Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

Kejadian matinya seratus murid Kong Jaal baru sampai ke telinga warga ketika Gus Taman pulang dari kantor polisi, setelah seharian penuh berada di sana dengan perasaan terteror. Ia tak menyangka Kong Jaal bisa bertindak semengerikan itu.

Kong Jaal tidak banyak menjelaskan alasannya minta diantarkan ke kantor polisi. Gus Taman awalnya berpikir Kong Jaal hendak melaporkan Saman King. Kiranya raja minyak itu berbuat hal yang tak menyenangkan lagi kepada Kong Jaal setelah sebelumnya pesta peresmian kamar mandi umum Saman King dibubarkan paksa oleh Kong Jaal. Dugaannya keliru.

Kepada polisi yang ditemuinya pertama kali, Kong Jaal langsung menyerahkan tangannya untuk diborgol. "Tolong penjarakan saya. Saya sudah membuat seratus murid saya kehilangan nyawa."

Gus Taman tentu terkejut. Mukanya pucat.

Pak Polisi menanyai lebih lanjut, ia pun cukup terkejut juga dengan pernyataan Kong Jaal. Mau bagaimanapun, Pak Polisi itu cukup kenal dengan Kong Jaal. Ia pernah berguru dengannya. "Tolong ceritakan bagaimana kronologinya." Pak Polisi mengajak Kong Jaal dan Gus Taman duduk. Juru ketik sudah siap di depan komputer.

Kong Jaal menarik napas panjang, mengatasi duka mendalamnya. Kemudian agak terbata menjelaskan kronologisnya. Gus Taman terperangah hampir tak percaya. Setelah ini, ia harus turun tangan untuk memeriksa padepokan Kong Jaal.

Pak Polisi mengangguk, memroses informasi yang dibeberkan Kong Jaal. "Apakah Kong Jaal yang meracuni?"

"Tentu bukan."

"Kalau begitu, mengapa Kong Jaal minta dipenjara?"

"Ya, karena saya gagal sebagai guru dalam melindungi muridnya."

"Itu tidak cukup untuk menjebloskan Kong Jaal ke penjara. Justru kita perlu mencari siapa pelakunya."

"Tidak usah repot-repot mencari pelakunya. Ini semua salah saya. Saya lalai dalam pengawasan. Biasanya makanan saya yang mencicipi, atau murid kepercayaan saya yang melakukannya. Kemarin, saya tidak ke mana-mana selain di ruangan."

"Kalau begitu saya tidak bisa berbuat banyak. Kong Jaal, di mata saya dan di mata hukum, tidak bersalah. Karena bukan yang meracuni."

"Bagaimana saya supaya bisa dipenjara?"

Gus Taman dan Pak Polisi sama-sama heran.

"Kong Jaal kenapa ingin sekali dipenjara?" tanya Gus Taman.

"Kan sudah saya bilang tadi. Saya gagal sebagai guru. Saya teledor, lalai! Saya membiarkan murid-murid saya mati konyol!" Kong Jaal naik pitam, menggebrak meja. "Katakan, apa yang perlu saya lakukan agar bisa dipenjara."

"Ya, kecuali kalau yang meracuni itu adalah Kong Jaal." Kata Pak Polisi.

"Ya ya, saya yang meracuni murid saya. Jebloskan saya ke penjara sekarang juga."

"Tidak secepat itu Kong Jaal. Kami perlu melakukan penyelidikan yang sahih. Pengumpulan bukti-bukti. Apakah racun yang terdapat dalam makanan itu memang racun milik Kong Jaal atau bukan."

"Halah, kebanyakan bacot." Kong Jaal menarik kerah sang juru ketik. Tanpa pikir panjang, dengan mata menyorot keji, ia memuntir leher juru ketik malang itu sebelum siapa pun bisa mencegahnya. Gerakannya begitu cepat dan tak bisa dicegah. "Penjarakan saya seumur hidup!"

"Nyebut, Kong Jaal!" Gus Taman melompat syok. Tak disangka Kong Jaal punya sisi gelap kesetanan seperti itu. Penyesalannya terlalu dalam. Hingga ia pikir, dikurung dalam jeruji besi adalah hukuman yang pantas untuknya. Walau semua tahu, Kong Jaal sama sekali tak bersalah dalam kematian seratus muridnya.

Saat itu juga Pak Polisi memborgol Kong Jaal dan dijebloskan ke dalam sel tanpa perlu penyelidikan. Itu yang dimau Kong Jaal. Maka jadilah.

Gus Taman sudah pasti tidak bisa menyelamatkan Kong Jaal. Pembunuhan itu dilakukan di depan mata seorang warga sipil dan seorang penegak hukum. Kong Jaal bakal lama mendekam di penjara. Semoga ia menemukan ketenangannya di sana. Sejauh yang Gus Taman tahu, Kong Jaal itu orangnya tangguh, kuat tak mudah goyah oleh apa pun. Namun semenjak kematian Bik Muyah, Kong Jaal jadi berubah. Tak perlu datang ke padepokan untuk memeriksa keadaannya, atmosfer yang terasa di Ndoroalas saja sudah berubah semenjak Bik Muyah pergi. Apalagi dengan kedatangan si raja minyak itu. Makin tak mengenakkan saja. Gus Taman khawatir, apakah ini akhir dari Ndoroalas yang menjunjung tinggi leluhur dan alam sekitarnya tetap alami.

Jalanan tanah berbatu kini sudah diaspal. Kamar mandi umum hadir untuk memudahkan warga yang sebelumnya mengambil air dari sumur. Ada rumah megah khas kota. Panggung hiburan yang hingar bingar. Lalu apa lagi?

Sepulangnya dari kantor polisi dengan kepala super pening, Gus Taman mengumpulkan warganya dan mengumumkan perihal tragedi padepokan Kong Jaal. Sama halnya dengang Gus Taman, warga tampak syok juga. Sebab tanah pemakaman Ndoroalas tak cukup untuk menampung jasad seratus murid, mereka semua dimakamkan di lingkungan padepokan. Beberapa puluh di lapangan, beberapa puluh di pekarangan, beberapa puluh di kebun. Ayah Hamlin termasuk yang ikut urun tenaga untuk menggali kuburan. Acara pemakaman massal itu berlangsung hampir seminggu. Gus Taman heran, Saman King tidak urun apa-apa. Biasanya orang itu akan mengambil hati warga dengan kedermawanan artifisial.

Kejadian tragis itu cukup meninggalkan sesal di hati tiap warga. Kong Jaal sudah dianggap sebagai tetua penjaga desa, sama halnya dengan Bik Muyah. Ilmu kanuragan Kong Jaal tak perlu dipertanyakan lagi. Sekali hantam, puluhan orang bisa mental. Menyedihkan caranya meninggalkan desa Ndoroalas. Kisah cintanya yang tragis, perkabungan yang lama, sikap menyembunyikan diri, dan penyesalan mendalamnya mengenai kematian seratus murid yang membingungkan warga. Tentang mengapa Kong Jaal tega membunuh orang agar dirinya dijebloskan ke penjara, itu yang mungkin selamanya warga tak bisa pahami. Rasa-rasanya, desa Ndoroalas seperti kehilangan dua pahlawannya. Rasa-rasanya, desa Ndoroalas tak senyaman yang dulu.

Sekiranya setelah upacara empat puluh hari kematian seratus murid yang diadakan di halaman pencak silat padepokan Kong Jaal, Gus Taman memutuskan untuk menyegel padepokan itu. Di suatu masa nanti, beberapa warga Ndoroalas mengaku melihat penampakan murid-murid sedang berlatih silat. Sebagian mengaku mendengar suara ciat-ciat di jarak seratus meter dari padepokan.

Nah, mengetahui bahwa padepokan telah kosong penghuni, Saman King memerintahkan pekerjanya untuk mengaspal jalanan depan padepokan yang sempat tertunda itu.

Sementara itu, secara tak terduga, di sekolah, Melati mendekati Hamlin Murai. Ia percaya bahwa Hamlin Murai bisa membaca pikiran. Ia minta Hamlin Murai untuk menolongnya. Melati sudah tak tahan. Hamlin Murai meminta ijin untuk masuk ke pikiran Melati. Selagi ia melakukannya, Hamlin Murai menangis, merasakan kesedihan dan ketakutan Melati. Menyusul kemudian kegeraman yang mendidih. Perbuatan bejat guru itu sudah melampaui batas. Melati sudah dinodai sepenuhnya. Kegeraman itu menjadi momen Hamlin Murai kehilangan kendali atas dirinya. Pada jam istirahat, guru bejat yang lagi makan di kantin khusus guru tiba-tiba diserang lusinan gagak hitam. Mereka menyasar kelaminnya. Dicabik-cabik sampai putus. Besoknya, Hamlin Murai tak masuk sekolah karena lumpuh di atas tempat tidur. Dalam mimpi ia didatangi Blorong Cilik dalam wujud dewasa.

"Anugerahmu bukan digunakan untuk itu."

"Maaf, aku lepas kendali. Aku geram dan marah. Guru bejat itu pantas mendapatkannya."

"Kau bukan penentu siapa pantas mendapat apa."

"Aku tahu." ucap Hamlin Murai, menyesal.

"Kau telah menciptakan kerusakan atas guru itu."

"Setidaknya, kerusakan yang ia alami menghindarkan anak-anak gadis lain dari tindakan bejatnya."

"Cara berpikirmu berbahaya, Hamlin."

"Iya, akan kuperbaiki. Aku akan mengendalikan diri."

"Kupegang ucapanmu."

Tidak seperti sebelumnya, Blorong Cilik tidak minta cium. Bahkan ketika esok harinya Hamlin Murai main ke gua di pantai, Blorong Cilik tidak berada di sana. Hamlin Murai menyentuh pasir dan bebatuan gua. Ada sesuatu yang dirasakannya di sana. Kesedihan, kekecewaan, kehilangan. Gagak-gagak semakin banyak yang mengikutinya di atas. Menciptakan aura gelap di sekitar Hamlin Murai. Ayahnya di rumah menanyakan seputar rencana untuk melati. Hamlin Murai jawab, "guru itu sudah kena karmanya sendiri, Yah. Rencana kita sepertinya cukup, disudahi saja." Hamlin Murai berbohong kalau guru itu kemaluannya dipotong oleh sang istri, itu karena ketahuan selingkuh.

"Ouch, burungnya buntung?"

Hamlin Murai mengangguk, menyengir.

"Mau bagaimanapun juga, ayah pikir tindakan itu terlalu ekstrim. Memotong kelamin seorang jantan sama halnya dengan menghilangkan kejantanan itu sendiri. Melucuti jati dirinya sebagai manusia."

Hamlin Murai mengabaikan.

Hamlin Murai mulai merasa kehilangan, Blorong Cilik lama tak muncul di gua. Ia jadi galau. Kegalauan seorang anak sepuluh tahun yang pernah mencium entitas gaib. Ia mengingat kembali apa yang pernah dibacanya melalui jendela mata Blorong Cilik. Ia adalah Ndoroalas itu sendiri. Itu sebabnya ia tak bisa diajak masuk ke desa. Karena ia hanya bisa mewujud sebagai Blorong Cilik kalau di luar teritori Ndoroalas. Terutama di luar hutan keramat. Kalau begitu, Hamlin Murai tak perlu bersedih. Bila rindu dengan Blorong Cilik, tinggal menyentuhkan tangannya ke tanah. Tapi itu tak sama. Perjumpaan dengan yang berwujud, tak sama dengan perjumpaan khayali dengan yang maya.

Hamlin Murai menutup diri. Dalam mimpi ia berharap dapat bertemu dengan Blorong Cilik dan meminta maaf. Tapi bahkan di mimpi pun, kini, Blorong Cilik tak mau hadir. Itu membuat Hamlin Murai terpuntir hatinya. "Maafkan aku, Blorong Cilik."

Mungkin ia harus membuktikan diri. Ia harus mengganti tindakan sembrononya itu dengan yang lebih baik. Tapi apa? Hamlin Murai bingung. Itu berarti ia harus berkeliling dan membaca pikiran setiap orang. Itu pasti melelahkan. Kegalauan ini membuatnya lepas kontrol lagi. Kepalanya berdenging, seolah semua suara di Ndoroalas mendesak masuk dan minta didengar. Hamlin Murai kelojotan di atas tempat tidur.

Ada yang tertawa melihatnya. Dari kejauhan. Dengan ilmu tembus pandang. Seorang yang dulu menyimpan dendam. Seorang dengan penutup mata bagai bajak laut.

Orang itu pula yang tampak di antara anak buah pengawal Saman King. Gus Taman seperti pernah melihatnya. Tapi ia tak ingat betul. Seperti biasa, Saman King keliling desa dengan berjalan kaki. Memantau kamar mandi umum dan hutan keramat. Di hutan keramat ia berhenti paling lama. Gus Taman masih dengan kecurigaannya yang lama. "Ada agenda apa orang itu sebenarnya?"

Semenjak kepergian Bik Muyah dan terakhir, kepergian Kong Jaal, desa Ndoroalas seperti kehilangan ahli firasat. Orang yang bisa memberi nasehat dan wanti-wanti terhadap peristiwa alam. Tanpa diduga sama sekali, Ndoroalas yang dulu tak pernah menghadapi paceklik, kini mengalaminya. Kebun-kebun warga sulit menghasilkan sayur-sayuran. Sawah sekian hektar, tanahnya mengering. Warga menjadi resah, padahal sumber air sudah mudah. Hama wereng pun mewabah. Gus Taman dibuat pusing oleh paceklik ini. Ia sudah memesan obat pencegah hama, tapi belum datang juga. Bahkan ia memesan obat pencegah hama itu lebih dulu daripada datangnya bertruk-truk bahan pangan yang dihadirkan Saman King dari kota. Raja minyak itu membuat gudang besar disertai toko sembako. Pada pengiriman pertama itu, Saman King membagi gratis bahan pangan kepada warga. Kali kedua, ia mengumumkan adanya harga. Ini dia yang diendus Gus Taman dan ayah Hamlin.

"Raja minyak itu sepertinya ingin memonopoli." Ungkap ayah Hamlin dalam bisik kepada Gus Taman.

"Aku rasa demikian."

Ndoroalas berubah. Orang-orang yang dulunya berdikari, kini harus mencari kerja apa saja di kecamatan, kabupaten bahkan ke kota demi memenuhi kebutuhan pangan di rumah. Mereka berangkat pagi pulang petang. Uang dalam kantong, habis ditukar bahan pangan ke toko sembako Saman King.

"Ini tidak bagus." Kata ayah Hamlin di pertemuan keduanya dengan Gus Taman.

"Aku berpendapat hal yang sama. Apa yang harus kita lakukan? Ini seperti penjajahan."

Keduanya berpikir keras. Kopi sampai habis bercangkir-cangkir.

Menjelang umur sebelas Hamlin Murai, akhirnya Blorong Cilik muncul kembali. Kini kembali dengan tampilannya pada waktu pertama menampakkan diri. Berkulit hitam dan berambut gimbal. Tak mengapa, Hamlin Murai tetap senang dapat bertemu dengannya.

"Desamu sudah bukan Ndoroalas lagi. Ia mulai kehilangan jati dirinya. Ndoroalas sejatinya bisa berdiri sendiri. Orang baru itu membuat segalanya berputar arah. Sebentar lagi, mungkin, hutan keramat benar-benar tak punya nama. Serta pantai ini. Orang asing bakal banyak yang berdatangan. Merusak segala yang alami di tempat ini. Seperti banjir bandang. Seperti hama wereng."

Hamlin Murai mencoba menghibur Blorong Cilik dengan mengusap punggungnya. "Tolong Hamlin Murai, selamatkan Ndoroalas dari tangan-tangan kotor. Tolong pergunakan anugerahmu yang sejati. Jangan diam saja dan galau melulu. Kau sadar aku ini apa kan?"

Hamlin Murai tak bisa membendung kesedihannya, ia ikut menangis. Ia merasa gagal.

"Jangan ikut menangis. Kau harus kuat. Untukku, untuk Ndoroalas."

Hamlin Murai mencoba mengendalikan diri. Ia memejamkan mata, mengatur napas. Menajamkan pikiran. Seiring itu, gagak-gagak di luar terbang berpencar arah. Banyak yang bertengger di pagar tinggi rumah megah Saman King, sebagian yang lain di gudang sembako.

Tapi, gagak-gagak yang dikirim Hamlin Murai berjatuhan. Padahal ia yakin, gagak-gagak itu tak bisa dilihat manusia biasa. Ada yang membidik gagak-gagak itu dengan ketapel dan panah silang. Gagak-gagak itu, berjatuhan lalu membuyar sebagai kertas habis dibakar. Hal itu membuat Hamlin Murai sakit kepala. Ia terjatuh, tepat di pelukan sang Ndoroalas itu sendiri, si Blorong Cilik.

Saat terbangun, Blorong Cilik mengungkapkan hal yang lain. "Hamlin Murai, sesungguhnya kau memiliki anugerah yang lain. Tapi anugerah itu agaknya berbahaya. Dan di dalam masa kelam seperti ini, tindakan berbahaya mungkin diperlukan."

"Apa itu?"

"Kautahu sendiri. Coba baca pikiranmu sendiri, tapak tilaslah memorimu sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro