Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11

Hamlin Murai tak perlu menapak tilas memorinya sendiri. Ia langsung tahu apa yang dimaksud Blorong Cilik. Ia masih ingat betul dulu mencoba berlatih menghancurkan batu melalui jeritan demi mengusir macan jadi-jadian di hutan, yang nyatanya tak jadi digunakan. Di gua, ia mencobanya sekali lagi. Ia berteriak, tapi tak ada yang terjadi. Ia mencobanya selama sekian jam hingga membuat Blorong Cilik mengantuk. "Mungkin perlu ada sesuatu yang dapat memicumu."

"Contohnya?"

"Entahlah, kematian seseorang mungkin?"

"Astaga. Jangan sampailah."

"Kau coba lagi, gali-gali kembali hal-hal yang membuatmu geram. Coba ingat kembali apa yang terjadi dengan Melati."

"Ah, itu bisa dipakai." Hamlin Murai menyeluncuri memorinya tentang Melati. Ia mereka ulang apa yang diseluncurinya sewaktu masuk melalui mata sendu Melati. Itu memang memicu kegeramannya. Gelagat tangan guru bajingan meraba-raba dada anak kecil, lalu turun ke bawah dan melucuti roknya. Hamlin Murai tak tega meneruskan penglihatannya. Ia mengepalkan tangan, berteriak marah. Tapi, tetap saja, tak ada yang terjadi. Gua masih hening kokoh. "Tak ada yang terjadi," Hamlin Murai berkata lemah.

"Sayang sekali. Yah, mungkin nanti akan bisa lagi. Kau coba-coba saja terus." Blorong Cilik pun pergi. Ia menjelma menjadi ular di depan mata Hamlin Murai, lalu bergerak pergi keluar dari gua, menuju laut. Hamlin Murai terlihat agak kecewa, ia rindu mencium Blorong Cilik.

Ndoroalas benar-benar berubah. Siang hari situasi menjadi amat sepi. Biasanya setelah dzuhur, orang-orang yang bekerja di kebun atau di sawah suka istirahat di pos cangkrukan yang cukup untuk lima belas orang. Istri-istri akan membawakan renteng makanan untuk dimakan bersama di sana. Mereka juga akan ikut makan di sana, sembari bercerita ngalor-ngidul, kalau perlu memulai rumpian. Bapak-bapak membahas kabar bapak-bapak yang lain. Tentang anak-anak, tentang ternak, tentang apa saja. Lihatlah kini, tanah mereka mulai tak subur, bahkan pohon mangga yang musiman saja sekarang tak berbuah. Obat hama terlambat datang, hama wereng sudah merusak habis padi di sawah. Warga yang putus asa, merelakan dirinya mengabdi bekerja di kecamatan atau kabupaten. Terserah pekerjaan apa saja. Penghasilan bulanan mereka gunakan untuk membeli kebutuhan pokok di toko sembako Saman King. Si raja minyak itu juga membuka lahan pekerjaan. Untuk bekerja di gudang sembakonya, untuk dikirimkan ke luar negeri sebagai TKI, untuk dikirim ke kota untuk jadi pekerja kasar di salah satu perusahaannya, dan untuk jadi pelayan di restoran di kota terdekat. Banyak pemuda desa yang habis lulus SMA melamar pekerjaan ke Saman King. Setiap minggu, selalu ada yang dikirim ke kota. Mobil-mobil van hilir mudik tiap minggu mengangkut mereka. Ndoroalas semakin sepi. Bahkan teman Hamlin Murai yang masih SD pun ada yang nekat pengin ikut pergi ke kota untuk jadi buruh cuci piring. Kalau begini terus keadaannya, bisa habis anak muda di Ndoroalas.

Keluarga Hamlin bukannya tidak terkena dampak. Mungkin tidak separah warga yang lain, tapi cukup sampai ayah Hamlin menjual salah satu burung murai untuk dibelikan sepeda motor, tentu itu atas seijin anaknya. Ayah Hamlin mendapat pekerjaan di kantor pemerintahan kabupaten. Gajinya cukup bikin iri warga yang lain. Hamlin Murai, si bocah sebelas tahun ini, ikut merasakan perubahan yang terjadi di Ndoroalas. Ia penasaran, selama ini, Ndoroalas tak pernah kena paceklik. Mengapa tiba-tiba saja terjadi? Anehnya, tepat setelah dua pamong desa mangkat. Ini mendorong Hamlin Murai untuk melakukan sesuatu. Memanfaatkan kemampuannya yang dulu.

Di atas bukit, Hamlin Murai berkicau seperti burung murai. Cukup lama sampai tenggorokannya kering.

Ia hampir menyerah dan berbalik pulang kalau saja dari balik tebing yang kakinya terdapat gua tempatnya banyak menghabiskan waktu, terdengar kepakan sayap ratusan burung murai. Hamlin Murai melonjak-lonjak gembira. Bunyi kepakan sayap dan penampakan ratusan murai itu mengundang anak-anak kecil Ndoroalas mendatangi bukit dan bersorak sorai bersama Hamlin Murai.

"Itu murai-murai untuk kalian!" Hamlin Murai melompat tinggi sekali.

"Serius, Hamlin?" tanya mereka.

"Ya! Berikan ke orangtua kalian untuk dijual, atau untuk kalian pelihara. Terserah kalian saja!"

Yang hadir sekitar duapuluhan anak. Hamlin Murai meneruskan kicauannya dan menyisipkan perintahnya melalui bahasa burung yang secara alami ia rasa ia kuasai. Satu anak Ndoroalas dihinggapi masing-masing lima burung murai. Mereka senang bukan main ketika burung-burung itu terbang mengelilingi dan menghinggap di tangan dan pundak mereka.

Hamlin Murai dan anak-anak Ndoroalas bergembira di atas bukit bersama murai-murai. Dari kejauhan Hamlin Murai dapat melihat Blorong Cilik di mulut gua. Ia tampak sedikit lebih cerah, dan tersenyum. Kegembiraan itu seperti dipancarkan pula oleh Blorong Cilik. Hamlin Murai mengajak anak-anak Ndoroalas bermain ular naga betapa panjangnya. Ada angin sejuk yang berembus dari hutan keramat. Menerbangkan rambut anak-anak, dan tanpa mereka sadari, permainan ular tangga yang memutar-mutar itu berlangsung di udara. Mereka terlampau gembira riang sampai lupa kaki menjejak ke mana.

Ndoroalas tiba-tiba penuh kicauan murai. Saman King yang berkeliling desa sampai terheran. Tiap rumah ia tanya, "dapat dari mana burung murai ini?"

Yang punya rumah akan menjawab, seperti yang disampaikan anak-anaknya, "dari bukit."

Saman King dan anak buahnya langsung menuju bukit. Alat penangkap burung sudah siap. Tapi sampai tiga hari bahkan seminggu pun, mereka tak menemukan satu pun murai terbang di langit bukit. "Warga penipu."

Saman King sangat berminat dengan burung murai yang dimiliki warga di hampir setiap rumah. Di depan pagarnya kemudian ia memasang pengumuman, harga sekian juta untuk seekor murai. Tak ada warga yang datang. Ia naikkan lagi menjadi lebih dari sepuluh juta. Hanya satu atau dua warga yang datang dan menyerahkan burung murainya. Mau dinaikkan kembali, oleh satu anak buah kepercayaannya, Saman King dihentikan. Anak buah bermata satu itu punya cara.

Di suatu pagi yang seharusnya cerah, anak-anak Ndoroalas bersedih, menangis tersedu-sedu dan tak mau berangkat sekolah. Pasalnya, burung murai mereka hilang semua. Anak-anak itu beramai-ramai pergi ke rumah Hamlin Murai, mengadu. Kebetulan Hamlin Murai baru mau berangkat sekolah. Ia geram mendengar laporan dari anak-anak Ndoroalas. Hamlin Murai punya perkiraan siapa pelakunya. Siapa lagi kalau bukan Saman King yang menyuruh anak buahnya.

"Tenang, akan kubantu kalian mendapatkan kembali burung murai."

Hamlin Murai mengirim gagak menuju pekarangan rumah Saman King. Belum sampai gagaknya mendarat, mereka sudah ditembaki dengan panah. Itu mengesalkan Hamlin Murai. Sempat ia tadi melihat orang yang membidik gagaknya. Orang itu memakai penutup mata di mata kanan. Panah yang dipakainya bukan panah busur, melainkan panah silang rakitan sendiri. "Mata satu sialan."

Hamlin Murai akhirnya sengaja mengambil jalan menuju sekolah melalui depan rumah megah Saman King yang berhadapan dengan gudang sembako. Ia memasang telinga lebar-lebar. Benar, murai-murai ada di rumah Saman King. Kini, bagaimana cara membebaskan mereka? Hamlin Murai mencari tempat bersembunyi. Yang kiranya cukup dekat dengan kandang burung. Ia memasang kepekaannya, mencoba terhubung lebih dekat dengan murai-murai. Kenangannya kembali ke masa lalu, semenjak lahir, bahkan jauh sebelum itu, keluarga Hamlin selalu bersinggungan dengan murai. Mungkin memang ada hubungan khusus dengan darah, atau hal lain, jiwa mungkin. Hamlin Murai saat ini merasakannya, begitu kuat. "Bebaskan diri kalian."

Di pagi hari itu, lingkungan rumah Saman King seperti ada sirkus burung murai. Ratusan murai terbang pergi dari kandang, pintunya jebol. Murai-murai itu kembali ke tangan anak-anak Ndoroalas. Hal itu membuat para orangtua berubah pikiran tentang Saman King. "Selama ini kami kira dia orang baik dermawan, tapi ternyata serakah juga, mana pakai mencuri burung murai milik anak kami." Untuk pertama kalinya, Saman King dipandang miring. Itu tentu menggelisahkannya.

Selama satu bulan Saman King tak nampak batang hidungnya. Tak keluar jalan-jalan seperti biasa. Orang-orang berhenti beli sembako di tempatnya. Karena kisah penculikan murai-murai itu, warga Ndoroalas rela pergi agak jauh untuk beli sembako, ke desa sebelah. Yang penting bukan di Saman King orang kaya culas.

Gudang sembako Saman King tutup sementara. Warga yang bekerja di sana diberhentikan tanpa dikasih pesangon. Itu membuat warga yang lain tak terima. Warga Ndoroalas beberapa kali berdemo di depan rumah Saman King, meminta keadilan untuk warga yang pernah bekerja di tempatnya. Gus Taman hadir untuk menyudahi demo itu, karena sudah terlalu sering dan terlalu ramai. Gus Taman yang akhirnya masuk ke rumah Saman King untuk berunding.

Kades Ndoroalas keluar rumah megah itu bukan dengan tangan kosong. Ia membawa pesangon hak warga yang pernah bekerja. Kemudian, Gus Taman minta warga berkumpul di balai desa untuk menerima informasi penting. Gus Taman menjelaskan mengenai kasus penculikan burung-burung murai. Itu sepenuhnya bukan ide Saman King. Bahkan beliau sama sekali tidak tahu anak buahnya bertindak sejauh itu. Anak buah itu datang dan meminta maaf kepada warga. Ia rela diapakan saja asal Saman King tidak dibenci berlama-lama. Ini semua sepenuhnya kesalahan anak buah.

Anak-anak yang tersakiti karena murainya pernah diculik, mengambil keputusan. Mereka minta si anak buah diikat di tiang di lapangan. Lalu anak-anak melemparinya dengan kerikil dan telur busuk.

"Aku yakin, anak buah itu hanya sebagai tumbal." Kata ayah Hamlin kepada istrinya.

"Enak sekali dia mengorbankan anak buahnya demi kehormatan dirinya sendiri. Sama sekali bukan panutan." Tanggap ibu Hamlin.

"Lambat laun, warga Ndoroalas bakal tahu kok bangkainya."

Sekitar seminggu berlalu, Saman King sudah berani menampakkan muka lagi di jalanan beraspal Ndoroalas. Ia melacurkan senyumnya kepada warga, dan setiap rumah, tak terkecuali rumah Hamlin, ditinggali karung beras lima kilo. Saman King berusaha keras membeli simpati warga lagi. Tapi ia harus menelan ludah kekecewaan karena beras yang diberikannya itu dikembalikan esok harinya di depan pagar rumah besar. Beberapa karung ditempeli tulisan "Tidak, terima kasih".

Saman King geram segeram-geramnya.

Si raja minyak tak menampakkan hidung lagi selama tiga bulanan. Terakhir terlihat oleh warga Saman King naik mobil sedan dan pergi begitu saja diikuti mobil pengiring. Kalau tidak salah waktunya saat hari baru menyambut pagi. Masih agak gelap dan masih sarat suara kokokan ayam jantan.

Keheningan tanpa beredarnya Saman King membuat desa Ndoroalas seperti meraih kembali jati dirinya yang lama. Kebun-kebun mulai bisa digarap. Sedikit demi sedikit warga yang putus asa mencari pekerjaan di kecamatan atau kabupaten, menetap saja di Ndoroalas, menggarap kembali kebunnya. Mereka mengupayakan pengairan yang bagus. Kicauan murai menghiasi tiap rumah, membuat suasana sore hari lebih meriah. Senja lebih cantik. Bukit jadi ramai lagi oleh anak-anak bermain. Hamlin Murai setelah pulang dari gua, bergabung bersama mereka. Tak disangka oleh Hamlin, ia bisa memanggil kupu-kupu. Sore yang indah itu diwarnai oleh aksi ribuan kupu-kupu yang beratraksi membentuk formasi di langit.

"Ternyata, tidak perlu pakai jeritan mautmu ya?" kata Blorong Cilik, sebelumnya.

"Semoga si raja minyak serakah itu tidak kembali lagi ke sini."

Di acara pertemuan warga, Gus Taman mencoba pelan-pelan mengungkapkan kegelisahan dan kecurigaannya selama ini terhadap Saman King. Ia didukung oleh ayah Hamlin dan Cak Bendo. Sebagian warga menyetujui, sisanya meragu. Gus Taman dengan sopan mengungkapkan kedermawanan yang ditunjukkan oleh Saman King memiliki agenda rahasia. Tidak banyak warga yang berusaha menyangkal. Mereka diberikan waktu untuk berpikir sehat. Disuruh berpikir tanpa mengaitkan kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan Saman King. Pertemuan itu berakhir dengan hening. Dengan keragu-raguan. Tapi setidaknya kecurigaan itu sudah tumbuh.

Kecurigaan itu makin meningkat, terutama di pihak Gus Taman dan ayah Hamlin, saat raja minyak itu memutuskan kembali ke Ndoroalas. Malam sebelum kedatangan Saman King, terjadi kebakaran besar. Padepokan Kong Jaal yang lama ditingglkan hingga menjadi tempat yang suwung habis dilalap api. Menunggu pemadam api dari kecamatan terlalu lama sehingga ketika mereka datang, padepokan itu sudah luluh lantak. Di antara puing-puing hangus ditemukan tiga mayat manusia, gosong. Diduga tiga orang itulah yang menyebabkan kebakaran. Entah warga asli Ndoroalas atau bukan, tak ada yang mampu memastikan. Gus Taman mendata kembali warga-warganya, tidak ada yang berada di tempat kejadian, tidak ada yang terluka. Kebakaran itu mewarnai malam dengan panas dan merah membaranya.

Hamlin Murai dan anak-anak Ndoroalas yang lain dilarang ikut proses pemadaman api yang seadanya dilakukan warga melalui pancuran air kamar mandi umum, dipasang selang sambung-menyambung. Samar-samar Hamlin Murai melihat ada bayangan ribuan kelelawar dari merah membaranya api. Mereka membumbung pergi meninggalkan padepokan.

Ndoroalas telah kehilangan dua pamongnya, kini kehilangan tempat penempa laki-laki muda menjadi pendekar yang kiranya bakal jadi pahlawan desa. Mereka semua sudah mati. Sayang sekali. Warga Ndoroalas tak pernah berkabung sekelam ini. Mereka setiap sore menyempatkan diri berkunjung ke padepokan Kong Jaal yang telah luluh lantak itu. Dan dari kegiatan itu, ada rumor berkembang. Ada yang menyaksikan adanya penampakan. Ada suara ciat-ciat terdengar. Suara entakan kaki. Lalu bayangan berkelebat. Itu terjadi ketika beberapa menit menjelang maghrib. Akibatnya, warga berhenti berkunjung ke sana.

GusTaman mengunjungi Kong Jaal di penjara untuk mengabarkan hal itu. Tak ada yangdiungkapkan oleh Kong Jaal selain kebisuan dan air mata yang membanjiri pipi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro