandainya Bik Muyah masih hidup, ia dapat dimintai keterangan yang sahih. Acara itu terendus oleh Saman King. Si raja minyak datang dengan pongah. Ia menggeser Gus Taman di meja depan. Menyalakan mik dan mulai bicara sambil menunjukkan sebuah surat. "Tanah padepokan Kong Jaal sudah kembali ke pemerintah. Lihat surat ini, ada tanda tangan gubernur. Dan saya dipilih untuk menjadi pengelola tanah itu sekarang. Warga Ndoroalas yang saya hormati, bersenanglah, saya berjanji akan membangun Ndoroalas menjadi lebih baik lagi. Semua yang saya lakukan, hanya untuk kepentingan Ndoroalas. Untuk warga sekalian."

Adalah Cak Bendo yang bersuara, "bukannya buat kepentingan perutmu sendiri?"

Saman King jelas terlihat dari raut mukanya, tersinggung dengan pertanyaan itu. Tapi ia tak menggubrisnya. Raja minyak itu pergi begitu saja.

"Akan ada yang terjadi dengan Cak Bendo." Hamlin Murai membisiki Gus Taman.

Malamhari setelah musyawarah itu, Gus Taman bergegas ke rumah Cak Bendo. Iamenemukan Cak Bendo muntah-muntah terus di halaman rumahnya. Muntahnya kemudianmenjadi darah. Cepat-cepat ia menyuruh orang kepercayaannya untuk mengambilmobil demi membawa Cak Bendo ke rumah sakit. Jok kulit mobil kijang Gus Tamanbelepotan oleh muntah darah Cak Bendo. Belum sampai ke rumah sakit, lelakirajin berkebun itu sudah melayang nyawanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro